Istimewa: Kegiatan ibadah umat Katolik Parungpanjang digelar di bawah tenda (12/3/2017)
Jemaat Gereja Katolik St Laurensius Parungpanjang, Bogor, harus beribadah di bawah tenda di Perum III Bumi Parungpanjang Minggu pagi (12/3/2017). Sementara pengajaran Pendidikan Agama anak-anak dilakukan di rumah-rumah jemaat. Hal tersebut merupakan dampak dari penetapan status quo oleh jajaran Pemerintah Kabupaten Bogor sampai tingkat kecamatan dan desa, aparat kepolisian, militer, Kemenag, KUA, FKUB, dan MUI terhadap gereja Katolik, HKBP dan Methodist di Perumahan Griya Parungpanjang yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan apapun sampai akhir Maret.
Penetapan status quo yang sepihak, tanpa melibatkan ketiga gereja tersebut, dirasakan Martinus (Dewan Stasi St Laurensius) merampas rasa nyaman hak-hak beribadah umat.
“Tadi pagi pkl. 8.00 sekitar 100 umat beribadah di bawah tenda biru, karena banyak yang belum tahu soal relokasi ke tempat lain. Setelah ibadah kami lanjutkan dengan pendidikan agama anak-anak di rumah-rumah. Di Perum III untuk anak SMU dan di Perum II setingkat TK, SD dan SMP,” ujar Martinus.
Berbeda dengan Katolik, Gereja HKBP dan Methodist memutuskan tetap beribadah di gereja mereka masing-masing melawan keputusan status quo yang dianggap tidak ada rujukan hukumnya di negara ini. HKBP menggelar ibadah Minggu pagi. Methodist sorenya, pkl. 15.30. Demi menjalankan ibadah Minggu, ketiganya berkirim Surat Permohonan Perlindungan/Jaminan Keamanan kepada kepolisian di hari Jumat (10/3/2017).
“Pagi ini kami beribadah 128 orang di bangunan gereja yang sedang diurus proses perizinan IMB-nya. Ibadah berjalan lancar,” kata salah seorang pengurus HKBP Perumahan Griya Parungpanjang Nainggolan.
Selain hak beribadah, sekolah Minggu atau pendidikan agama sempat menjadi polemik dalam rapat sosialisasi penetapan status quo di Kantor Camat Parungpanjang Kamis lalu (9/3/2017). Pasalnya, jadwal pendidikan minggu-minggu ini adalah Ujian Tengah Semester, di samping juga bagi ketiga gereja sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk memberikan pendidikan agama kepada anak-anak mereka, sehingga gereja harus menggelar Sekolah Minggu agar anak-anak mereka mendapatkan nilai Pelajaran Agama dari gerejanya masing-masing.
Namun begitu, pustusan status quo agar ketiga gereja tidak digunakan untuk aktivitas apapun tanpa disertai dengan tanggung jawab negara untuk memfasilitasi warganya mendapatkan tempat sementara untuk menjalankan ibadah dan memenuhi hak-hak anak memperoleh pendidikan agama secara aman dan nyaman, sebagaimana warga negara lainnya.
“Kami bingung bagaimana anak-anak kami yang jumlahnya 90 lebih dari tingkat SD sampai SMA bisa belajar pendidikan agama?” protes Martinus saat itu di hadapan Muspika Edi Mulyadi dan Kapolsek Parungpanjang Kompol Lusi Saptaningsih. (Thowik SEJUK)