Sebelumnya terbit di The Jakarta Post, 21 Mei 2021, dalam versi bahasa Inggris.
Mengunggah momen bahagia di media sosial adalah aktivitas yang menyenangkan. Tanggapan-tanggapan positif dan ucapan selamat akan menambah sukacita. Tapi tidak demikian dengan Suriya Koedsang. Unggahan foto bahagia pernikahannnya di Media Sosial justru mengundang caci-maki, hinaan, bahkan ancaman. Dia menikah sesama jenis. Gelombang tanggapan kebencian itu bukan datang dari negaranya sendiri, tapi dari para pelaku media sosial Indonesia.
Apa yang salah? Suriya tidak mengerti. Pernikahan itu dilangsungkan di rumahnya sendiri, dihadiri keluarga dan teman-teman dekatnya, dengan uang sendiri, dan dilangsungkan di negara sendiri yang mengakui pernikahan tersebut. Mengapa warga media sosial Indonesia yang meradang?
Diskriminasi komunitas homoseksualitas memang sering terjadi di Indonesia. September 2020, polisi menangkap 56 orang di sebuah apartemen di Kuningan, Jakarta. Polisi berdalih bahwa penangkapan itu dilakukan pada para pelaku pesta gay. Para gay dilarang berpesta di negara ini. Perilaku diskriminatif aparat ini disambut oleh media yang melakukan pemberitaan yang menyudutkan korban. Alih-alih memberi ruang bagi para korban untuk bersuara, media justru ambil bagian dalam aksi intoleransi yang dimulai oleh aparat. Salah satu media online terbesar, detik.com, memberi judul berita videonya “Ini Tampang Penggagas Pesta Gay ‘Hot Space’.”
Seberapa besar sebetulnya kebencian dan resistensi pada kelompok LGBTIQ di Indonesia? Apakah benar-benar tidak ada harapan bagi kelompok LGBTIQ untuk hidup dan memeroleh haknya sebagai warga negara yang setara?
Twit Gerindra
Akhir tahun 2019, Kejaksanaan Agung mengeluarkan kebijakan menolak mereka yang memiliki orientasi LGBTIQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex and questioning) dalam proses penerimaan calon pegawai negeri sipil. Kebijakan diskriminatif ini dengan cepat menuai protes publik. Salah satu yang melayangkan protes itu adalah Partai Gerindra. Dalam akun resminya di Twitter, partai ini menyatakan dengan tegas:
“Yang terhormat @KejaksaanRI, kami tidak setuju dengan keputusan penolakan Kejaksaan Agung terhadap Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dengan orientasi seksual LGBT. #SuaraGerindra” (CNN Indonesia, 28/11/2019).
Walaupun pengurus partai ini kemudian membantah mendukung kelompok LGBTIQ, tapi dengan sangat jelas mereka mendukung hak-hak sipil yang setara bagi kelompok LGBTIQ. Menarik karena dukungan eksplisit ini datang dari sebuah partai politik yang tidak hanya menjadi salah satu parpol dengan massa terbesar, tapi juga dikenal dekat dengan arus politik Islam konservatif.
Dukungan dari partai politik ini mestinya menyiratkan suatu hal, yakni bahwa gerakan pemenuhan hak-hak sipil bagi kelompok minoritas seksual LGBTIQ mulai memeroleh pengaruhnya di masyarakat. Narasi hak-hak sipil dan kesetaraan mulai menjadi bahasa yang diterima dan dimengerti.
Secercah Harapan
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melalui survei opini publik (2017) menemukan bahwa ada 58% masyarakat Indonesia mengenal atau tahu LBGT. Dari yang tahu, 87,6 persen di antaranya mengaku bahwa kelompok ini cukup atau sangat mengancam. 81,5 persen yang meyakini LGBT dilarang oleh agama. Sekitar 80 persen keberatan untuk bertetangga dengan kelompok LGBT. Dan di atas 80 persen juga keberatan jika kelompok LGBT menduduki jabatan sebagai presiden, gubernur, bupati/walikota.
Sekalipun komunitas LGBT nampak seolah tidak punya tempat di tengah warga, namun Ketika pertanyaan dikerucutkan pada pengalaman warga sendiri, jawabannya menjadi berbeda. Untuk warga yang tahu LGBT, survei SMRC 2016 menemukan bahwa penerimaan pada kelompok LGBT mengalami peningkatan signifikan ketika itu terkait dengan keluarga sendiri. Ditanya kalau ternyata di kalangan keluarga ada LGBT, apakah akan tetap menerimanya sebagai anggota keluarga? 45,9 persen menyatakan ya akan tetap menerima.
Lebih jauh, ketika ditanya apakah LGBT punya hak hidup di negara kita? Mayoritas, 57,7 persen, menjawab ya. Apakah pemerintah wajib melindungi LGBT sebagai warga? 50 persen dari yang tahu LGBT menjawab ya.
Jelas terlihat bahwa resistensi pada LGBT tidak otomatis muncul dalam bentuk penolakan pada hak-hak kewargaan mereka. Dukungan pada pemenuhan hak-hak tersebut lumayan kuat dari masyarakat. Kebencian atau rasa tidak suka pada suatu komunitas barangkali adalah sesuatu yang naluriah dari seorang manusia dengan pengalaman interaksi dengan orang lain yang berbeda-beda. Yang bermasalah adalah jika ketidaksukaan itu mewujud dalam bentuk penolakan eksistensi kelompok berbeda itu. Yang perlu diantisipasi adalah jika kebencian itu mengejawantah pada aksi pelanggaran hak-hak sipil warga LGBT.
Yang lebih menarik adalah bahwa mereka yang menyatakan pemerintah wajib memberi perlindungan pada kelompok LGBT cenderung datang dari masyarakat yang lebih muda, berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi. Ini harapan. Anak-anak muda yang memiliki akses informasi dan pendidikan yang lebih baik memiliki kecenderungan penerimaan pada yang berbeda seperti LGBTIQ. Jika kualitas Pendidikan dan akses informasi meningkat di masa depan, artinya tingkat penerimaan pada minoritas seksual ini juga kemungkinan mengalami peningkatan.
Pew Research Institute mewawancarai 38.426 responden di 34 negara tahun 2019 tentang penerimaan masyarakat pada kelompok homoseksual. Hanya 9 persen warga Indonesia yang setuju bahwa kelompok homoseksual harus diterima oleh masyarakat. Angka ini terlihat kecil jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat yang tingkat penerimaannya sudah mendekati 100 persen atau dengan negara tetangga, Filipina, yang sudah di atas 70 persen. Kendati tingkat penerimaan warga Indonesia masih sangat minim, namun angka ini ternyata mengalami perbaikan jika dibanding survei 2013 yang hasilnya hanya 3 persen.
Fakta dan data ini memberi secercah harapan bagi kelompok minoritas seksual yang belum mendapatkan perlakukan setara di republik ini. Pemulihan hak-hak sipil kelompok LGBTIQ sekaligus adalah ujian apakah Indonesia bisa menjadi negara yang benar-benar demokratis, di mana kebebasan individu dilindungi secara maksimal tanpa memandang suku, agama, ras, etnis, golongan, dan orientasi seksual.
Saidiman Ahmad, Manajer Program SMRC dan Co-founder SEJUK