Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Memotret Harmoni Bali untuk Islam dan Katholik

by Redaksi
06/03/2016
in Uncategorized
Reading Time: 5min read
Memotret Harmoni Bali untuk Islam dan Katholik
Share on FacebookShare on Twitter

Gambar Workshop Bali 1Sebagai surga pariwisata di Indonesia Bali mempunyai kekayaan toleransi antaragama yang menginspirasi. Jika di banyak tempat intoleransi dan kekerasan atas nama agama di Nusantara menguat dan meluas, dua wilayah di Bali menunjukkan hal sebaliknya.

Gambaran semacam itu tersuguh lewat Workshop Jurnalis Kampus Meliput Isu Keberagaman yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Akademika Universitas Udayana Bali yang didukung Friedrich Naumann Stiftung Für Die Freiheit 4 – 6 Maret 2016 di Golden Tulip Hotel Denpasar.

Dalam workshop ini 25 peserta yang terdiri dari jurnalis kampus dari berbagai daerah berkunjung ke dua tempat berbeda: Dusun Tuka, Dalung, Denpasar, yang mayoritas warganya beragama Katholik dan Kampung Bugis, Serangan, Denpasar, dengan hampir seluruh warganya menganut Islam. Setelah dua hari para peserta mendapatkan materi, empat tulisan menggambarkan hubungan antaragama masyarakat Bali yang harmonis dan saling bekerjasama menjadi buah dari workshop dan kunjungan ini.

 

Toleransi di Bali

Dikisahkan dalam features yang dibuat oleh dua kelompok, tidak saja arsitektur dan ornamen Gereja Tritunggal Mahakudus Tuka nyaris sama dengan bentuk bangunan tradisional Bali lainnya, nafas akulturasi dihadirkan pula dalam ritual-ritual keagamaan. Para jemaat gereja Katholik Tuka beribadah menggunakan kostum bercirikan budaya Bali. Sehingga, sulit membedakan bahwa mereka warga Bali yang bukan beragama Hindu. Jemaat pun masih melestarikan nama-nama khas Balinya. Meskipun Dusun Tuka mayoritas penduduknya Katolik, tetapi spirit kekeluargaan yang saling menghormati dan bantu-membantu dengan penganut Hindu telah menjadi keseharian mereka.

Sementara itu, dua kelompok lainnya dari peserta workshop tersebut menuturkan ihwal kehidupan sehari-hari warga Serangan yang melaut dalam satu perahu bersama-sama antara Muslim Kampung Bugis dan penganut Hindu, yang mayoritas di Bali. Pada hari-hari besar keagamaan seperti Galungan (Hindu) dan Idul Fitri (Islam), tradisi saling berbagi makanan pada kedua umat berbeda keyakinan terus dijalankan dengan suasana penuh persaudaraan. Ritual Minter yang dilakukan umat Hindu Bali dengan memutari desa sebagai upaya menolak marabahaya diadaptasi juga oleh Muslim Kampung Bugis dengan Menggelicik al-Quran. Tradisi Menggelicik al-Quran diselenggarakan setiap 1 Muharram dengan mengitari Kampung Bugis sambil membawa al-Quran tua.

Ketika ketegangan Hindu-Muslim kerap bermunculan di Pulau Dewata, terutama setelah Bom Bali I dan II, justru kehidupan saling menghormati dan bekerjasama di Serangan senantiasa dibangun kedua belah pihak dengan cara mewariskan nilai-nilai toleransi dari generasi ke generasi melalui praktik-praktik budaya maupun agama yang lestari hingga kini. Hal tersebut disampaikan Kepala Lingkungan Kampung Bugis yang merupakan generasi keempat penganut Islam dari etnis asal Sulawesi Selatan yang tinggal di Serangan.

 

Memberitakan Isu Agama

Saidiman Ahmad yang membawakan materi Kebebasan Beragama menunjukkan kecenderungan terus merosotnya demokrasi bangsa ini pada penghormatan nilai-nilai kemanusiaan setiap warga negara Indonesia, terutama dengan perbedaan agama dan keyakinannya. Kenyataan betapa kebebasan beragama makin terancam disodorkan peneliti di Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) sekaligus pendiri SEJUK ini dalam workshop tersebut dengan mengacu laporan Freedom House yang menempatkan Indonesia pada kategori Partly Free.

“Saat ini posisi Indonesia kian tidak bebas. Sudah lampu kuning yang mendekati merah. Sumbangan terbesar dari kondisi tersebut adalah pada semakin mundurnya kebebasan pers di Indonesia.”

Demikian disampaikan Saidiman sebagai dasar untuk mendorong jurnalis kampus lebih berani memberitakan isu keragaman yang mempromosikan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Sementara pemateri HAM Kebebasan Beragama Daniel Awigra memaparkan tanggung jawab negara yang berkewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak beragama dan berkeyakinan segenap warganya, tanpa terkecuali. Sebab, sambung Awigra yang juga salah satu pendiri SEJUK, hak dan kebebasan warga untuk meyakini agama sama sekali tidak bisa dikurangi.

Sehingga, pegiat Human Rights Working Groups (HRWG) ini sangat menekankan kepada para peserta akan pentingnya pemberitaan-pemberitaan yang mengawal dan menuntut negara agar menjalankan kewajibannya menegakkan HAM dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.

