Rabu, Agustus 6, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Terusir, jemaat Ahmadiyah Lombok terpaksa masih di pengungsian

by Redaksi
18/05/2015
in Uncategorized
Reading Time: 4min read
Terusir, jemaat Ahmadiyah Lombok terpaksa masih di pengungsian
Share on FacebookShare on Twitter

11130324_494825977341305_2416044358185333856_o

Sejak dipindah ke Wisma Transito, penganut Ahmadiyah hidup dalam ketidakjelasan. Sebagian besar mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk menyambung hidup mereka bekerja serabutan, jadi kuli dan tukang ojek.

MATARAM, Indonesia — Pemukiman Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) sekilas tampak seperti perkampungan biasa. Tiap rumah kumuh layaknya kos-kosan dengan kamar berderet-deret.

Hal yang membedakan pemukiman itu dengan perkampungan lain adalah pagar yang mengelilinginya. Wisma Transito merupakan tempat penampungan Jemaat Ahmadiyah. Karena berbeda dalam menafsirkan ajaran Islam, kehidupan mereka diintimidasi hingga terpaksa mengungsi dari kampung halaman mereka dan mencari tempat tinggal baru. Mereka menemukannya di Wisma Transito.

Jemaat Ahmadiyah di Transito tinggal di 3 gedung aula yang ada di sana. Dalam satu aula terdapat sekitar 9 bilik sempit yang telah disekat satu sama lain dengan penerangan seadanya.
Tirai untuk menyekat pun beragam. Ada yang menggunakan tripleks, kayu bekas, sarung, kardus bekas, bahkan spanduk untuk kampanye partai politik. Bilik-bilik di penampungan ini rata-rata berukuran 3 x 3 meter persegi. Di dalam ruangan yang kecil ini, tempat tidur dan dapur menjadi satu.

Mengungsi di negeri sendiri

Selasa, 5 Mei 2015, peserta Lokakarya Pers Kampus yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman (SEJUK) mengunjungi Jemaat Ahmadiyah di Wisma Transito. Penulis merupakan bagian dari rombongan ini.

Di sana kami mendengar cerita dari mereka, orang-orang yang sudah hampir 10 tahun harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Saat kami menginjak turun dari kendaraan nampak anak-anak kecil sedang bermain di halaman depan. Di sudut yang lain beberapa warga asyik mengobrol. Sejurus kemudian Syahidin (49), koordinator pengungsi Jamaah Ahmadiyah datang menyambut dan mempersilakan kami masuk masjid.

Di dalam masjid, Syahidin berbagi pengalaman pilu mengenai kehidupannya sendiri dan kawan-kawannya yang senasib.

“Kami diusir dari rumah oleh saudara sesama muslim sendiri yang terprovokasi. Padahal, sebelum itu tidak terjadi apa-apa. Kami hidup damai berdampingan, sampai akhirnya terjadi peristiwa itu,” kata Syahidin.

Peristiwa yang dimaksud Syahidin terjadi sekitar 1999. Saat itu masjid milik pengikut Jemaat Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat, dibakar masyarakat. Mereka menuntut Jemaat Ahmadiyah keluar dari keyakinannya. Satu orang meninggal dalam peristiwa tersebut.

Di pulau yang berjargon Lombok Pulau Seribu Masjid ini, kasus yang sama terulang lagi 7 tahun kemudian. Pada Februari 2006, Jemaat Ahmadiyah yang bermukim di Ketapang, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat menjadi korban perusakan dan pembakaran rumah.

Peristiwa tahun 2006 ini juga berbuntut pengusiran. Jemaat Ahmadiyah tidak berani kembali ke rumah mereka.

Berakar pada salah paham

Ahmadiyah menafsirkan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat muncul nabi berikutnya sebagai pembaharu. Dialah Mirza Gulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Ini kemudian, membuat sebagian kalangan Islam mengatakan bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam.

Namun bagi para pengikutnya, Ahmadiyah tetaplah bagian dari Islam. Tidak ada yang membedakannya dari segi syariat maupun syahadat. Nabi Muhamamad SAW rasul mereka.

“Kitab suci kami pun sama, Al-Quran,” kata Nashirudin, mubalig Ahmadiyah yang saat itu menemani Syahidin.

