Kanza Vina (duduk dengan bendera pelangi) dalam aksi menolak kekerasan seksual terhadap perempuan di Bundaran HI, Jakarta (14/5/2016)
Kanza Vina terpaksa lari dari rumah. Ia enggan lagi berurusan dengan orangtuanya yang tidak menerima bahwa anaknya merupakan seorang transgender. Terlebih di sekolahnya Vina kerap dijadikan sebagai sasaran bullying. Tidak hanya teman-temannya, bahkan bullying pun dilakukan tenaga pengajar yang sering mengolok-olok bahwa Vina adalah kaum Luth.
Demikian aktivis Arus Pelangi Lini Zurlia berkisah mengenai sahabatnya, Vina, dan berbagai bentuk diskriminasi yang diterima oleh kelompok LGBT usai keduanya menjadi pembicara dalam Workshop Pers Mahasiswa bertema Jurnalisme Keberagaman di Era Digital, Sabtu lalu (4/2/2017) di The Mirah Hotel, Bogor.
“Di sekolah, khususnya lelaki dengan ekspresi gender feminin rentan di-bully,” ujar Lini yang di Arus Pelangi mengemban tugas divisi Access to Justice Project & Education itu. Berlatar dari persoalan diskriminasi tersebut, Arus Pelangi sebagai organisasi massa yang mengakomodir dan mengadvokasi kelompok LGBT terus melakukan kampanye dan pemahaman mengenai anti-bully, termasuk terhadap orang dengan ekspresi gender lainnya yang berbeda.
“Kita pernah melakukannya ke sekolah-sekolah dan bekerjasama dengan UNESCO,” tambah Lini yang, bersama Vina, dengan sukarela hadir dalam workshop yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) 2-5 Februari 2017 bekerjasama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan EngageMedia.
Kegiatan kampanye ke sekolah-sekolah itu terakhir dilaksanakan Tahun 2014 lalu, sebelum kelompok LGBT ramai diperbincangkan di media dan mendapat statement buruk dari masyarakat kebanyakan. Hingga kini, kelompok LGBT belum bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.
Lini Zurlia (duduk ketiga dari kanan dengan kaos tak berlengan) usai memberikan materi workshop pers mahasiswa SEJUK di Bogor (4/2/2017)
Diskriminasi sosial dan ekonomi
Dampak dari perlakuan diskriminatif terhadap kelompok LGBT sangat berpengaruh terhadap kehidupan kelompok LGBT, terutama secara sosial dan ekonomi. Kalangan LGBT biasanya kabur dari keluarganya dan artinya putus sekolah. Dampak dari terputusnya pendidikan dan berbagai bentuk diskriminasi di masyarakat adalah minimnya pengalaman maupun skill. Sehingga, sangat kecil kemungkinan bagi mereka memiliki peluang kerja.
“Maka dari itu, teman-teman LGBT sangat terbatas memiliki akses dalam bekerja,” Lini menuturkan akibat lebih jauh dari situasi ini. Terjerumusnya kalangan LGBT menjadi pekerja seks komersial (PSK) bermula dari kebutuhan ekonomi yang terus meningkat dan mendesak, sementara tidak diimbangi dengan kemampuan yang mumpuni dari mereka untuk bekerja atau berwirausaha dan berkompetisi.
Di sinilah Arus Pelangi mengusahakan untuk meminimalisir konsekuensi-konsekuensi yang diterima kelompok LGBT. Berdirinya Arus Pelangi pada 2006 ini didorong oleh kebutuhan yang mendesak di kalangan komunitas LGBTI, baik individu maupun kelompok, untuk membentuk organisasi massa yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar komunitas LGBTI di Indonesia.
Lini melanjutkan, secara garis besar Arus Pelangi memiliki empat program kerja, yakni: advokasi kebijakan, kampanye publik, pendidikan, dan keorganisasian.
“Untuk advokasi kebijakan dan kampanye publik ditujukan bagi internal keanggotaan LGBT. Sedangkan dalam pendidikan dan keorganisasian, jaringan-jaringan non-LGBT pun dilibatkan,” paparnya.
