“Awalnya risih terhadap transpuan dan LGBT. (Ada) dilema mengikuti workshop ini, karena mengalami pergulatan (iman) dalam diri saya,” kata Stifen menceritakan pergumulannya selama empat hari berproses dalam Workshop & Story Grant bertema Anak Muda Ramah Gender dan Seksualitas di Maumere (26/4).
Pergolakan iman dan batin menyeruak saat para mahasiswa Nusa Tenggara Timur (NTT) bergulat dengan gagasan dan fakta gender dan seksualitas yang beragam. Dalam kegiatan yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) 23-26 April ini mereka melakukan perjumpaan dengan orang muda gay dan komunitas-komunitas transpuan.
Beberapa peserta sangat kaget. Salah satu mahasiswa Sekolah Tinggi Filasafat Katolk (STFK) Ledalero bahkan sempat berpikir meninggalkan forum karena memandang tidak mungkin menoleransi LGBT yang bertentangan dengan keyakinannya. Beruntungnya, tak satu pun dari 20 peserta yang berasal dari kampus-kampus di Kupang dan Maumere, termasuk Stifen, mundur atau kabur.
Justru, di hari ketiga dan keempat tidak sedikit peserta berterima kasih kepada dua di antara peserta yang sejak awal berani membuka dan menyatakan dirinya sebagai bagian dari komunitas LGBT. Meskipun banyak yang baru berjumpa dan berinteraksi langsung dengan komunitas LGBT, mereka menghargai sekali kehadiran transpuan-transpuan dari Fajar Sikka dan Persatuan Waria Kota Sikka (Perwakas) dalam proses workshop yang bertujuan belajar bersama memahami keberagaman gender dan seksualitas sebagai realitas yang hadir di tengah masyarakat.

Kilas balik penerimaan transpuan di Maumere
“Dulu sih melihat waria itu ‘lucu’. Saya juga baru tahu sekarang kalau mereka berorganisasi di sini (Maumere). Nah, setelah berjumpa dan mendengar langsung stigma dan diskriminasi yang dialami transpuan, saya akan menyuarakan hak-hak LGBT, kepada kawan-kawan di kampus maupun di media sosial,” kata mahasiswi Universitas Nusa Nipa (UNIPA) Maumere Maria Florida Neot.
Flo, demikian sapaan akrabnya, adalah salah satu peserta yang juga menyampaikan terima kasih dan merasa beruntung bisa berjumpa komunitas LGBT dan belajar isu yang baginya sangat baru ini.
Dalam konteks Mumere, dari pengakuan transpuan-transpuan yang hadir di hadapan para peserta, hidup mereka sebelum era Reformasi harus menanggung berbagai bentuk stereotip dan kekerasan. Mereka kerap dilecehkan, dipukuli, ditendang, ditelanjangi dan berbagai bentuk persekusi lainnya.
Sehingga, menurut peneliti agama, budaya dan keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia timur Khanis Suvianita, nasib getir itu mendorong para “kobek,” sebutan lokal Maumere terhadap transpuan, berjuang membangun ruang aman dengan mulai berorganisasi di tahun 1990-an. Komunitas transpuan pun semakin aktif dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, seputar kesehatan, olahraga, perayaan-perayaan hari besar keagamaan, agenda kedaerahan, peringatan kemerdekaan 17 Agustus, dan seterusnya. Sejak tahun 2000-an, setelah Orde Baru tumbang, mereka mulai diterima dengan baik oleh keluarga, warga, dan gereja.
Sebagai narasumber, Khanis yang adalah kandidat doktor di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada (UGM), membongkar cara pandang peserta tentang orientasi seksual, identitas gender, ekspresinya, sampai karakteristik seksual (SOGIESC).

Ia menegaskan, gender adalah konstruksi sosial yang awalnya membedakan secara biner peran dan fungsi laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) dengan masing-masing didefinisikan sebagai satu tubuh, satu seks, dan satu gender.
Karena itulah gerakan perempuan dan LGBTIQ+ menggugat cara pandang tunggal terhadap sistem gender tersebut. Fakta sosialnya, potret gender dan seksualitas kompleks sekali, tidak biner, bukan hitam dan putih.
Seks tidak tunggal, tapi beragam
“Ekspresi gender tidak hanya feminin dan maskulin, tetapi ada yang androgin. Begitupun orientasi seksual juga banyak ragamnya. Ada heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, sampai yang aseksual,” ungkap Khanis, aktivis senior di GAYa NUSANTARA.
Dimensi seks secara biologis, lanjut Khanis, pun sangat beragam, baik dari sisi anatomi, hormon, dan kromosom seks masing-masing mempunyai ciri yang sangat kompleks. Kromosom tidak hanya XX (female) dan XY (male), tapi juga ada XO, XXY, XYY, XX/XO, XY/XO, XXYY, XXXY, dan seterusnya. Hormon bukan hanya estrogen dan testosterone, ada juga progesteron.
Bagi Khanis, realitas gender dan seksualitas yang demikian kompleks harus dibaca masyarakat, terutama dari kalangan terdidik seperti mahasiswa, untuk dapat mendorong publik lebih memahami dan menghargai keberadaan transpuan ataupun LGBTQ. Sebab budaya dan agama yang berkembang di Indonesia beserta lokalitasnya masing-masing banyak yang mengakui dan ramah terhadap gender dan seksualitas yang beragam.
“Masyarakat dan tokoh Islam di Gorontalo, misalnya, begitupun Katolik dan Kristen di NTT menerima waria,” kata Khanis sambil menambahkan contoh-contoh faktual yang inklusif di Maumere serta Indonesia Timur lainnya.
Selain Khanis, workshop SEJUK kali ini menghadirkan juga Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra membawakan tema HAM dan LGBTQ, Direktur SEJUK Ahmad Junaidi (Media dan Dosa-dosa Meliput LGTQ), pendiri SEJUK Andy Budiman (Media Sosial sebagai Ruang Aman Komunitas LGBTQ), divisi program SEJUK Maulidya (Membangun Sekutu yang Ramah LGBTQ). Jurnalis senior dan produser TV Goenawan membekali peserta dengan Mobile Journalism: Videografi di Era Digital. Fasilitator: Manajer Kampanye SEJUK Yuni Pulungan dan Manajer Program SEJUK Tantowi Anwari.

Selain menghadirkan komunitas transpuan Fajar Sikka dan Perwakas, beberapa peserta juga membangun perjumpaan dengan berkunjung ke kampung Wuring untuk belajar bagaimana komunitas transpuan bersama elemen masyarakat lainnya saling bekerja sama. Beberapa peserta lainnya menyaksikan langsung: Gereja Paroki Santo Yosep Freinadametsz, Bolawalon, Maumere, menerima dan melibatkan komunitas LGBT dalam proses ibadah Minggu (25/4).
Yang tak kalah menarik, para mahasiswa yang aktif di media (kampus dan komunitas) dan media sosial ini dapat berdiskusi dengan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kupang Marthen Bana dan akademisi sekaligus jurnalis Maumere TV Rini Kartini tentang tantangan dan peran media dan jurnalis di NTT dalam membangun ruang aman bagi komunitas LGBTQ. Seluruh proses kegiatan menaati protokol kesehatan. Peserta, panitia, dan narasumber telah menyerahkan rapid test dengan hasil negatif sebelum memulai workshop.
Daftar peraih story grant
20 peserta workshop diberi kesempatan untuk mengajukan proposal liputan dan pembuatan konten bertema keberagaman gender dan seksual. 8 dari proposal mereka akan mendapatkan beasiswa terbatas atau grant untuk diteruskan menjadi liputan atau konten yang akan dipublikasikan di media dan media sosial. Masing-masing peraih story grant akan mendapat Rp3.000.000.
Proses pemilihan 8 peraih story grant didahului dengan coaching proposal, yakni proses presentasi masing-masing peserta dan penggalian serta penguatan perspektif dan tenik peliputan atau produksi konten keberagaman gender dan seksual. Coach yang menggodok dan menyeleksi proposal para peserta: Khanis Suvianita, Rini Kartini (Ree), Yuni Pulungan, Maulidya, dan Tantowi Anwari (Thowik).
Para coach memutuskan 8 peraih story grant:
1. Lidwina Tidha: Keberagaman Gender di SMA
2. Jocky Adoe: Keberagaman Gender di Sekitar Kita
3. Elisabeth Queen Sevaya Lelang: Berbagi Peran Domestik dalam Gender yang Beragam
4. Katarina Emanuela Istiari L.: Perempuan dalam Adat Adonara
5. Maria Angelina Robertha Baga: Perempuan Berdaya dengan Tenun Ikat
6. Rikardus Mantero: LGBT dan Keadilan di Dunia Kerja dan Gereja
7. Natalia Dewinta Prima Lobo: Belis dan Kekerasan terhadap Perempuan
8. Yulita Theresia Maghi: KAHE: Sahabat Transpuan Maumere
Selamat kepada peserta yang terpilih dan semoga semakin produktif berkontribusi dalam membangun ruang aman di media untuk komunitas warga dengan gender dan seksualitas yang beragam.[]