“Kami sangat menyayangkan kesalahpahaman terhadap ajaran Ahmadiyah. Karena kesalahpahaman itu yang membuat kami menjadi seperti sekarang ini. Hal itu (kesalahpahaman) semakin bertambah pula saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa ajaran Ahamadiyah tidak bisa diterima kalangan umat Islam lainnya,” tutur Syahidin.

Sebagai informasi, MUI memang telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah sesat, fatwa yang kerap digunakan sebagai alasan untuk menyerang Ahmadiyah.

Bayang-bayang ketidakjelasan

Sejak dipindah ke Wisma Transito, penganut Ahmadiyah hidup dalam ketidakjelasan. Sebagian besar mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk menyambung hidup mereka bekerja serabutan, seperti menjadi kuli hingga tukang ojek.

“Ini sangat berbeda dengan kondisi saya dulu saat di kampung halaman. Dulu saya memiliki toko yang menjamin penghidupan sehari-hari,” ujar Asisudin (55) salah satu penganut Ahmadiyah.

Sebelum pergantian pemerintahan pada 2014, penganut Ahmadiyah kesulitan mendapatkan layanan publik dari pemerintah, seperti membuat kartu identitas. Namun sejak 2014, akhirnya mereka bisa memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan diakui sebagai warga.

Terkait penyerangan dan perusakan yang pernah dialami Jemaat Ahmadiyah, Syahidin mengaku belum mendapatkan keadilan sepenuhnya.
“Kami sudah melapor, namun sampai saat ini belum ada kejelasan soal proses hukum,” kata Syahidin.

Anak-anak turut menjadi korban

Derita tidak hanya menimpa orang-orang dewasa, tapi juga anak-anak pengikut Ahmadiyah. Seringkali mereka menerima perlakuan diskriminatif, seperti tidak diterima oleh lingkungan teman-temannya, diejek, bahkan dipukul.

Nur Aini Syahidah misalnya, Siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 16 Mataram ini dulu sering dikucilkan ketika duduk di tingkat akhir Sekolah Dasar. Aini bercerita bahwa teman-temannya yang mengetahui bahwa orang tuanya penganut ajaran Ahmadiyah sering mencemooh dirinya.

“Kamu nabinya bukan Muhammad,” kata Aini menirukan ejekan temannya.

Akhirnya ‘transit’ di pemukiman yang terbuka

Terusir dari kampung halamannya, warga Ahmadiyah cukup diterima oleh lingkungan sekitarnya di Kelurahan Majeluk.

“Kami sangat terbuka. Kami juga sering mengundang mereka (penganut Ahmadiyah) saat kita ada acara. Begitu juga sebaliknya,” kata seorang ibu warga Majeluk.

Menurut seorang ibu lainnya, saat kelurahan mengadakan kerja bakti, Jemaat Ahmadiyah Transito juga turut hadir berpartisipasi.
“Perbedaan keyakinan tidak lantas membuat kami tidak saling berinteraksi dengan Jemaat Ahmadiyah itu,” katanya.

Selama 9 tahun menempati Wisma Transito, Jemaat Ahmadiyah juga tidak pernah mengalami gesekan dengan warga sekitar. Hal tersebut ditegaskan oleh Asisudin, salah seorang pengikut Ahmadiyah.

Menurut Asisudin beginilah seharusnya situasi yang ideal. Setiap orang semestinya menerima perbedaan yang ada termasuk dalam persoalan agama.

Masih berharap pada pemerintah

Syahidin mengaku tidak tahu sampai kapan akan ditempatkan di Wisma Transito ini. Namun ia berharap pemerintah lebih memperhatikan lagi nasib mereka.

“Kami ini kan warga Indonesia, namun perlakuan yang kami peroleh selama ini seolah kami ini menumpang di negeri sendiri,” kata Syahidin.

Ahmad Muzakky Al-Hassan aktif di pers mahasiswa di Singaraja, Bali.

Tulisan ini hasil workshop pers kampus yang diselenggarakan Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman (SEJUK)

Tags: Headline
Previous Post

Salat, Waria Pakai Sarung atau Mukena?

Next Post

Undangan Workshop Pers Kampus “Mewartakan Isu Keberagaman” di Yogyakarta

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Undangan Workshop Pers Kampus “Mewartakan Isu Keberagaman” di Yogyakarta

Undangan Workshop Pers Kampus “Mewartakan Isu Keberagaman” di Yogyakarta

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ribuan Mangrove untuk Masa Depan: Seruan Darurat Lintas Iman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In