
Pelarangan pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ oleh pihak kepolisian Menteng tidak bisa dibenarkan. Menyalahi akal sehat.
20an orang datang ke depan gedung Goethe Institute. Mereka membentang spanduk anti-komunisme seraya berseru agar pemutaran film ‘Pulau Buru’ yang seharusnya diputar di Goethe hari itu (16/3) dibatalkan. Polisi memiliki segala prasyarat teknis dan hukum untuk membubarkan para pembuat onar saat itu juga. Tapi apa yang terjadi membuat kita terbelalak: film dilarang diputar.
Dilarang di Goethe, pihak penyelenggara membawa film itu ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (KOMNAS HAM). Pada ruang yang menyediakan tempat duduk 100 buah itu, 200 orang berjejal menonton film terlarang itu. Tidak ada apa-apa setelahnya. Tidak ada keonaran. Tidak ada gelombang massa yang datang menyerbu. Paranoia tentang kekisruhan jika film diputar jauh dari kenyataan.
Ini bukan kali pertama, sebuah acara menonton film dibubarkan oleh polisi atas dasar desakan massa. Film the Look of silence, juga the Act of killing, karya Joshua Oppenheimer dilarang tayang di beberapa kota. Acara-acara diskusi yang mendatangkan feminis Muslim asal Kanada, Irshad Manji, juga dibubarkan. Intelektual Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar-Abdalla, juga pernah dilarang menghadiri diskusi di sebuah universitas. Bahkan acara penyuluhan kesehatan bisa dibubarkan karena desakan massa.
Dalam banyak kasus semacam itu, ketika massa datang hendak membubarkan diskusi atau pemutaran film, polisi seolah cenderung memihak massa penyerang. Dalih yang sering digunakan polisi adalah bahwa acara harus dibubarkan untuk menghindari keonaran atau kekisruhan. Padahal fungsi polisi adalah menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman setiap warga negara dalam menjalankan aktivitas. Adalah hak setiap warga untuk berkumpul, berdiskusi, menonton film, mendengarkan musik, dan menyalurkan aspirasi. Segala bentuk upaya menghalangi pemenuhan hak itu adalah kekerasan. Seharusnya polisi berdiri di garda terdepan mencegahnya.
‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ adalah film documenter tentang dua orang mantan tahanan Pulau Buru, Hersri Setiawan dan Tedjabayu Sudjojono, yang melakukan perjalanan ‘pulang’ ke pulau pembuangan mereka di masa Orde Baru. Mereka berniat mengunjungi tempat-tempat yang dulu mereka akrabi semasa pembuangan. Tidak terlalu banyak yang bisa mereka temui lagi. Banyak yang telah berubah. Beberapa mantan tahanan Pula Buru yang tetap tinggal di sana juga tidak banyak memberi keterangan. Usia menghalangi mereka untuk berkomunikasi lebih lancar.
Film ini adalah film biasa tentang perjalangan ‘pulang’ dua orang ke masa lalu mereka yang getir dan pahit. Mereka ingin melihat kembali seperti apa wajah tempat dimana mereka pernah hidup tersiksa. Pada umumnya, ini adalah cerita biasa ummat manusia yang pernah mengalami peristiwa penting di masa hidupnya. Semua orang mungkin pernah mengalaminya. Tidak ada yang begitu istimewa.
Pada akhirnya, pelarangan penayangan film ini di sebuah pusat kebudayaan Jakarta harus dihentikan. Kepolisian yang mengambil inisiatif pembatalan pemutaran film perlu dimintai keterangan, dievaluasi, kalau perlu diberi sanksi oleh lembaga tempatnya bekerja. Di masa depan, hal ini tidak boleh lagi terjadi.
[Saidiman Ahmad]