
Ketika doktrin-doktrin agama membuat komunitas LGBTIQ semakin sengsara, maka dibutuhkan tafsir ulang atas teks-teks Alkitab yang meminggirkan mereka.
Hal tersebut disampaikan Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Pdt. Darwita Purba kepada jurnalis dan jajaran editor IDN Times Sumatera Utara (Sumut) Senin sore (9/3) di Medan.
“Harus dilakukan rekonstruksi terhadap cara beragama. Yaitu membaca Alkitab dengan mata baru,” sambung Darwita yang bersama komunitas LGBTIQ Sumut (Cangkang Queer dan PETRASU), aktivis perempuan Lely Zailani (HAPSARI), antropolog UNIMED Dr. Rosramadhana M.Si dan ahli Alkitab pengampu Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Gereja Metodis Indonesia (STT GMI) Pdt. Robinson Radjagukguk berkunjung ke kantor platform medianya kaum milenial ini.
Karena media punya pengaruh sangat besar terhadap cara masyarakat melihat LGBTIQ, maka, lanjut Darwita, perannya sangat strategis kalau pemberitaan terhadap komunitas dilakukan secara positif.
Menurut pendeta yang juga aktif di program Pascasarjana STT GMI, media bisa melakukan penggalian dan penyebaran Alkitab (lewat para pemuka agama atau teolog) dengan mengambil peran edukasi.
Hal senada disampaikan aktivis senior Lely Zailani. Saat ini menurutnya stigma terhadap LGBTIQ luar biasa menyebar sampai masyarakat bawah. Padahal mereka ada di sekitar kita.
“Ada kasus tetangga saya (salah satu bagian LGBTIQ) yang dibuang keluarganya,” sesal Lely, “sehingga dalam situasi yang seperti itu dibutuhkan pemberitaan-pemberitaan media yang lebih berempati.”

Aktivis yang bekerja dengan perempuan-perempuan akar rumput di Sumut sejak awal 1990-an melalui HAPSARI ini berharap sekali agar media mampu mendorong publik berempati terhadap LGBTIQ.
Amek Adlian, salah satu perwakilan komunitas LGBTIQ yang hadir dalam kunjungan media, memaparkan hasil monitoring pemberitaan media-media di Sumut yang secara umum sangat menyudutkan. Namun begitu, proses perjumpaan dan dialog antara komunitas dengan media dan beberapa jurnalis di Sumut diakuinya mulai memberikan ruang bagi perubahan tone pemberitaan yang lebih ramah LGBTIQ.
Menyikapi hal tersebut, editor IDN Times Sumut Arifin Al Alamudi mengapresiasi ikhtiar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang mencoba membagikan perspektif yang tepat terhadap jurnalis maupun kalangan editor tentang bagaimana memberitakan isu keberagaman seksual. Sebab, pemberitaan yang sensasional dan mengejar clickbait yang menyudutkan LGBTIQ itu disebabkan mereka belum mempunyai “rem” atau panduannya.
Pelatihan dan diskusi demi diskusi tentang bagaimana media memberitakan LGBTIQ adalah hal positif. Namun, menurut Arifin, akan menjadi lebih baik jika ada upaya untuk mendorong Dewan Pers menerbitkan pedomannya.
Orang pertama yang menginisiasi keberadaan IDN Times Sumut ini kemudian membandingkan tantangan dalam peliputan LGBTIQ dengan isu-isu lainnya seperti perlindungan hak anak. Sebelumnya, lanjut Arifin, pemberitaan soal anak tidak ada remnya, kemudian terbit pedoman liputan yang sesuai dengan UU Perlindungan Anak.
“Gerakan bersama yang dilakukan SEJUK dengan jaringannya tentang bagaimana media meliput LGBT harus terus didorong sehingga terbit pedoman peliputan ramah LGBT,” harapnya. []