Sutradara perempuan Indonesia Nia Dinata mendorong kalangan milenial dan generasi Z untuk menghidupkan pemikiran kritis ketika mengidolakan selebritas. Hal tersebut Nia sampaikan dalam talkshow Berpancasila di Era New Normal yang digelar Generasi Literat pada Sabtu sore (27/6) melalui Zoom.
“Harus sensitif dan hati-hati pada siapapun idola kita, apa karya yang sudah dibuatnya?” kata perempuan berdarah Sunda dan Minang bernama lengkap Nia Iskandar Dinata.
Karena itu ia menyampaikan pesan agar anak-anak muda bisa membedakan apa yang ditampilkan para artis di layar kaca dan dalam film ataupun influencer di media sosial dengan kehidupan sehari-hari mereka yang apa adanya. Bagi Nia, sangatlah menentukan apakah artis yang didikuti yang duitnya banyak atau karena melihat bagaimana budi dan apa saja bakti atau capaiannya dalam berkontribusi menjadikan situasi masyarakat lebih baik.
Sutradara Ca Bau Kan dan Arisan! ini pun berbagi apa yang dilakukannya selama pandemi Covid-19. Sebagai insan perfilman Indonesia, Cine Space yang didirikannya memutar film-film bertema keberagaman dan toleransi seperti Kitorang Basudara dan film-film berkualitas karya anak negeri lainnya.
“Kami memutar yang mendapat nominasi di festival-festival film internasional tapi masyarakat kita tidak dapat nonton,” jelasnya sambil mengajak kalangan muda peserta diskusi untuk mengunjungi program @cine_space dan menonton pemutaran film-film dengan kandungan pesan atau nilai yang sesuai dengan falsafah bangsa, Pancasila.
Untuk itu dalam talkshow daring yang sekaligus peluncuran Program Nahkoda Indonesia: Berlayar Menceritakan Nilai-nilai Pancasila di 34 Provinsi di Indonesia #darirumah Nia Dinata mengingatkan bahwa pembajakan, download dan share film bukan perilaku terpuji. Ia juga mencemaskan Lembaga Sensor Film yang 10 tahun belakangan ini kerjanya sangat mundur, tidak ikut mendewasakan masyarakat untuk berpikir kritis.
“Berpikir kritis adalah bagian dari Pancasila,” tegas Nia kepada 68 milenial yang menjadi nahkoda dan nantinya akan “berlayar” (bercerita) setiap hari Sabtu dan Minggu, pukul 16.00-17.00 WIB, secara langsung di Instagram Generasi Literat (@generasiliterat).
Pendiri Generasi Literat yang sekaligus narasumber talkshow Milastri Muzakkar menjelaskan bahwa Program Nahkoda Indonesia ini berawal dari kegelisahan relawan muda yang tergabung dalam Generasi Literat saat menghadapi pandemi. Kegelisahan itu melahirkan dorongan mengajak masyarakat, khsusunya anak-anak muda, untuk tetap positif dan bersatu menghadapi pandemi.
“Nggak semua orang bisa menjadi tenaga medis. Kita juga punya keterbatasan untuk terus berdonasi harta-benda. Tapi kita semua, siapa pun itu, bisa mengajak semua orang untuk bangkit dan bersatu dengan cara merefleksikan, menceritakan dan mempraktikkan kembali kearifan lokal yang baik di setiap daerah di Indonesia,” jelas Mila.
Peluncuran program dihadiri Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Dr. Haryono, M.Pd dan tenaga ahli utama Kantor Staf Kepresidenan Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. Keduanya memberi apresiasi dan mendukung lahirnya program Nahkoda Indonesia. Selain itu, pembacaan puisi dari Bara Pattiradja, salah satu penyair Indonesia dari Flores, Nusa Tenggara Timur, mengiringi peluncuran ini.
Bagaimanapun, lanjut Mila, Pancasila hadir sebagai jembatan atau benang merah dari realitas keberagaman bangsa ini.
“Nilai-nilai Pancasila ada dalam kearifan lokal yang terwujud pada agama, budaya, satra, batik dan lainnya,” papar penulis buku Guys, Indonesia Tuh Bineka, Loh.
Yuni Pulungan dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) ikut mendorong kalangan muda untuk memperbanyak perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda dengan kita. Hal itu menjadi penting, menurutnya, agar generasi muda tidak mudah terseret dan begitu saja mempercayai kabar bohong dan disinformasi yang beredar di media massa maupun media sosial.
Maka, lanjut motor divisi kampanye SEJUK ini, saat pandemi bisa dimanfaatkan memperluas pertemanan dari berbagai identitas di media sosial sebagai cara untuk melawan misinformasi dan penghakiman kepada setiap yang berbeda yang makin menyudutkan kelompok-kelompok rentan di masyarakat.
Lantaran media sosial disebut juga sebagai media, Yuni pun mengajak para “nahkodawati” dan “nahkodawan” yang terlibat dalam program yang diinisiasi Generasi Literat ini untuk memanfaatkan media sosial dengan baik sebagai ruang-ruang memproduksi dan mengabarkan semangat toleransi dan prinsip-prinsip kemanusiaan berbasis hak asasi manusia.
“Sebelum produksi (konten), penting memperbaiki pola pikir terlebih dahulu,” tutur Yuni memastikan agar generasi muda tidak menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian ras, etnis, agama dan keberagaman gender dan seksual.
Pendiri Katalisator Muda Indonesia Randa Shandita ikut mendorong para nahkoda dari berbagai provinsi untuk memperbanyak cerita-cerita kearifan lokal daerahnya masing-masing yang menjunjung tinggi toleransi. Dengan cara seperti itu, Randa meneruskan, generasi muda bangsa ikut mengamalkan Pancasila yang di antaranya terkandung nilai toleransi dan mengangkat martabat dan hak asasi manusia.[]