Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) tahun ini terlibat dalam rangkaian perayaan dan kampanye Pekan Kerukunan Antariman Sedunia / World Interfaith Harmony Week (WIHW). Di minggu kedua Februari 2016, SEJUK mengkampanyekan semangat harmoni antaragama dan antariman di kalangan media massa dan para jurnalis dengan menggelar dua kali workshop.
Sasaran dari dua kegiatan SEJUK yang dikerjasamakan dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan ini adalah media massa dan jurnalis di wilayah Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh. In-house Workshop yang digelar di Tribun Medan pada Rabu, 10 Februari 2016, merupakan kegiatan pertama. Surat kabar yang satu kelompok dengan media nasional Kompas ini oplahnya paling banyak di Sumut. Harian ini selain menerbitkan cetak juga mempublikasikan berita-beritanya secara online.
Karena itu, melalui In-house Workshop SEJUK mendorong Tribun Medan agar mengembangkan pemberitaan yang menghargai perbedaan dan sensitif terhadap hak-hak korban korban diskriminasi dan kekerasan atas nama agama atau keyakinan. Berikut informasi lengkapnya: https://sejuk.org/2016/02/10/tribun-medan-media-terjebak-sensasi-dalam-beritakan-konflik-agama/.
Workshop Jurnalis “Meliput Isu Keragaman” merupakan kegiatan kedua SEJUK dalam rangkaian WIHW, kampanye yang dilakukan di berbagai negara di setiap pekan pertama Februari dalam rangka menghidupkan kesadaran bersama mendorong sikap dan tindak yang harmonis dan damai dalam relasi antariman. Kegiatan yang diselenggarakan di Sibayak Hotel Berastagi pada Kamis–Jumat, 12 – 13 Februari, ini diikuti jurnalis-jurnalis dari wilayah Sumut dan Aceh. 11 peserta dari Aceh dan 16 dari Sumut merupakan jurnalis-jurnalis yang bekerja di media cetak, online dan elektronik.
Narasumber workshop Dr. Budhy Munawar-Rachman mengajak para jurnalis agar bisa mengatasi eksklusivisme dengan mengembangkan semangat inklusif dan toleran terhadap perbedaan agama maupun keyakinan. Untuk itu, tugas jurnalis semestinya memastikan agar pihak-pihak paling rentan seperti perempuan, anak-anak, maupun kelompok minoritas agama dan keyakinan mendapat perlindungan dari negara.
Menyambung gagasan narasumber pertama, Daniel Awigra dari Human Rights Working Group (HRWG) menyuguhkan materi “HAM dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” dengan memberi penekanan pentingnya jurnalis dan media dalam menghidupkan kritisisme. Awigra mengajak para peserta agar media memperkuat perannya untuk mengawasi dan mengingatkan kewajiban negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak dan kebebasan paling dasar dari setiap warga negara, termasuk beragama dan berkeyakinan.
Berdasarkan advokasi dan pemantauan lembaganya, Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah memaparkan fakta bahwa dalam konflik dan kekerasan atas nama agama, korban yang paling mendapat dampak terburuknya adalah perempuan dan anak-anak. Karena itu, Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014 ini menaruh harapan besar terhadap media agar lebih banyak mendengarkan suara para korban.
“Media harus menghindari penggunaan diksi atau bahasa yang menstigma, melecehkan, serta menyuburkan intoleransi dan diskriminasi,” tambahnya.
Narasumber lainnya dalam workshop yang didukung The Asia Foundation (TAF) dan Yayasan Tifa ini adalah Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong. Ia meyakinkan para jurnalis di wilayah Sumut dan Aceh perihal mendesaknya pengembangan prinsip-prinsip jurnalisme yang menghormati keragaman realitas masyarakat dalam beragama dan berkeyakinan. Sementara itu, Veryanto Sitohang aktivis pluralisme Aliansi Sumut Bersatu (ASB) yang mengadvokasi persekusi gereja-gereja di Aceh Singkil memaparkan data-data dan kronologi kasus tersebut beserta update-nya.
Usman dan Veryanto sama-sama memetakan dan mendudukkan fakta keragaman di Sumut maupun Aceh dengan harapan para jurnalis tumbuh kepeduliannya dalam menciptakan harmoni antariman melalui pemberitaan.
Di ujung workshop, pakar komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando menyampaikan prinsip-prinsip etis dan operasional dalam melaporkan isu keragaman. Bagi Ade, konflik dan pelanggaran HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan persoalan serius, bukan berita biasa.
“Memberitakan konflik dan pelanggaran HAM tidak cukup cover both sides, tapi berupaya mencari narasumber yang tidak menjustifikasi keberlanjutan kekerasan dengan memberi lebih banyak ruang bagi narasumber yang justru mendukung perdamaian,” tandasnya. (Thowik SEJUK)