Prof. Musdah Mulia mengungkapkan penyebab perempuan terjerumus dalam gerakan terorisme karena rendahnya kesadaran literasi. Sehingga perempuan dengan mudah terbelenggu dalam indoktrinasi.
Konsep sami’na wa-atha’na, sambung Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, menjadikan perempuan begitu saja mematuhi doktrin-doktrin terorisme tanpa sedikitpun sikap kritis.
“(Dalam ajaran mereka) perempuan tidak boleh keluar rumah, tapi untuk terorisme perempuan keluar rumah,” ujar Musdah membeberkan inkonsistensi yang diterima begitu saja oleh perempuan.
Berbagai problem sosial yang terkait dalam terorisme dan penting sekali diakhiri adalah perkawinan anak, poligami dan rendahnya kesehatan reproduksi yang ditanamkan di kalangan mereka.
Hal tersebut disampaikan Musdah Mulia dalam peluncuran dan diskusi buku “Perempuan dan Terorisme: Kisah Perempuan dalam Kejahatan Terorisme” karya Leebarty Taskarina di Gramedia Matraman, Jakarta (12/1/2019).
Buku ini menawarkan perspektif yang berbeda tentang perempuan yang terlibat dalam aksi dan jaringan terorisme. Bagi Leebarty perempuan adalah korban, bukan pelaku.
“Mereka tidak sadar bahwa dirinya adalah korban,” kata Leebarty.
Leebarty Taskarina (tengah), Prof. Musdah Mulia, dan Didik Novi Rahmanto (paling kanan)
Perempuan terseret dalam terorisme karena suaminya. Konsep sami’na wa-atha’na memaksa perempuan hanya mematuhi suaminya. Mereka mengikuti saja perintah suaminya, ditinggal pergi, diminta pindah dari satu rumah ke rumah lainnya.
“Awalnya tidak menyesal menjadi mujahidah. Sebab ibu adalah madrasatul ‘ula, mengajarkan anak-anak menjadi mujahid” paparnya mencatut salah satu kisah dalam bukunya.
Sementara di masyarakat mereka mendapat stigma sebagai istri buronan, DPO terorisme. Masyarakat kemudian menganggapnya sebagai perempuan teroris. Padahal, lanjut Leebarty, mereka menjadi teroris adalah dampak dari suami saja.
Cara pandang baru Leebarty tentang perempuan dalam pusaran terorisme sebagai korban, bukan pelaku, diapresiasi Kepala Satgas Penindakan BNPT, AKBP Didik Novi Rahmanto. Meskipun dalam perspektif hukum adalah pelaku, tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas dan menyeluruh dalam penanggulangan terorisme, perempuan yang terlibat dalam terorisme adalah korban.
Meski dalam beberapa kasus, sambung Didik, perempuan tidak hanya sebagai pendukung, tapi terlibat langsung, kombatan, patroli sampai mengeksekusi tahanan. Namun begitu, mereka “dikorbankan.” Sejak ISIS, perempuan dilibatkan agar berada di garis depan terorisme.
Untuk itu, Didik menjelaskan langkah yang ditempuh BNPT, penanggulangan atau pencegahan terhadap perempuan dilakukan dengan mengembalikan perempuan yang terlibat terorisme ke masyarakat. Harus ada proses “detoks” agar mereka keluar dari zona kumparan terorisme.
“Perempuan menjadi teroris karena dampak dari narasi-narasi kekerasan,” ujar Didik. [ ]