Tak ada yang lebih membuat Buyung Yanwar (49) tersenyum kecut dengan mata sayu kecuali mengisahkan perlakuan-perlakuan penuh kebencian masyarakat Pekanbaru terhadap jemaat Ahmadiyah.
Yanwar dibaiat menjadi bagian dari Ahmadiyah pada tahun 2004. Ia pernah mengikuti aliran-aliran dalam Islam lainnya sebelum akhirnya memantapkan diri untuk menjadi bagian dari Ahmadiyah.
“Jadi saya dulu mencari-cari, mana yang cocok sama saya. Hal baiknya saya menjadi punya banyak teman baru di masa pencaharian itu,” ujarnya saat ditemui di Masjid Mubarok di Jalan Cipta Karya, Pekanbaru, Minggu (28/7/2019).
Yanwar merasa ada sesuatu yang berbeda ketika orang-orang di lingkungannya mengetahui ia seorang Ahmadiyah. Bahkan, teman-temannya kerap sekali memutuskan hubungan dengannya, terutama mereka yang pernah bersama-sama dengannya mengikuti pengajian aliran-aliran Islam yang bukan Ahmadiyah.
“Rata-rata dari mereka memutuskan silaturahmi dengan saya,” kata Yanwar yang sesekali menghisap rokoknya untuk meredakan suasana yang penuh emosional.
Yanwar mengaku senang memiliki teman dari aliran-aliran Islam lain. Hal itu yang membuatnya sangat terpukul ketika banyak dari mereka langsung memutuskan hubungan dengannya setelah ia menjadi Ahmadiyah.
“Seperti orang-orang pada umumnya, mereka mengatakan Ahmadiyah sesat, dan saya telah menjadi orang yang sesat juga,” ucapnya.
Ia merasa persoalan akidah adalah urusannya dengan Tuhan. Karena itu, ketika teman-temannya bertanya mengenai hubungannya dengan Ahmadiyah, ia selalu jujur mengakui dirinya seorang Ahmadiyah.
Usai makan siang di masjid yang tampak belum selesai pembangunannya itu, Yanwar bercerita pernah ditanya salah seorang teman tentang Ahmadiyah yang kemudia ia jawab sesuai dengan pemahaman Ahmadiyah yang dipelajari dan dianutnya. Menurutnya, temannya hanya menguji-uji pemahamannya tentang agama, seakan-akan menunggu kesalahan darinya.
Yanwar bertutur, Ahmadiyah bukanlah aliran agama yang mengancam negara. Karena ajaran yang didirikan sejak 27 Mei 1908 ini tak berurusan dengan kepentingan politik dan kekuasaan.
Sebaliknya, mereka dianjurkan untuk berkontribusi terhadap negara di mana mereka bertempat. Di Riau, mereka membuat program sosial seperti bersih-bersih sisa sampah setelah malam tahun baru. Ahmadiyah di Pekanbaru juga rutin menggelar donor darah dan kunjungan ke panti-panti asuhan sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan.
Namun, bagi Yanwar, semakin dirinya mendapatkan tekanan, semakin yakin ia akan hal kebaikan. Padahal menurut pengakuannya ia sama sekali tak mengganggu teman-temannya.
“Beda seperti ini harusnya tak perlu memutuskan hubungan pertemanan, apalagi mereka sampai membenci saya,” terangnya sambil membenarkan topi yang dikenakannya itu.
Siang itu suasana berbeda meningkahi salah satu masjid Ahmadiyah di Pekanbaru ini. Ia bersama jemaat Ahmadiyah Pekanbaru lainnya kedatangan pers mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia yang tergabung dalam Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Di pelataran masjid, para jemaat dan peserta workshop pers mahasiswa SEJUK bersama-sama menyantap hidangan makan siang yang disuguhkan jemaat di teras masjid. Matahari tak sungkan memancarkan teriknya sehingga membuat orang-orang di sekitaran masjid mencari tempat teduh, baik di teras masjid maupun di bawah pohon demi menikmati menu makan siang yang cukup banyak.
Senada dengan Yanwar, Aswadi Setiawan (23) turut merasakan tak disukai oleh orang di lingkungan pertemanannya karena dirinya seorang Ahmadiyah. Ia menyayangkan perilaku temannya yang tak ingin mencari tahu terlebih dahulu perihal Ahmadiyah.
“Karena memang mereka sudah menganggap sesat, jadi tak mau tahu tentang Ahmadiyah,” kata Aswadi.
Pria yang dibaiat pada 2013 ini bercerita, ketika ia dan temannya bertemu, mereka tak bertegur sapa. Ketika menyapa temannya, tambah Aswadi, hanya senyuman sinis yang didapatkannya.
“Tentu saja itu membuat saya bingung untuk ke depannya bersikap seperti apa,” ujar Aswadi.
Sementara, Riswandi Ahmadi (23) menuturkan sikap teman kuliahnya yang menjaga jarak dengannya. Apalagi setelah ia menjelaskan kepada teman-temannya perihal Ahmadiyah yang sebenarnya, bukan rumor yang beredar di luar.
“Ketika diskusi, saya langsung dianggap sesat. Akhirnya saya dan mereka sekarang tidak akrab lagi,” ucapnya.
Tak sampai di situ, pria yang merupakan pengurus Ahmadiyah cabang Pekanbaru ini juga pernah mendapatkan tekanan dari orang tua temannya. Orang tua dari teman-temannya beberapa kali mengatakan kepadanya untuk kembali berubah ke jalan yang “benar” menurut mereka.
“Bagi saya menjadi Ahmadiyah juga sesuatu hal yang benar,” pungkasnya.
Penulis: Bagus Pribadi, LPM Gagasan, UIN Sultan Syarif Kasim Riau.
Liputan di atas dilakukan dalam proses Workshop dan Fellowship Jurnalisme Keberagaman Menghidupkan Toleransi untuk Pers Mahasiswa pada 26-29 Juli 2019 di Pekanbaru. Kegiatan ini kerja sama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF), Kementerian Hukum dan HAM RI, Media Mahasiswa AKLaMASI Universitas Islam Riau dan Lembaga Pers Mahasiswa Gagasan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau.