Senin, Mei 12, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Siaran Pers

Media harus Aktif Beritakan Kebebasan Beragama ketika semakin Banyak Aturan dan Penerapan Hukum yang Diskriminatif

by Redaksi
25/10/2018
in Siaran Pers
Reading Time: 4min read
Media harus Aktif Beritakan Kebebasan Beragama ketika semakin Banyak Aturan dan Penerapan Hukum yang Diskriminatif
Share on FacebookShare on Twitter

Melisssa Tamplin Harrison dari The Media Project dalam Seminar “Journalism, Political Identity and Religious Freedom in Indonesia” di UKI, Cawang, Jakarta (23/10)

Jurnalis yang taat beragama bisa sekaligus melaporkan isu agama dengan baik. Karena itu penting sekali upaya-upaya mendorong para jurnalis untuk dapat berbagi nilai-nilai ataupun misi agama yang diyakininya lewat karya-karya jurnalistik yang menciptakan masyarakat yang lebih bijak dalam menghidupkan kebebasan beragama.

Hal tersebut disampaikan Melissa Tamplin, penyiar berita yang sudah lebih dari 15 tahun bekerja di banyak stasiun televisi di Amerika Serikat seperti WNBC-TV di New York dan WFAA di Dalas, dalam workshop jurnalisme video di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Selatan (24/9). Kegiatan ini merupakan rangkaian Seminar & Workshop bertema “Journalism, Political Identity and Religious Freedom in Indonesia” pada 22-25 Oktober 2018 di UKI dengan melibatkan jurnalis, akademisi, pers mahasiswa, dan kelompok-kelompok penyintas korban kekerasan atas nama agama.

“Kami yang tergabung dalam jaringan jurnalis mainstream dari banyak negara mendorong pelaporan akurat dan jujur secara intelektual pada semua aspek budaya dan terutama lagi pada peran agama dalam kehidupan publik di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia,” ujarnya di hadapan peserta workshop menjelaskan kehadiran The Media Project selama empat hari di Jakarta.

Melissa Tamplin & Vishal Arora (duduk di tengah) bersama peserta dan panitia UKI dan SEJUK (24/10)

Media dan Penodaan Agama

Sementara, pakar kebebasan beragama di dunia Paul Marshall mendorong agar media di Indonesia lebih aktif memberitakan isu-isu kebebasan beragama ketika aturan hukum dan penerapannya masih diskriminatif terhadap kalangan minoritas. Pengurus teras The Media Project ini melihat betapa aturan dan pasal-pasal Penodaan Agama di Indonesia sangat rentan diselewengkan dan digunakan untuk menjerat kelompok minoritas seperti Kristen, Syiah dan sebagainya.

Ini bisa dengan mudah terjadi, menurutnya, karena definisi tentang penodaan agama yang terlampau luas, sehingga mudah diseret-seret oleh kepentingan tertentu. Ia pun merasa heran dengan pustusan pengadilan di Sumatera Utara lantaran memenjarakan Meiliana, perempuan penganut Budha di Tanjung Balai yang merasa terganggu dengan suara adzan dan menyampaikan keluhannya agar volume adzan dikecilkan lagi.

“Apakah perempuan itu (Meiliana) menista Islam karena meminta agar suara adzan dikecilkan?” tanya punggawa senior Pusat Kebebasan Beragama di Hudson Institute ini dengan nada tidak percaya pada kenyataan yang menimpa Meiliana.

Karena itulah Paul Marshall mengajak media dan publik lebih aktif “mengkritik” dan memperkarakan aturan yang diskriminatif ini sehingga dapat meminimalisir dampak dari pasal-pasal penodaan agama.

Paul Marshall, Vishal Arora & Melissa Tamplin (The Media Project), akademisi Universitas Kristen Indonesia dan SEJUK di UKI, Jakarta Timur (22/10)

Kebebasan beragama terus ditindas

Berdasarkan pengamatan Paul Marshall masih banyak orang Indonesia yang tidak bisa mengekspresikan agama atau keyakinannya. Sehingga, bangsa ini masih perlu berproses dalam membangun harmoni dan kebebasan dalam beragama.

Ketegangan dan konflik 20 tahun terakhir setelah runtuhnya Orde Baru terus meningkat. Di antara pangkal masalahnya adalah dampak fatwa-fatwa MUI dan Perber 2006 tentang pendirian rumah ibadah.

Selain itu, pengakuan terhadap 6 agama juga memunculkan masalah yang tidak mudah. Sebagai contoh, rumah ibadah Yahudi, sinagog, di Surabaya dirusak dan ditutup. Pun aliran kepercayaan yang masih harus dipastikan pemenuhan kebebasannya dalam mengakses hak-hak publik seperti pendidikan, kesehatan dan seterusnya, meskipun ada langkah maju dengan putusan MK November tahun lalu (2017) yang artinya memberikan pengakuan kepada selain 6 agama yang resmi.

Bahai, misalnya, cukup baik mulai diterima pemerintah (Kementerian Agama), tetapi secara umum situasi hak dan kebebasan beragama Syiah, Ahmadiyah dan eks-Gafatar masih buruk. Mereka terus mengalami diskriminasi dalam mengamalkan keyakinannya.

Dalam konteks Kekristenan, banyak orang cenderung melihat bahwa Kristen (dan Katolik) identik dengan Barat dan kulit putih. Faktanya, tidaklah demikian, papar Paul Marshall dalam seminar yang dikerjasamakan King’s College dan The Media Project dengan UKI dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

“80 persen penganut Kristen yang aktif adalah masyarakat belahan bumi luar Barat. Bahkan, lebih banyak warga Cina, yang merupakan negara komunis, yang hadir ke gereja ketimbang orang-orang Eropa,” tutur pengarang buku Religious Freedom in the World (2000 & 2008).

Namun begitu, kasus-kasus persekusi dengan kekerasan yang sangat berdampak pada gereja tidak hanya dialami oleh umat Kristen di Indonesia. 100 jutaan umat Kristen di sekitar 35 negara didera persekusi. Dan, sambung Paul Marshall, aksi persekusi tertinggi terjadi di negara-negara komunis dan post-komunis seperti Cina, Vietnam, Laos, Korea Utara, Kuba, Turkmenistan, Uzbekistan, Belarusia, di mana kontrol negara yang sangat kuat terhadap Kristen.

Setelah itu persekusi terhadap gereja banyak dialami di negara-negara penganut nasionalisme religius Asia Selatan.

“India, Burma, Sri Lanka, Nepal, dan Bhutan yang merupakan negara-negara dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha banyak melakukan persekusi terhadap gereja,” ujarnya.

The Media Project atau King’s College dengan Universitas Kristen Indonesia melakukan MoU kerjasama (24/10)

Urutan berikutnya di negara-negara Islam. Gereja mendapat tekanan dan umat Kristen mengalami kekerasan dari kelompok Islam radikal seperti ISIS.

“Selain persekusi terhadap umat Kristen dengan tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat sebagaimana terjadi di Afganistan, Pakistan dan Mesir, mereka juga banyak yang dijebloskan penjara dengan delik Penodaan Agama seperti di Pakistan dan negara-negara Islam lainnya”, ungkap Paul Marshall yang sekaligus menyampaikan pandangan dan sikapnya terkait tantangan kebebasan beragama di Indonesia dan negara-negara belahan bumi lainnya selama seminar (22-23 Oktober).

Di samping Melissa dan Paul Marshall, dari Media Project juga menghadirkan Vishal Arora. Jurnalis berasal dari India yang banyak memproduksi features video terkait isu agama ini menjadi narasumber workshop dengan memberikan bekal teknik dan keterampilan tentang mobile journalism (24-25 Oktober).

Sedangkan Usman Kansong (Direktur Pemberitaan Media Indonesia), Ahmad Alex Junaidi (Direktur SEJUK, editor The Jakarta Post & pengajar di FIKOM UNTAR) dan Dr. Chontina Siahaan (UKI) sebagai pelaku media dan akademisi dari Indonesia menguatkan gagasan pentingnya perlindungan kebebasan beragama dalam pemberitaan.[]

Tags: #KebebasanBeragama#PaulMarshall#ReligiousFreedom#TheMediaProject#UKISEJUK
Previous Post

Paul Marshall: Banyak Warga Indonesia tidak Bebas Ekspresikan Agamanya

Next Post

Kritik Guru Besar UIN Makassar Qasim Mathar pada MUI: Berhentilah Berfatwa!

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Jelang 17 Agustus Ahmadiyah Dilarang Gelar Bazar Kemerdekaan, YLBHI: Ini Pelanggaran Konstitusi RI

Jelang 17 Agustus Ahmadiyah Dilarang Gelar Bazar Kemerdekaan, YLBHI: Ini Pelanggaran Konstitusi RI

10/08/2024
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Muslim Indonesia Terhadap Lingkungan serta Perubahan iklim

Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Muslim Indonesia Terhadap Lingkungan serta Perubahan iklim

24/07/2024
Dijegal Menjadi Kepala Daerah, Elemen Gerakan Perempuan Aceh Menegaskan: Partisipasi Perempuan dalam Pilkada adalah Hak Konstitusional

Dijegal Menjadi Kepala Daerah, Elemen Gerakan Perempuan Aceh Menegaskan: Partisipasi Perempuan dalam Pilkada adalah Hak Konstitusional

23/07/2024
Bersatu Melawan Diskriminasi: Suara Kelompok Rentan Memperjuangkan Keadilan

Bersatu Melawan Diskriminasi: Suara Kelompok Rentan Memperjuangkan Keadilan

10/07/2024
Next Post
Kritik Guru Besar UIN Makassar Qasim Mathar pada MUI: Berhentilah Berfatwa!

Kritik Guru Besar UIN Makassar Qasim Mathar pada MUI: Berhentilah Berfatwa!

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Jangan Toleran-Toleran Amat, Nanti Kebablasan!”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In