Saya sering mendengar istilah ‘toleransi kebablasan’. Istilah ini digunakan sebagai upaya untuk mengingatkan pemuda yang tertarik terhadap isu toleransi dan keberagaman agar tidak menoleransi segala hal. Toleransi boleh, tapi jangan toleran toleran amat, nanti kebablasan! Begitu kira-kira peringatan yang dilontarkan. Hal ini sempat menjadi kebimbangan saya pada mula-mula berkecimpung dalam aktivisme toleransi dan perdamaian. Namun, apakah toleransi bisa kebablasan? Jika toleransi bisa kebablasan, maka apa yang menjadi batasannya?
Nampaknya, saya melihat sebagian orang melihat isu toleransi bak wisata di tepi lautan. Anda bisa melakukan beragam aktivitas di bibir pantai, tapi jangan terlalu ke tengah, nanti terbawa arus. Ketahuilah ‘batas aman’ berenang, jika sudah terlalu dekat dengan batas aman, segeralah kembali menepi ke daratan tempat Anda berasal.
“Sila mengenal budaya dan agama-agama lain, berteman dengan semua orang, tapi sampai di situ saja, dalam rangka bersosial dan menghargai mereka sebagai manusia. Tidak perlu lah masuk ke tempat-tempat ibadah agama mereka, membaca filsafat dan teologi kepercayaan mereka, mengucapkan selamat pada hari raya keagamaan mereka, (dan seterusnya dan seterusnya). Lama-lama tak kuat imanmu dibuatnya, jika terpengaruh kan repot. Ingat yang kita toleransi itu perbedaan bukan kesesatan apalagi penyimpangan.”
Terdengar cukup meyakinkan, bukan? Saya sempat takut, bingung dan ragu dalam menyikapi keberagaman. Akan tetapi, setelah melewati pelbagai perjumpaan dan pergumulan batin antara saya dengan diri saya sendiri, saya tetap melihat toleransi bak lautan samudera. Indah, gagah, menakutkan, seolah berbatas karena adanya ilusi visual bentang cakrawala tapi nyatanya batas itu masih sangat jauh, nun jauh sekali. Saya tak lagi takut terbawa arus atau terbawa apapun karena alih-alih seseorang yang tengah berenang-renang di tepi lautan, saya adalah setetes air yang menjadi bagian dari lautan itu sendiri.
Kita banyak mendengar warta bahwa Tuhan menciptakan alam semesta beserta fitrah keberagaman. Namun seberapa beragam ciptaan Tuhan, menurut para ilmuwan, manusia secara kolektif tidak (atau belum) mengetahuinya kecuali sedikit. Manusia baru memetakan kurang dari 10% lautan dan lebih dari 85%-nya belum terpetakan, terobservasi atau tereksplorasi. Itu baru laut, belum apa yang ada di langit dan di darat termasuk di atasnya keberagaman pada umat manusia. Barang tentu kita akan kewalahan menyebutkan keberagaman yang telah diketahui yang nyatanya seuplit pun tak sampai.
Memang, menyoal keberagaman, orang tidak berangkat dari ruang kosong dan titik pijak yang sama. Kita semua menyukai kata moderat, toleransi, keadilan sosial, perdamaian, tapi seringkali terdengar seperti promo korporat dengan syarat dan ketentuan berlaku. Terdapat bias/distorsi yang mengaburkan visi dalam menerima perbedaan tanpa syarat. Tidak semua orang serta-merta toleran terhadap rupa-rupa keberagaman dalam satu malam apalagi saat dihadapkan pada keberagaman gender dan seksualitas.
“Aku mendukung hak-hak perempuan, toleran dan punya pandangan moderat terhadap intra dan antar agama. Tambah rasialisme ayok! Tambah disabilitas ayok! Tambah kepercayaan masyarakat adat ayok! Tambah keberagaman gender dan seksualitas? Enggak dulu deh. No comment deh.”
Apakah kesadaran akan kesetaraan gender dan toleransi di tengah perbedaan identitas agama dan ras yang (pada umumnya) telah kita amini terberi dari sananya? Tentu tidak. Toleransi yang berhasil kita rajut hari ini bukanlah sesuatu yang diberikan oleh tangan di atas kepada tangan di bawah (baca: mayoritas kepada minoritas) melainkan perjuangan darah, keringat, dan air mata ragam identitas yang merebut kembali tempatnya.
Ideologi kesombongan primordial merenggut keadilan di antara umat manusia yang diciptakan setara. Ideologi ini menzalimi kemanusiaan karena menjadikan satu atau sebagian yang lain objek untuk dipandang inferior guna mengkonstruk delusi superior suatu kaum melalui ketimpangan kuasa sehingga superioritas-inferioritas tersebut terinternalisasi dan terlanggengkan dari generasi ke generasi. Akibatnya kemilau-cahaya fitrah penciptaan ditutupi oleh kegelapan sehingga perempuan direduksi kemanusiaannya menjadi semata mesin reproduksi dan pelayanan domestik; orang kulit hitam tidak divalidasi kemanusiaannya melainkan budak yang bisa diperjualbelikan dan nyawanya tidak lebih berharga untuk semena-mena ditembak mati; kepercayaan dan falsafah hidup orang kulit berwarna atau indigenous dicitrakan klenik, barbar, savage, uncivilized sehingga harus dihapuskan melalui kolonialisme hingga genosida. Mitos, stigma, kecurigaan, prasangka disematkan pada tubuh-tubuh ciptaan Tuhan yang sempurna.
Oleh karena itu, gerakan masyarakat akar rumput yang berupaya merajut toleransi dan kebhinekaan senantiasa membuka diri, menanggalkan jubah superioritas, berbagi ruang aman, berdialog, mengudar prasangka, kecurigaan, stereotipe, dan stigma masing-masing satu sama lain. Lantas, apakah kita bersedia membuka diri dan berdialog dengan tubuh-tubuh dan suara-suara yang ditindas cisheteropatriarki selama berabad-abad dari berbagai arah? Berdialog bukan dalam rangka ‘mengubah’ tetapi agar dapat melihat kemanusiaan penuh ragam identitas gender dan seksualitas yang selama ini dilekatkan stigma pendosa, pelanggar batas, pengikut hawa nafsu, menyimpang dari fitrah, dan segala macam penghakiman yang tidak ingin kita dengar jika disematkan pada diri sendiri. Akankah toleransi kita naik level kepada tubuh-tubuh queer dan suara-suara cinta yang sunyi dan sembunyi itu?
Tak perlu kita sangkal toleransi pada awalnya ‘seakan-akan’ terasa agak maksa dan mengusik kenyamanan sebab kita terus dan terus diminta geseran dikit terhadap ragam identitas yang merebut kembali ruang hidupnya. Anggapan toleransi kebablasan barangkali berasal dari paranoid akan terusiknya sudut-sudut zona (ny)aman yang kadung masyarakat canangkan sebagai ‘keteraturan’ alias keajegan.
Alih-alih demikian, mengapa tidak kita melihat toleransi sebagai samudera berbatas langit dan bentang cakrawala? Samudera tersebut adalah kompleksitas umat manusia. Langit dan bentang cakrawala adalah rahmat ilahiah yang berkompaskan cinta kasih, keadilan, kesetaraan, dan pembebasan. Kita benamkan ego keakuan menjelma setetes air di samudera, setitik dari kemanusiaan yang satu, sehingga kita tak lagi takut terbawa antah berantah melainkan bersinergi silang kelindan dengan ragam identitas gender, agama, ras, suku, orientasi seksual, kelas, dan identitas-identitas lainnya menggunakan kompas ilahiah tersebut. Sedangkan bentuk intoleransi: penindasan, opresi, diskriminasi, subordinasi, marjinalisasi, pelecehan serta sistem pelanggengnya tidak berada dalam radar toleransi sehingga apa yang tidak kita toleransi hanyalah intoleransi itu sendiri.[]
Yogyakarta, 8 Juni 2023.
***Oleh Nanda Tsani, penggerak IQAMAH (Indonesian Queer Muslims + Allies) dan Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM Yogyakarta.