Kamis, Juli 10, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

LGBT: Linglung Gegara Berita Tak-seimbang

by Redaksi
16/02/2016
in Uncategorized
Reading Time: 2min read
LGBT: Linglung Gegara Berita Tak-seimbang
Share on FacebookShare on Twitter

tumblr_nqkcr8mhye1tkv3afo1_1280Oleh Rio Tuasikal*

Sudah satu bulan sejak isu LGBT menjadi bola panas. Sejak itu pula media menghidangkan informasi bias, beracun, dan tidak bermanfaat mengenai polemik ini.

Semua dimulai ketika rektorat Universitas Indonesia meminta SGRC UI mencopot logo ‘makara’.  Tiba-tiba, media secara meleset melabel grup tersebut sebagai komunitas LGBT , padahal mereka adalah kelompok kajian di bidang kesehatan reproduksi dan gender. Ada berapa media yang mewawancarai SGRC mengenai hal ini? Bisa dihitung jari.

Selanjutnya adalah ketika Menristekdikti Mohamad Nasir melarang LGBT masuk kampus. Hanya sedikit media yang mewawancarai kelompok LGBT untuk dimintai pendapatnya. Media juga telah termakan omongan Nasir dan gagal bersikap kritis.

Contoh terburuk dilakukan oleh Harian Republika yang menulis headline “LGBT ancaman serius”. Harian nasional tersebut tidak mewawancarai satu pun orang dari kelompok LGBT untuk menyeimbangkan berita utama. Bahkan, ketika disomasi kelompok LGBT, Republika tetap ogah melakukan kewajiban jurnalismenya untuk mewawancarai pihak kedua. Media ini malah kelabakan mencari pembelaan dari berbagai pihak.

Selanjutnya bisa ditebak: pemberitaan LGBT ini makin linglung dan bikin bingung. Sudah hilang navigasi dan makin tidak bergizi. Dari pendapat Walikota Bandung Ridwan Kamil hingga Anggota DPRD Mohammad Nasil Djamil, jurnalis makin keasyikan asal pinjam bibir orang. Dalam situasi ini, kelompok LGBT yang sudah dimarjinalkan sejak awal, kini dua kali lebih rentan mendapat kekerasan. Bahkan, ketika FPI merazia orang yang diduga gay dan lesbian di Bandung, pemerintah hanya diam dan mengabaikan hak-hak sipil para korban.

Situasi buruk ini sangat memprihatinkan – tapi akarnya tidaklah spektakuler. Ini bukan soal apakah sebuah media mendukung LGBT atau tidak, melainkan soal kaidah jurnalisme dan kode etik yang diabaikan. Semua ini terjadi hanya karena jurnalis gagal menerapkan prinsip cover both sides sejak awal. Betul, sumber masalahnya terlalu normatif, terkesan remeh, namun ini sungguh prinsipil.

Prinsip keberimbangan ini sangatlah penting. Apalagi ketika pernyataan para pejabat yang memicu diskriminasi ini tidak didasari pengetahuan yang memadai.

Pada kasus Nasir, misalnya, dia tidak memakai referensi ilmiah ketika mengatakan LGBT merusak moral. Dia bahkan tidak tahu bedanya seks, gender, orientasi seksual, praktik seksual, dan identitas seksual. Menteri ini bahkan tidak up to date kalau WHO sudah menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa sejak 1990, diikuti Kemenkes yang mencoretnya dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi III tahun 1993. Seandainya dia lebih banyak membaca.

Ketidaktahuan dan ketidakingintahuan pejabat publik ini seharusnya dicegah sebelum menebalkan stigma dan menularkan kedunguan kepada masyarakat. Seharusnya media sudah otomatis mengonfirmasi pendapat Nasir ke kelompok LGBT saat itu juga. Media wajib memberikan ruang yang sama lebar untuk LGBT menjelaskan kehadiran mereka dan meluruskan banyak hal. Dengan demikian, potensi kesalahpahaman akan padam sejak awal.

Dengan menghadirkan seluruh pihak, jurnalisme akan merobohkan prasangka, membawa debat publik jadi lebih mencerdaskan. Itulah yang dilakukan Rosiana Silalahi bersama Kompas TV dan Jurnalis Rappler Febriana Firdaus. Mereka bukan membela LGBT – semata mempraktikkan jurnalisme yang benar.

Jurnalisme rusak adalah bensin bagi korek api kebencian. Semua dimulai dari jurnalis yang tidak taat prosedur konfirmasi. Bagi siapapun jurnalis yang malas melakukan prinsip dasar ini, sila mulai tulis surat pengunduran diri.  []

 

*Penulis, Jurnalis KBR 68H.

Tags: #HAM#LGBTHeadlineKeberagaman
Previous Post

Laporan dari Medan: Pentingnya Berita yang Menciptakan Harmoni Antariman

Next Post

Muhammadiyah: RI Harus Tegakkan Kebebasan Beragama

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Muhammadiyah: RI Harus Tegakkan Kebebasan Beragama

Muhammadiyah: RI Harus Tegakkan Kebebasan Beragama

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperjuangkan Akses yang Setara untuk Perempuan Disabilitas lewat Anggaran yang Inklusif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tersingkir dari Keluarga, Tempat Kerja, hingga Pemakamannya: Nasib Transpuan di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pendidikan Multikultur Kalbar: Siswa Toleran Beda Budaya [1]

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In