Oleh Daniel Awigra
“1-Nasehat Jenderal bintang 3 ini pantas direnungkan: Jika sayang dg etnis Cina yang baik, miskin & tdk bisa lari ke LN jika ada kerusuhan etnik.”
“2-mk mohon Ahok tdk arogan dlm memerintah. Kasihan dg Cina2 lainnya yg miskin, baik & tdk salah jika mrk jd korban”
Dua petikan kalimat di atas adalah cuitan dari Duta Besar Indonesia untuk Jepang Yusron Ihza Mahendra pada 28 Maret 2016. Cuitan ini menuai kecaman luar biasa dari publik di tanah air –termasuk kecaman dari Ahok atau Basuki Tjahaya Purnama sendiri, mengingat pernyataan ini keluar dari seorang pejabat publik sekaligus wakil resmi bangsa Indonesia di Jepang. Ribuan orang menuntut Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi untuk memecat Dubes Yusron lantaran ia rasis dengan menandatangani petisi online di laman change.org.
Pernyataan rasis dari seorang pejabat publik tidak bisa diterima dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Mengingat, setiap pejabat publik hidup dan digaji –salah satunya– dari pajak setiap warga negara Indonesia yang beragam latar belakang etnisitasnya. Terlebih, ia adalah pejabat publik dari Indonesia, negara yang mengakui dan menjunjung tinggi keragaman, termasuk keragaman ras dan etnis setiap warganya. Prinsip dan semboyan negara adalah “Bhinneka Tunggal Ika”. Indonesia pun telah menjamin setiap warganya bebas dari perlakuan diskriminasi berdasar ras dan etnis melalui Undang-Undang (UU) No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Secara singkat, negara Indonesia ingin berpartisipasi dalam upaya dunia memajukan peradaban dengan penghapusan rasisme.
Di tingkat internasional, Indonesia telah meratifikasi dan menjadi negara pihak Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sejak disahkannhya konvensi tersebut melalui UU No. 29 tahun 1999.
Lalu, apa itu rasisme?
Rasisme merujuk pada suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu. Sikap rasis dengan sendirinya adalah diskriminatif.
Definisi diskriminasi ras dan etnis dalam pasal pertama UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Ikhtiar UU tersebut adalah untuk mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.
UU tersebut juga menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apa pun, baik ras maupun etnis. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis. Adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan. Kondisi masyarakat Indonesia yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik.
Bagi orang beragama, sikap rasis sejatinya telah merendahkan Sang Pencipta juga merendahkan martabat manusia yang paliing hakiki sebagai mahluk ciptaanNya. Setiap manusia, tidak pernah bisa meminta dilahirkan dengan ras ataupun etnik tertentu.
Bahaya pernyataan rasis dari pejabat publik
Meski pernyataan Yusron dinilai banyak pihak kental dengan nuansa politisnya –mengingat kontestasi politik jelang Pilkada DKI Jakarta tahun depan, di mana Ahok akan ditantang oleh Yusril (kakak Yusron, red) namun tetap saja, pernyataan ini berbahaya setidaknya pada dua hal; pertama berpotensi membuat atau melanggengkan steriotipe terhadap etnis Tionghoa, dan kedua soal potensi konflik yang ditimbulkan setelahnya.
Dua bahaya tersebut, terkonfirmasi di dalam kolom yang berjudul “Politik Identitas Cina” (Solopos 2/4/2016) yang ditulis oleh A. Windarto, seorang peneliti dari Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma Yogyakarta. Ia mengatakan, sikap dan tindakan anti Cina (sinophobia) masih menjadi fenomena yang efektif dan operatif untuk dimanfaatkan dalam konflik dan kekerasan di Indonesia.Dengan kata lain, sejarah kekejaman terhadap orang-orang Tionghoa yang diyakini selalu akan berulang seakan-akan telah menjadi warisan yang turun-temurun. Maka bukan kebetulan jika “Cina” dipandang sebagai identitas yang melekat pada diri orang-orang Tionghoa yang dianggap arogan atau sok jago.
Windarto melanjutkan, namun sesungguhnya dalam sejarah di Indonesia identitas itu belumlah terlalu lama diperkenalkan dan disebarluaskan. Diduga baru pada awal abad ke-19 identitas yang bernada ejekan atau merendahkan itu digunakan dan ditujukan bagi orang-orang ber-tauchang (kuncir rambut) di era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ejekan yang diucapkan oleh orang-orang Eropa itu merupakan bagian dari kampanye bertipikal diskriminasi atau SARA (sosial, agama, rasial) yang merujuk pada masa kekaisaran dinasti Qing/Ching.
Membangkitkan sinophobia untuk “menghantam” Ahok dalam kontestasi Pilkada membahayakan persatuan Indonesia, mengingat bangsa ini belum selesai dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berlatar belakang konflik etnis, sebut saja kasus Mei 1998. Hal ini tambah berbahaya mengingat saat ini kelompok-kelompok intoleran yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan dalam melakukan aksinya, juga ingin “mengeruk manfaat” dari bangkitnya isu ini. Kerusuhan berlatar etnis, bukan barang baru di republik ini. Karena belum tuntas diselesaikan melalui mekanisme peradilan, ia masih menjadi bayang-bayang yang amat nyata.
Pemecatan Yusron?
Pernyataan yang rasis dari Yusron secara etis bermasalah dengan sumpah atau janji jabatan publiknya. Memang, hingga kini belum ada ketentuan yang mengatur tentang tata prilaku dan pedoman etik, khusus bagi diplomat Indonesia.
Sebagai seorang diplomat, Yusron bermasalah di sini. Seharusnya ia memberi teladan dalam pelaksanaann Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan penuh pengabdian, kesadaran, tanggung jawab dan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ia wajib mengupayakan penghargaan atas keragaman dan aktif membangun cita-cita keadilan dan perdamaian, bukan sebaliknya.
Di titik inilah, Kementerian Luar Negeri perlu didesak kembali untuk segera merampungakan kode etik diplomat Indonesia. Di sana, perlu juga diatur soal sanksi atas pelanggaran etik; baik dari sanksi administratif maupun sampai pemecatan.
Mengingat belum adanya kode etik ini, rasanya tak berlebihan untuk mendorong Yusron, benar dan layak menjadi Dubes Indonesia untuk Jepang, yaitu ikut mempromosikan budaya baik dari Negeri Matahari Terbit; siap mundur dari jabatannya.