 

Memihak Korban

Narasumber Teori Jurnalisme Keragaman Alif Imam Nurlambang memberikan kiat bahwa ketika meliput konflik agama, tugas jurnalis bukan memerikasa keimanan seseorang. Sebaliknya, jurnalis harus bersih dari bias, bebas dari iman. Sebab, media dan jurnalis harus memperhatikan dampak dari pemberitaan yang dapat menggiring publik makin membakar konflik.

Inilah yang tidak banyak dipraktikkan oleh media-media dan jurnalis di Indonesia. Jurnalis Tempo Channel yang sebelumnya giat di Kantor Berita Radio (KBR) 68H ini menengarai minimnya ruang di media-media untuk saling mengevaluasi di kalangan jurnalis lapangan dengan redaksi (news room) terkait pemberitaan-pemberitaannya. Teristimewa isu agama, bahkan sejak menentukan news worthy harus dibahas agar framing pemberitaan tentang konflik mampu mengemban misi mendamaikan.

“Idealnya di setiap media ada tim evaluasi dan ombudsman yang secara berkala melakukan evaluasi terhadap pemberitaan sehingga berita-berita pada isu keberagaman lebih memihak kepentingan publik,” ujar Alif.

Evaluasi berkala (mingguan ataupun bulanan), bagi Alif, menjadi sangat relevan dalam pemberitaan konflik agama. Sebab, mengacu pada formulasi peace journalism sebagaimana diamanatkan Johan Galtung, jurnalis tidak boleh terjatuh sekadar mewartakan peristiwanya. Media dan jurnalis harus banyak memberikan tempat pada aktor-aktor perdamaian, terlebih narasumber di kalangan masyarakat.

Akan tetapi, kritik Alif, fakta pemberitaan lebih banyak berfokus pada narasumber elit. Akibatnya, suara-suara korban terabaikan.

Luh De Suriyani dari Sloka Institute Bali membawakan materi Wajah Perempuan di Media. Luh De memaparkan semakin massifnya media memproduksi bahasa kekerasan terhadap perempuan. Penggunaan diksi yang misoginis dan sangat patriarkis berserakan di dalam berita-berita yang mengangkat isu perempuan.

Di sisi lain, tidak banyak jurnalis perempuan di media. Kalaupun ada, mereka hanya ditugaskan di desk fashion, infotainment, dan sejenisnya, yang tidak bersentuhan dengan kepentingan publik. Tidak heran jika banyak sekali berita yang malah mengorbankan kembali perempuan yang sudah menjadi korban, seperti dalam kasus trafficking dan kekerasan terhadap perempuan lainnya.

Dalam situasi demikian, kontributor The Jakarta Post ini mendorong para jurnalis kampus mengamalkan jurnalisme yang berperspektif gender, bukan lagi jurnalisme netral.

“Berita tidak lagi hanya mengabarkan atau menginformasikan, melainkan harus berani membongkar mitos dan merekonstruksi realitas, sehingga mampu menyuarakan hak-hak perempuan korban kekerasan,” harap Luh De.

Menyampaikan materi Features Kebebasan Beragama, Budhi Kurniawan menyelipkan kembali presentasinya agar dalam membuat berita diberikan ruang yang lebih banyak bagi korban. Jurnalisme Keragaman yang dimajukan SEJUK adalah bagaimana media menghormati kebhinnekaan dan memihak pada kelompok rentan.

Mengabarkan konflik kebebasan beragama, kata jurnalis Kompas TV yang juga pendiri SEJUK, harus menggunakan kaidah giving voice to the voiceless, menyuarakan mereka yang tidak bisa suarakan hak-haknya. Materi yang disampaikan Budhi Kurniawan menjadi bekal sebelum peserta workshop jurnalis kampus turun ke lapangan membuat berita di Gereja Katholik Tuka dan Kampung Bugis Serangan.
Peserta Workshop Pers Kampus di bali

Peserta Workshop

Workshop jurnalis kampus ini diikuti 25 peserta yang mewakili lembaga pers mahasiswa (LPM) dari kampusnya masing-masing. Selain dari Bali, peserta yang terlibat dalam workshop ini juga berasal dari kampus Mataram (NTB), Flores (NTT), Ambon, Makassar, Medan, Padang, Lampung, Jakarta, Cirebon (Jawa Barat), Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Malang, dan Surabaya.

Tema besar dari workshop jurnalis kampus SEJUK tahun ini adalah menggemakan harmoni melalui pemberitaan. Selain di Bali, tahun ini workshop serupa akan digelar di Manado dan Salatiga. Informasi lebih lengkap dapat diunduh di https://sejuk.org/2016/01/26/undangan-sejuk-workshop-jurnalisme-keberagaman-untuk-pers-mahasiswa/.

Untuk itu SEJUK kembali mengundang pers mahasiswa untuk terlibat aktif dalam workshop di Manado dan Salatiga. (Thowik SEJUK)

Tags: #KebebasaBeragama#ToleransiHarmoniHeadlinejurnalisme damaiSEJUK
Previous Post

Ketua AJI Kupang: Pemberitaan LGBT Langgar Prinsip Jurnalistik

Next Post

Mengapa Swa-sensor Muncul?

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Mengapa Swa-sensor Muncul?

Mengapa Swa-sensor Muncul?

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Alasan Mengapa LGBT Diterima Gereja Ini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In