Tujuan Arus Pelangi tidak muluk-muluk. Lini menyatakan bahwa harapan terdekatnya ialah kelompok LGBT tidak lagi mengalami kekerasan secara fisik maupun psikis. Isu yang beredar menyoal upaya kelompok LGBT di Indonesia yang tengah menuntut negara melegalkan pernikahan sejenis ia bantah.
“Jangankan melegalkan pernikahan sejenis, pernikahan hetero saja di Indonesia masih penuh masalah, terutama pernikahan usia di bawah umur, yakni 16 tahun,” ungkapnya. Arus Pelangi pun turut serta dalam mengadvokasi untuk mengubah kebijakan itu.
Isthiqonita (tengah, berkacamata, memakai baju merah yang mengacungkan “victory”) diskusi bersama rekan-rekan workshop pers mahasiswa SEJUK
Stigma dan fakta
Vina yang merupakan transgender perempuan kerap kebingungan ketika orang di sekitarnya mempertanyakan mengapa ia memilih untuk menjadi transgender. Di hadapan 25 peserta workshop dari pers mahasiswa wilayah Aceh, Kepulauan Riau, Kendari, Ternate, Jakarta, Tangerang, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, ia yang merasa tidak nyaman ketika harus mengekspresikan gendernya sebagai lelaki maskulin berujar, “Padahal saya seperti ini bukan pilihan. Pertanyaan tersebut sama halnya dengan kenapa kamu memilih untuk menjadi hetero?”
Sejatinya identitas gender, ekspersi gender, orientasi seksual yang masih belum bisa secara bebas diaplikasikan, lantaran kultur dan nilai-nilai lama yang menstigma dan diskriminatif terus dipertahankan masyarakat. “Misalnya saya memiliki sex lelaki, namun ekspresi gender saya feminin dan orientasi seksual saya terhadap lelaki, saya pun menyatakan bahwa identitas gender saya adalah perempuan,” tambah Vina. Kondisi seperti Vina ini biasanya dianggap menyalahi kebiasaan di masyarakat bahwa seharusnya ia menjadi lelaki dengan ekspresi gender maskulin dan orientasi seksual terhadap perempuan.
Menanggapi hal itu Lini menilai bahwa kondisi masyarakat mayoritas yang hanya menerima dua identitas gender, yakni lelaki dan perempuan, dipengaruhi oleh penerimaan masyarakat terhadap pengetahuan bahwa hubungan yang ideal adalah hetero. “Sejak lama kita diberi tahu bahwa hubungan yang ideal itu ketika terjadi penetrasi antara penis dan vagina,” terang Lini.
Perihal pernyataan bahwa LGBT adalah penyumbang penyakit HIV terbesar pun dibantahnya. Sarjana lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini lantas menyodorkan data dari Kementrian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2 Desember 2015. Data ini merupakan laporan perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan III (Juli-September) 2015.
Beberapa penyebab HIV di antaranya hubungan penetrasi antara penis dan vagina, hubungan penetrasi secara anal, penggunaan jarum suntik, dan lain-lain. Berdasarkan data Kemenkes, penyumbang penyakit HIV terbesar ialah hubungan penetrasi antara penis dan vagina atau pada kelompok heteroseksual 46,2%, disusul oleh LSL (Lelaki Seks Lelaki) 24,4% dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun 3,4%. Sementara persentase faktor risiko AIDS tertinggi diidap heteroseksual 87%, LSL 5,8% dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun 1,6%.
“Mana mungkin saya yang lesbian menjadi penyumbang HIV? Melihat penis pun saya tidak pernah,” ujar Lini.
Saat ini Lini dan komunitasnya terus mengusahakan memberikan pemahaman yang benar mengenai kelompok LGBT. Sedangkan Vina, peraih penghargaan Suardi Tasrif dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2016, tengah berusaha untuk bertahan bersama kelompoknya secara ekonomi, di tengah kehidupannya sebagai waria, dengan aktif di Sanggar Waria Remaja (Swara).
***Dilaporkan Isthiqonita, Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Suaka Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung