Feminis muslim Kalis Mardiasih menyesalkan banyaknya pemberitaan di media yang sangat seksis. Seksualisasi perempuan dalam pemberitaan, menurut pantauan Kalis, kerap dilakukan media dari mulai pemilihan nama korban kekerasan seksual menjadi bunga atau mawar, sampai sudah meninggal pun dibikin judul seperti “mayat perempuan cantik tidak berbusana” dan seterusnya.
Selain melakukan victim blaming terhadap perempuan, media juga banyak mereduksi kejahatan seksual dengan penggunaan diksi-diksi yang tidak berempati terhadap korban: mencabuli dan menggagahi.
“Penggunaan diksi mencabuli atau menggagahi itu membuat korban menjadi korban lagi. Gunakan saja pemerkosaan atau kekerasan seksual,” ujar Kalis menganjurkan kepada 19 jurnalis dari Lombok, Sumbawa, dan Bima sekaligus menegaskan dalam forum Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bertema Prinsip Keadilan Gender dan Seksualitas (27/3).
Untuk itu, penulis opini yang aktif di pergerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ini dengan tegas mengajak para jurnalis mendorong kesetaraan dalam pemberitaan. Baginya, keadilan dan kesetaraan gender hanya mungkin tercipta jika perempuan saling mendukung perempuan dan kehadiran laki-laki “baru” yang menghormati hak-hak perempuan sekaligus bersama perempuan membangun kerja sama yang setara.
Dalam rangkaian kegiatan yang sama, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sri Sukarni menyampaikan protes keras di suatu waktu ketika kesulitan menjalankan ibadah di sebuah masjid di Lombok yang menempatkan perempuan di lantai atas dan harus menaiki tangga.
“Kalau kami tidak bisa beribadah, siapa yang akan menanggung dosanya?” ujar Sri, mengisahkan kekecewaannya diperlakukan diskriminatif.
Perempuan pengguna kursi roda ini pun salat di lantai bawah, tempatnya lelaki, sehingga sempat ditegur dan dilarang. Ia juga menyesalkan sekali banyak bangunan pura yang tidak akses disabilitas.
Mengakhiri Diskriminasi
Secara umum sulit menemukan praktik beragama yang inklusif dan sensitif memberikan akses terhadap disabilitas hidup di masjid, gereja, pura dan tempat ibadah lainnya. Selain mengalami diskriminasi, disabilitas juga menghadapi stigma yang kuat.
Masih banyak orang tua yang malu menyekolahkan anaknya yang disabilitas, tak jarang, lanjut Sri, mereka menyembunyikannya dan tidak boleh keluar rumah, bahkan ada pula yang memasungnya.
Beruntungnya, penyandang daksa ini sangat didukung orang tuanya untuk mengenyam pendidikan yang dianggapnya sangat penting. Namun begitu, kedua orang tuanya menentang Sri menikah.
“Keluarga saya tidak satu pun yang mendukung saya untuk menikah dan berkeluarga,” cerita perempuan yang lahir dan besar di Lombok Tengah ini yang kemudian nekat menikah dan kini mempunyai anak dua.

Masih banyak masyarakat melihat disabilitas sebagai aib yang hal tersebut turut tercermin dalam penerapan kebijakan pemerintahan. Untuk itulah ia dan disabilitas lainnya mendesak diri berorganisasi agar bisa melakukan advokasi demi mengedukasi publik memainstreamkan inklusi sosial dan menuntut pemerintah, baik pusat dan daerah, menerbitkan regulasi dan menerapkan kebijakan yang tidak lagi charity based, karena belas kasihan terhadap disabilitas.
Lewat HWDI Sri dan rekan-rekannya di Lombok kemudian mengadvokasi pemerintah provinsi dan kota atau kabupaten di Nusa Tenggara Barat agar mematuhi aturan yang ada (Undang-Undang Tahun 2016 tentang Disabilitas) sehingga menerapkan rights based dalam menjalankan kebijakannya dan agar program pembangunan melibatkan disabilitas. Sebab, perempuan disabilitas, lanjut Sri, mengalami diskriminasi ganda: sebagai perempuan dan disabilitas.
“Bukan belas kasihan: dikasih beras dan mie, sudah! Yang kami tuntut, disabilitas diakui sehingga negara menyediakan pelatihan dan pendampingan untuk kami untuk bersama-sama mengupayakan fasilitas umum yang dapat diakses dengan baik,” tegas Sri dalam training dan story grant Jurnalisme Keberagaman Ciptakan Media Inklusif yang digelar SEJUK pada 26-28 Maret di Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Yang dihadapi jemaat Ahmadiyah di Lombok tidak kalah tragis. Mereka berjuang puluhan tahun untuk mendapatkan kembali hak-haknya yang ditumpas dan sampai hari ini masih menanggung stigma yang sangat kuat. Hal ini disampaikan Saleh Ahmadi yang mendampingi para pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram.
Sejak era reformasi sampai 2006 berkali-kali mereka diusir; rumah, masjid dan properti lainnya diserang, dirusak, dan tak lagi bisa digunakan. Puluhan KK hingga kini menjadi pengungsi di negeri sendiri.
“12 kali alami penyerangan, pembakaran, maupun pengusiran. Tidak ada penggantian rumah yang dirusak,” ujar Saleh.
Meski demikian ia mengapresiasi kebijakan pemerintah Lombok Timur yang membangunkan rumah-rumah jemaat Ahmadiyah, yang pada 2019 diserang dan diusir. Upaya yang ditempuh pemerintah kabupaten Lombok Timur ini sangat ia harapkan dilakukan oleh pemerintah terhadap 30 kepala keluarga (KK) yang masih mengungsi di Transito, Mataram, dan 7 KK di eks-Rumah Sakit Praya, Lombok Tengah.
Dinamika training dan story grant yang didukung Norwegian Embassy berkembang penuh perdebatan sejak sesi pertama disampaikan Saidiman Ahmad, Program Manager Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) membawakan materi Dasa-dasar Kebebasan dan Keberagaman. Ini berlanjut ketika Daniel Awigra, Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG), membawakan tema Hak Asasi Manusia (HAM) Kebebasan Beragama.
Sedangkan Ahmad Junaidi, Direktur SEJUK, dan Budhi Kurniawan, executive producer Kompas TV, membawakan tema dosa-dosa media dan panduan meliput isu keberagaman yang didiskusikan bersama 8 jurnalis perempuan, dua di antaranya dari Sumbawa dan Bima, dan 11 jurnalis laki-laki.

Jurnalis Peraih Beasiswa Liputan Keberagaman
Proses training dipungkasi dengan coaching proposal liputan keberagaman. 8 proposal liputan berhak atas beasiswa terbatas masing-masing Rp7.000.000. Dari proses coaching proposal liputan para peserta training, mentor dan coach story grant Jurnalisme Keberagaman yang terdiri dari Kalis Mardiasih, Budhi Kurniawan, dan Yuni Pulungan (Manajer Kampanye SEJUK) memilih:
- 15 Tahun Pengungsi Amadiyah di eks-RSUD Praya, Lombok Tengah – Ida Rosanti, Inside Lombok
- Cermin Hidup dalam Kebinekaan Umat Beragama – Dedi Suhadi, mataramradio.com, Tebango
- Jangan Panggil Aku Jamal (Janda Malaysia) – Buniamin Azmah, Radio Global FM Lombok
- Melihat Kondisi Terkini Pengungsian Ahmadiyah di Lombok Timur – Idham Khalid, Kompas.com
- Menerima Transpuan Sumbawa – Susi Gustiana, Gaung NTB
- Perjuangan Hak Ahmadiyah dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah – Emi Kusuma Wardani, SCTV Lombok
- Orang Muda Melestarikan Kearifan Lokal Wetu Telu – Sirtupillaili, Tribun Lombok
- Wisata Pluralisme dan Pernikahan Beda Agama di Mbawa – Atina, Radar Tambora
Selamat buat para peraih story grant jurnalisme keberagaman SEJUK.[]