Memanusiakan warga minoritas gender dan seksual menjadi sikap baru. Cara pandang kritis terhadap ketidakadilan dan berani menantang serta menggugat nilai-nilai yang mapan yang merendahkan kemanusiaan menjadi kesadaran yang harus hidup di kalangan mahasiswa, terutama jurnalis kampus.
“Teman-teman harus kritis dan jangan takut menantang pandangan-pandangan lama,” ajak jurnalis sekaligus penulis fiksi dan nonfiksi Feby Indirani kepada 22 mahasiswa dari Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Feby adalah salah satu narasumber yang membekali para mahasiswa untuk mengembangkan jurnalisme keberagaman dalam workshop dan story grant yang digelar SEJUK di Pekanbaru pada 26-29 Mei 2023. Dalam kegiatan yang dikerjasamakan dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aklamasi, Gagasan, dan Bahana ini Feby berkali-kali menekankan pentingnya kritisisme, sikap baru, dalam diri mahasiswa untuk memasuki persoalan-persoalan diskriminasi.
Proses dialog interaktif antarpeserta dan pengalaman berjumpa, bergumul langsung dengan tantangan keberagaman yang dihadapi pemeluk agama Baha’i dan Katolik bahkan kasus-kasus diskriminasi yang menimpa Ahmadiyah dan dampingan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Riau, membantu para mahasiswa lebih sensitif terhadap kelompok-kelompok rentan di sekitar.
Jurnalis Dinamika UIN Sumatera Utara Siti Asyaroh mengaku jika sebelumnya kerap memandang sebelah mata LGBTIQ. Tetapi setelah secara aktif terlibat dalam disksusi-diskusi terbuka selama 4 hari workshop ia melihat LGBTIQ sebagai sesama manusia yang punya hak untuk dihormati dan tidak layak untuk dibenci dan disakiti.
“Kita tidak berhak menghakimi manusia yang berbeda,” tegas Asyaroh di hadapan peserta workshop.
Perubahan serupa disampaikan Ristiara Putri Hariati, jurnalis Gagasan UIN Suska Riau, yang tidak lagi menganggap pengaruh dari luar, seperti tiadanya kasih sayang dari sosok bapak atau pola asuh anak yang tidak tepat, dapat membuat orientasi seksual seseorang menjadi lesbian, gay, dan lainnya. Tiara, panggilan akrabnya, menjadi lebih menghargai fakta keberagaman gender dan seksual dengan membuang jauh persepsi dan stigma yang dapat meminggirkan mereka yang sudah rentan.
“Jika kamu tidak sependapat, hargai saja. Karena keberagaman itu indah,” Sefrizel Rahayu yang juga dari LPM Gagasan ikut memantapkan sikap baru.
Stigma-stigma bahkan kebencian menguat karena enggan untuk terbuka dan berjumpa dengan yang berbeda. Tuduhan Ahmadiyah sesat karena beberapa tafsir yang berbeda dengan ajaran Islam mayoritas di Indonesia tidak jarang menyulut orang melakukan kekerasan, tanpa terlebih dahulu memverifikasi langsung kepada jemaat Ahmadiyah.
“Saya ikut salat berjamaah. Salat, azan, dan iqamat mereka sama. Ahmadiyah sama seperti Islam lainnya,” ungkap M. Rizki Prananda dari Institut Teknologi Sawit Indonesia, Medan, salah satu rombongan mahasiswa yang berkunjung dan berdialog dengan para jemaat ke masjid Ahmadiyah di Pekanbaru.
Mewaspadai Tahun-tahun Politik
Hari-hari ini dampak stigma juga harus ditanggung komunitas rentan lainnya di Pekanbaru, seperti orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pekerja seks, dan transgender maupun LGBTIQ secara umum.
“Teman-teman OPSI harus waspada tiap mendekati pemilu,” kata XX mewakili Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Riau yang tak mau disebut namanya, saat berdialog dengan para jurnalis kampus Bumi Lancang Kuning.
“Tahun 2019 transgender dimanfaatkan untuk mendulang suara. Di tahun yang sama OPSI Riau digeruduk FPI, motifnya menyudutkan LGBT. Ini semua menimbulkan trauma bagi kami,” ujar XX.
Karena itu, kepada para peserta workshop Direktur LBH Pekanbaru Andi Wijaya berharap tahun politik kali ini tidak dimanfaatkan oleh para politisi yang tidak bertanggung jawab untuk menjadikan komunitas-komunitas rentan sebagai sasaran kebencian. Sebaliknya, ia berharap kepada pemerintah atau negara ini agar melindungi kebebasan beragama jemaat Ahmadiyah, Baha’i, dan minoritas agama atau keyakinan lainnya maupun hak-hak pekerja seks, ODHA, komunitas LGBTIQ.
“Semoga menjelang 2024 tidak ada lagi praktik-praktik politik identitas yang mendiskriminasi kelompok rentan,” harap Andi.
Saidiman Ahmad, Manajer Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Daniel Awigra, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), dan Ahmad Junaidi, Direktur SEJUK, adalah para ahli yang memantik diskusi-diskusi dalam workshop yang didukung sepenuhnya oleh Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Peraih Story Grant Keberagaman
Selain bekal perspektif, para peserta juga mendapat keterampilan (skill) memproduksi konten-konten keberagaman dari Nurul Bahrul Ulum yang aktif di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), membuat video bersama mantan jurnalis TV senior Goenawan yang sekarang mengelola Cokro TV dan kanal-kanal TV lokal dan alternatif lainnya, dan membuat feature dengan Dian Lestari, Koordinator SEJUK Kalimantan Barat.
Setelah para peserta memperoleh perspektif dan skill keberagaman, rangkain dari workshop SEJUK ini menawarkan juga beasiswa terbatas untuk memproduksi konten dan feature liputan keberagaman. Seluruh peserta mempresentasikan rencana konten dan feature keberagaman ke para mentor.
Harapannya, dari proposal-proposal keberagaman tersebuut akan banyak konten media sosial dan feature yang memberi ruang aman dan pemihakan bagi kelompok-kelompok rentan menjelang pemilu serentak 2024.
Para mentor menyeleksi dari sekitar 20 proposal menjadi 8 (delapan) yang berhak mendapat beasiswa produksi konten dan feature. Mereka masing-masing mendapatkan Rp1.500.000.
Berikut adalah 8 proposal yang terpilih untuk diteruskan dalam program story grant keberagaman:
1. Generasi Muda Agama Sikh Sebagai Minoritas di Kota Medan – Reza Anggi Riziqo (BOPM Wacana USU)
2. Izin Tempat Ibadah Gereja Elim Kristen Indonesia di Medan – Rachel Caroline L. Toruan (BOPM Wacana USU)
3. Keberagaman Gender dan Seksualitas di Riau Menuju Tahun Politik – Fani Oktafiona (LPM Bahana UNRI)
4. Kosan-kosan Berbasis Agama di Pekanbaru – Marchel Angelina (LPM Bahana Mahasiswa UNRI)
5. Pentingnya Satgas PPKS di UINSU – Siti Asyaroh (LPM Dinamika UINSU)
6. Suku Akit Asli di Bengkalis Melayu Tua yang Sering Distigma – Yogi Kurniawan (UKM Jurnalistik Cendekia Polbeng)
7. Tanah Adat di Solok dan Problematika Masyarakat Non-Islam – M. Abdul Latif (LPM Suara Kampus UIN Imam Bonjol Padang)
8. Tabuik: Tradisi Syiah yang Menjadi Tradisi Masyarakat di Pariaman – Bayu Naqsya Samasi (Universitas Negeri Padang)
Seluruh proposal yang dipresentasikan peserta menunjukkan perubahan perspektif dan sikap yang lebih memberikan pemihakan terhadap kelompok minoritas. Karena itu SEJUK sangat senang dan terbuka bagi mereka yang tidak mendapat story grant tetapi ingin diskusi merealisasikan produksi konten maupun berkolaborasi dengan Instagram @kabarsejuk.
Selamat berkarya menebar kesejukan.