Bahkan di usia lanjut sekalipun para korban 1965-1966 terus diteror aparat. Kehidupan sehari-hari diinteli.
Manakala ormas-ormas yang gemar aksi kekerasan seperti FPI mengintimidasi dan merampas hak-hak penyintas ’65 ataupun warga negara lainnya yang sedang berdiskusi, berekspresi dan memutar film seputar ide-ide kiri dan PKI, oleh aparat ormas semacam itu senantiasa difasilitasi.
Lalu, pemerintahan Jokowi menawarkan lagi rekonsiliasi. Tetapi, aksi-aksi anti-demokrasi aparatnya terhadap penyintas ’65 terus direstui.
Sekretaris International People’s Tribunal 1965 Reza Muharam mencatat selama era Jokowi sudah lebih dari 30 kali aksi teror dan pembubaran terhadap kegiatan yang terkait upaya-upaya pengungkapan kebenaran pembantaian 1965-1966, baik yang ditempuh para penyintas 65 maupun aktivis atau seniman pengusung hak asasi.
Mari kita saksikan bersama-sama model rekonsiliasi seperti apa yang tengah diwacanakan pemerintahan Jokowi. Yang prosesnya juga diselingi teror lagi.
Pada saat para penyintas 65 yang bernaung di bawah Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP) berkumpul di Coolibah, Cianjur (14 April), dalam rangka menyiapkan posisi mereka untuk mengikuti Simposium Nasional “Membedah Tragedi 1965” di Hotel Aryaduta 18-19 April 2016 atas prakarsa Wantimpres dan Menkopolhukam, sekitar seribu massa yang di antaranya tergabung dalam FPI dan Pemuda Pancasila berdatangan. Anehnya, aparat membiarkan massa dari berbagai wilayah tumplek di Coolibah tanpa sedikitpun upaya untuk menghentikannya.
Alih-alih 500 aparat yang di antaranya banyak menenteng sejata dan juga mendatangkan barakuda menghalau kelompok-kelompok pengacau dan peneror atas nama agama, para penyintas 65 yang adalah tamu Wantimpres dan Menkopolhukam justru dipaksa bubar dan pergi dari tempat acara.
Akhirnya, sekitar 80 penyintas ‘65 yang usianya kisaran 70-an dari berbagai wilayah Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi yang diundang pemerintahan Jokowi untuk terlibat dalam Simposium Nasional terpaksa pergi malam itu juga dari hotel tempat mereka menginap di Coolibah berpindah tidur ke gedung YLBHI di ruangan terbuka dengan hanya beralaskan karpet dan kasur lantai.
Mungkinkah dengan fakta yang demikian pemerintahan Jokowi serius meninggikan demokrasi mendorong rekonsiliasi dengan mengungkapkan kebenaran dan proses yudisial agar korban dan keluarga korban ’65 kembali dipulihkan hak-haknya serta mendapatkan kebebasan yang bermartabat?
Secara prinsipil, meminjam konsepsi Henry B. Mayo, runtuhlah demokrasi ketika kesetaraan dan kebebasan politik para korban ’65 sebagai warga negara Indonesia masih dipasung pemimpin terpilih, Jokowi. Hingga kini!
Padahal, selain melalui prosedur pemilu, penyelenggaraan demokrasi mensyaratkan pula prinsip kesamaan dan jaminan kebebasan. Teror, ancaman dan pelarangan setiap gerak dan aktivitas para penyintas ’65 oleh aparat pemerintahan adalah pengingkaran terhadap ruh demokrasi. (Thowik SEJUK)