Hari-hari menjelang pemilu, kelompok minoritas rentan di Indonesia harus menanggung beban diskriminasi dari publik lebih berat. Karena biasanya, ketika kampanye para politisi menggunakan isu minoritas untuk mencari popularitas demi mendulang suara. Tidak jarang, isu tersebut dikemas dengan ujaran kebencian berlandaskan SARA dan identitas lainnya, yang selama ini menyasar warga rentan dan marjinal. Seperti kelompok agama minoritas (Ahmadiyah, Syiah, Kristen), kelompok disabilitas, dan kelompok ragam gender (LGBTIQ+) hingga memunculkan bahaya atau ancaman bagi mereka.
Menurut Mafindo, menjelang Pemilu 2024 peredaran hoaks meningkat tajam, bahkan mencapai enam kali lipat dari biasanya (Tempo, 2023). Catatan Mafindo juga menunjukkan bahwa hoaks bertema politik mendominasi hoaks yang tersebar menjelang Pemilu 2019 (Mafindo, 2019). Ujaran kebencian juga kerap kali disuarakan oleh politisi (BBC Indonesia, 2018). Hal ini pernah terjadi dalam pemilihan kepala daerah, saat seorang calon kepala daerah mengeluarkan ujaran kebencian terhadap kelompok Syiah, yang berujung pada pengusiran warga Syiah di Madura (Purnamasari, 2023). Selain itu juga terdapat pernyataan kontroversial dari pejabat, seperti seorang walikota yang menyatakan kotanya anti LGBTIQ (CNN Indonesia, 2023).
Rangkaian informasi di atas menunjukkan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang meluas di masa pemilu. Hal ini telah menyebabkan polarisasi, konflik, dan penurunan kepercayaan publik terhadap pemilu dan demokrasi. Fakta juga menunjukkan bahwa ujaran kebencian berdampak negatif pada kelompok marjinal, termasuk memicu potensi kekerasan dan ancaman fisik lainnya.
Penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial berpotensi besar akan terjadi lagi dalam masa kampanye Pemilu 2024. Namun regulasi, sumber daya dan infrastruktur penyelenggaraan pemilu yang masih kurang memadai dapat membuat peredaran hoaks dan ujaran kebencian serta ketidakpastian pengawasan dan penegakan hukumnya akan menjadi momok selama masa kampanye. Hal ini menjadi tantangan besar di tengah harapan masyarakat akan terselenggaranya pemilu yang penuh sukacita, berintegritas, terbuka dan dapat dipercaya.
Untuk menyikapi kondisi tersebut dan demi masa depan demokrasi di Indonesia, Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kampanye Pemilu yang Informatif dan Edukatif, membuat Pernyataan Sikap Bersama di bawah ini:
- Mendorong KPU dan Bawaslu agar lebih berani dan inovatif dalam membuat peraturan tentang penataan kampanye politik di media sosial yang spesifik, komprehensif, efektif, dan berdampak. Penataan kampanye di media sosial harus dibuat dengan serius agar dapat menjawab persoalan kekinian, khususnya terkait maraknya disinformasi, hoaks, ujaran kebencian, dan kabar bohong.
Untuk itu, Kami juga mendorong Bawaslu untuk menyusun Code of Conduct kampanye di media sosial. Hal ini penting agar kampanye di media sosial memiliki acuan yang jelas. Lebih jauh, Kami juga mendorong Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk berkomitmen memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam moderasi konten.
- Mendorong KPU dan Bawaslu untuk lebih profesional dalam menyelenggarakan Pemilu guna menjamin adanya prinsip inklusivitas, partisipatif, terbuka, dan akuntabel dalam mewujudkan Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil. Oleh karena itu, pelibatan para pemangku kepentingan terkait harus dilakukan secara bermakna dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Partisipasi publik merupakan sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi. Oleh karena itu, pelibatan partisipasi publik seharusnya tidak hanya sekedar formalitas belaka. Dalam hal menjaring aspirasi dan pendapat publik, Kami menuntut agar KPU dan Bawaslu memperjuangkan aspirasi dan komitmen publik di hadapan rapat dengan Komisi II DPR RI.
- Mendorong partai politik, calon presiden, calon legislatif dan calon kepala daerah untuk berkampanye secara informatif dan edukatif, tidak menyebarkan hoaks, tidak menggunakan ujaran kebencian berlandaskan SARA dan identitas lainnya yang selama ini telah menyasar dan memunculkan bahaya / ancaman bagi warga rentan dan marjinal seperti kelompok agama minoritas (Ahmadiyah, Syiah, Kristen), kelompok disabilitas, dan kelompok ragam gender (LGBTQI+). Kampanye semacam ini telah menyebabkan keresahan dan pembodohan publik, menajamnya diskriminasi dan munculnya konflik di masyarakat. Kami menolak keras eksploitasi materi dan konten kampanye, termasuk di media sosial, yang mendiskreditkan atau merendahkan martabat kelompok rentan dan marjinal.
- Mendorong keterbukaan data kampanye, termasuk laporan dana kampanye sebagai upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan Pemilu. Kami menuntut KPU tetap memasukkan persyaratan Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam Peraturan KPU.
- Memperkuat konsolidasi masyarakat sipil dalam mengawal Pemilu 2024. Kami juga berkomitmen untuk mendorong pemberdayaan masyarakat salah satunya melalui penguatan literasi pemilih dalam menghadapi pemilu, terutama untuk melawan informasi yang menyesatkan, diskriminasi, dan polarisasi tajam akibat kontestasi pemilu.
Jakarta, 26 Juni 2023
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kampanye Pemilu yang Informatif dan Edukatif