Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Jangan Pernah (Lagi) Melarang Pemutaran Film

by Redaksi
21/03/2016
in Uncategorized
Reading Time: 2min read
Jangan Pernah (Lagi) Melarang Pemutaran Film

Gambar sampul Film 'Pulau Buru Tanah Air Beta'.

Share on FacebookShare on Twitter
Gambar sampul Film 'Pulau Buru Tanah Air Beta'.
Gambar sampul Film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’.

Pelarangan pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ oleh pihak kepolisian Menteng tidak bisa dibenarkan. Menyalahi akal sehat.

20an orang datang ke depan gedung Goethe Institute. Mereka membentang spanduk anti-komunisme seraya berseru agar pemutaran film ‘Pulau Buru’ yang seharusnya diputar di Goethe hari itu (16/3) dibatalkan. Polisi memiliki segala prasyarat teknis dan hukum untuk membubarkan para pembuat onar saat itu juga. Tapi apa yang terjadi membuat kita terbelalak: film dilarang diputar.

Dilarang di Goethe, pihak penyelenggara membawa film itu ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (KOMNAS HAM). Pada ruang yang menyediakan tempat duduk 100 buah itu, 200 orang berjejal menonton film terlarang itu. Tidak ada apa-apa setelahnya. Tidak ada keonaran. Tidak ada gelombang massa yang datang menyerbu. Paranoia tentang kekisruhan jika film diputar jauh dari kenyataan.

Ini bukan kali pertama, sebuah acara menonton film dibubarkan oleh polisi atas dasar desakan massa. Film the Look of silence, juga the Act of killing, karya Joshua Oppenheimer dilarang tayang di beberapa kota. Acara-acara diskusi yang mendatangkan feminis Muslim asal Kanada, Irshad Manji, juga dibubarkan. Intelektual Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar-Abdalla, juga pernah dilarang menghadiri diskusi di sebuah universitas. Bahkan acara penyuluhan kesehatan bisa dibubarkan karena desakan massa.

Dalam banyak kasus semacam itu, ketika massa datang hendak membubarkan diskusi atau pemutaran film, polisi seolah cenderung memihak massa penyerang. Dalih yang sering digunakan polisi adalah bahwa acara harus dibubarkan untuk menghindari keonaran atau kekisruhan. Padahal fungsi polisi adalah menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman setiap warga negara dalam menjalankan aktivitas. Adalah hak setiap warga untuk berkumpul, berdiskusi, menonton film, mendengarkan musik, dan menyalurkan aspirasi. Segala bentuk upaya menghalangi pemenuhan hak itu adalah kekerasan. Seharusnya polisi berdiri di garda terdepan mencegahnya.

‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ adalah film documenter tentang dua orang mantan tahanan Pulau Buru, Hersri Setiawan dan Tedjabayu Sudjojono, yang melakukan perjalanan ‘pulang’ ke pulau pembuangan mereka di masa Orde Baru. Mereka berniat mengunjungi tempat-tempat yang dulu mereka akrabi semasa pembuangan. Tidak terlalu banyak yang bisa mereka temui lagi. Banyak yang telah berubah. Beberapa mantan tahanan Pula Buru yang tetap tinggal di sana juga tidak banyak memberi keterangan. Usia menghalangi mereka untuk berkomunikasi lebih lancar.

Film ini adalah film biasa tentang perjalangan ‘pulang’ dua orang ke masa lalu mereka yang getir dan pahit. Mereka ingin melihat kembali seperti apa wajah tempat dimana mereka pernah hidup tersiksa. Pada umumnya, ini adalah cerita biasa ummat manusia yang pernah mengalami peristiwa penting di masa hidupnya. Semua orang mungkin pernah mengalaminya. Tidak ada yang begitu istimewa.

Pada akhirnya, pelarangan penayangan film ini di sebuah pusat kebudayaan Jakarta harus dihentikan. Kepolisian yang mengambil inisiatif pembatalan pemutaran film perlu dimintai keterangan, dievaluasi, kalau perlu diberi sanksi oleh lembaga tempatnya bekerja. Di masa depan, hal ini tidak boleh lagi terjadi.

[Saidiman Ahmad]

Tags: #Kebebasan#MediaHeadline
Previous Post

Mengapa Swa-sensor Muncul?

Next Post

Sejarah gerakan gay di Indonesia

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Coming Out

Sejarah gerakan gay di Indonesia

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Alasan Mengapa LGBT Diterima Gereja Ini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In