
LBH Apik dituduh melakukan penculikan dan penyekapan terhadap DW (21), seorang perempuan korban kekerasan. Aksi intimidasi yang dialami staf LBH Apik Jakarta pada Senin (3/02) lalu tidak hanya dilakukan masyarakat sipil, turut di dalamnya empat orang anggota kepolisian Polsek Matraman. Kantor LBH APIK Jakarta didatangi sekelompok orang berjumlah lebih dari 16 orang mengatasnamakan sebagai Komunitas Islam Maluku yang kemudian melakukan tindakan penggrebekan, intimidasi dan penggeledahan paksa.
Hal tersebut dipaparkan RR. Sri Agustine, Tim Kuasa Hukum LBH APIK, dalam Konferensi Pers Jaringan Solidaritas LBH APIK Jakarta: Intimidasi Terhadap Perempuan Pembela HAM Harus Diusut Tuntas yang digelar Rabu (19/02) di LBH Jakarta.
“Akibat kejadian ini LBH APIK merasa rugi. Seluruh staf mengalami trauma, beberapa masih tidak berani datang ke kantor, perempuan-perempuan yang datang mencari perlindungan juga merasa takut untuk datang,” ujarnya.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai peran pemerintah dan peran kepolisian sebagai lembaga keamanan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurutnya, negara harusnya menciptakan kondisi kondusif tanpa adanya gangguan keselamatan. Pun begitu dengan kepolisian yang harusnya memfasilitasi kerja-kerja pembela HAM menciptakan ruang diskusi apabila memang diduga terjadi kekerasan orang tua terhadap anaknya.
“Negara yang direpresentasikan oleh polisi sangat lemah, tidak hanya kepada LBH APIK, tapi juga kepada korban,” tambah Usman.

Hal ini juga diamini oleh perempuan pembela HAM Tunggal Pawestri yang yakin bahwa jumlah intimidasi yang diterima perempuan pembela HAM terus meningkat dengan ancaman lebih beragam. Tunggal mengatakan, penggrebekan, intimidasi dan penggeledahan paksa LBH APIK Jakarta sebagai rumah aman harus disikapi dengan serius karena akan berpengaruh terhadap korban-korban perempuan yang datang ke LBH APIK Jakarta untuk meminta bantuan.
“Dia merasa dapat kapan saja tiba-tiba diserang,” sesal Tunggal.
Disampaikan Tunggal, selama ini banyak lembaga, termasuk lembaga konseling, yang membantu korban perempuan kekerasan berbasis gender rentan terhadap tindak kekerasan. Padahal lembaga-lembaga ini adalah lembaga yang dipercayai oleh korban kekerasan.
“Di Jakarta saja yang banyak memiliki supporting system, intimidasi terhadap perempuan pembela HAM banyak terjadi, apalagi teman-teman di luar Jakarta yang tidak memiliki akses sebanyak di Jakarta,” tuturnya.
Sugeng Teguh Santoso, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menyebutkan bahwa intimidasi yang dialami staf LBH APIK Jakarta adalah bentuk serangan terhadap profesi hukum dimana advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri, tidak dalam kondisi ketakutan, paksaan, dan intimidasi saat sedang menjalankan tugasnya. Advokat juga dilindungi oleh hak imunitas ketika bekerja.
“Negara dan aparat keamanan diwajibkan memberi perlindungan ketika intimidasi datang karena posisi advokat adalah pencari keadilan untuk korban,” tegasnya.
Akhirnya pada Jumat (7/2) LBH APIK didampingi Tim Kuasa Hukum mendatangi kantor Kepolisian Resort Polres Jakarta Timur untuk melaporkan kasus penggrebekan, intimidasi dan penggeledahan paksa yang mereka alami. Juga turut mendatangi Divisi Profesi dan Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Propam Polres Jakarta Timur) empat anggota kepolisian Polsek Matraman dengan kasus mal administratif dan pembiaran terhadap tindakan penggrebekan, intimidasi dan penggeledahan paksa yang dialami oleh LBH APIK Jakarta.

penggrebekan, intimidasi dan penggeledahan paksa yang dialami perempuan pembela HAM (19/02/2020) di LBH Jakarta.
Era Purnamasari, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyampaikan hingga saat ini belum ada tindak lanjut atau setidaknya terinformasi kepada pelapor yaitu LBH APIK Jakarta selaku korban sejauh mana laporan ditindaklanjuti. Oleh karena itu penting untuk terus mengawal penyelesaian kasus ini ke depannya agar ke depannya tidak ada lagi intimidasi yang terjadi kepada pembela HAM terutama perempuan pembela HAM.
“Pendokumentasian adalah satu hal yang harus mulai dijalankan terkait intimidasi pembela HAM. Tapi hal lain yang harus dilakukan adalah menempuh jalur hukum tiap kali intimidasi itu diterima. Jangan takut,” tambah Era.
Di salah satu pernyataannya, Tunggal menambahkan, “Kasus LBH APIK Jakarta apabila tidak mendapat perhatian khusus dari kita dan negara tentu saja, maka hanya akan sekadar lewat. Nyatanya intimidasi seperti ini bisa juga terjadi pada kita semua, tidak hanya kepada perempuan pembela HAM, karena kita juga tidak merasa aman.”
Penulis : Yuni Pulungan