Pakar neurologi Ryu Hasan (tengah berbaju putih) dan Subrady Leo Soetjipto Soepodo dari Satyanegara Brain & Spine Center (kedua dari kiri) dalam FGD Media tentang neuroscience, agama dan politik.
Disinformasi berupa hoax di media sosial maupun fake news di media online banyak menebarkan ancaman dan kecemasan bernuansa agama menjelang pemilihan presiden 2019. Satyanegara Brain & Spine Center melihat ada kesamaan antara yang terjadi di jagat digital Indonesia dengan proses pemilu di Amerika Serikat dan Brazil dimana neuroscience yang memanfaatkan algoritma digunakan untuk menyetir para pemilih, sehingga yang dimajukan dalam kampanye bukan platform politik kandidat, tetapi segala hal yang tidak relevan tetapi demikian mudah dipercaya.
Pertanyaannya, mengapa neuroscience mulai banyak digunakan untuk memenangkan pemilu; bagaimana media memahami neuroscience dalam proses politik yang memanfaatkan media sosial; dan apa yang bisa ditempuh para ahli neuroscience dan media untuk membawa masyarakat Indonesia tetap sehat?
Pakar neurologi Roslan Yusni Hasan merespon beberapa pertanyaan tersebut dengan memaparkan cara-cara kerja otak manusia untuk kemudian bersama-sama media massa mengantisipasi masyarakat agar menjaga pikiran tetap sehat dan rasional, terutama selama masa kampanye dan kelak di bilik suara pemilihan presiden. Sebab, irelevansi-irelevansi berbasis agama akan terus diproduksi dalam proses politik.
“Pada dasarnya manusia tidak ingin informasi, tapi afirmasi,” ungkap neurologis dan ahli biologi molekuler ini di hadapan para editor media-media nasional dan jurnalis dalam FGD Media: Neuroscience, Media dan Masa Depan Politik Indonesia di Gunawarman, Jakarta Selatan, Senin sore (26/11) yang diselenggarakan Satyanegara Brain & Spine Center.
Dokter spesialis bedah saraf di RS Mayapada yang akrab disapa Ryu Hasan ini menyampaikan tentang cara kerja otak manusia yang dari dulu hanya menyukai berita-berita yang diinginkan, bukan informasi yang sebenarnya terjadi. Sehingga, manusia gampang sekali menerima berita-berita yang memenuhi seleranya atau cocok dengan keyakinannya.
Ihwal keyakinan, manusia akan bereaksi sangat cepat, terlebih jika terusik rasa amannya.
“Berita yang mengancam lebih mudah direspon dan disebar-sebar di WA ketimbang yang tidak mengancam,” demikian analisis neuroscience Ryu Hasan tentang masyarakat di era teknologi digital ini yang gampang termakan disinformasi dalam proses-proses politik.
Para peserta FGD Media Satyanegara Brain & Spine Center
Dalam sudut pandang neuroscience, sambung dokter Ryu, agama paling kuat mengikat emosi masyarakat. Karena itu, kemenangan Trump di Amerika (Evangelis) dan Bolsonaro di Brazil (Katholik) demikianpun perilaku masyarakat Indonesia (Islam) secara politik menjadi sangat konservatif, wajar jika senang mengkonsumsi berita-berita di media dan media sosial yang irrelevan, tidak memerlukan konteks dan verifikasi.
“Religiusitas bekerja berdasarkan reward and punishment. Jadi religiusitas inilah memperkuat ikatan kelompok,” ujar Ryu Hasan menegaskan mengapa semakin banyak kampanye politik di berbagai negara yang memanfaatkan neuroscience dengan menyebarkan hoax atau disinformasi yang bernuansa religius.
Untuk itu, ia mengajak media-media di Indonesia untuk menyelamatkan masyarakat dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan Amerika Serikat dan Brazil dengan membuat berita-berita yang lebih sehat, rasional dan mengedepankan nilai-nilai universal.
“Kalau ingin masyarakat sehat, maka kita (media) dulu yang harus sehat,” tantang Ryu Hasan kepada jajaran redaksi media-media nasional agar menjalankan fungsi edukasi dalam kerja-kerja jurnalistik. []