“Agama itu kan bukan ibadah saja, tapi sebenarnya mengabdi. Bagaimana kalau kita sudah belajar agama kita bisa mengabdikan diri untuk manusia.”
Semangat beragama untuk mengabdi pada kemanusiaan ini disampaikan Ince Helmi, penganut Baha’i yang tinggal di Makassar, kepada kalangan pers mahasiswa dari beberapa wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel). Bagi Helmi, menerapkan nilai-nilai agama di tengah-tengah masyarakat menjadi cara membumikan asas-asas agama Baha’i yang di antaranya mengajarkan kesatuan agama, persatuan umat manusia, dan perdamaian dunia.
Keuletan pria berdarah Melayu-Jeneponto dalam menerjemahkan keesaan Tuhan lewat aktivitas sosial ini membuatnya didaulat memimpin Dewan Lorong di salah satu kelurahan Kota Makassar.
Salah satu tetangga Helmi, Ira, mengakui kalau warga sekitar dekat dengan Helmi. Perempuan yang sudah 23 tahun tinggal di Makassar itu menceritakan betapa Helmi rajin mengajak mayarakat untuk saling membantu. Soal ajaran atau keyakinan yang dianut Helmi, lanjut Ira, tidak harus diperdebatkan hanya karena berbeda.
“Dia (Helmi) tidak pernah memaksa atau ke rumah menawarkan atau mengenalkan agamanya. Dia hanya mengajarkan bagaimana saling bertoleransi, menghargai sesama,” demikian Ira menggambarkan Helmi pada Minggu yang semakin terik itu (25/6).
Sepenggal kisah tentang penganut agama Baha’i ini ditulis ulang oleh peserta Training & Story Grant Menciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) pada 23-26 Juli 2023 di Makassar. Kisah Helmi dituangkan dalam laporan hasil kunjungan kalangan pers mahasiswa dari beberapa daerah di Sulsel ke komunitas Baha’i.
Feature (tulisan) berikutnya mengisahkan kecemasan yang menghinggapi kalangan minoritas yang tergabung dalam Komunitas Sehati Makassar (KSM) yang mengadvokasi isu LGBTIQ, Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan (KWRSS), dan Global Inklusi untuk Perlindungan AIDS (GIPA) yang mendampingi dan mengadvokasi orang dengan HIV/AIDS. Cerita-cerita mereka dan komunitasnya yang mengalami diskriminasi juga divideokan oleh para peserta.
“Kami semakin khawatir, Prolegda anti-LGBT yang sangat politis ini sedang digodok,” ungkap Gege, Ketua KSM, saat berjumpa dengan kalangan pers mahasiswa Sulsel di bilangan Jl. Andi Djemma, Makassar (25/6).
Wali Kota Makassar M. Ramdhan Pomanto dan DPRD sejak awal tahun 2023 menjadikan LGBT objek diskriminasi dengan berencana menerbitkan Perda anti-LGBT, bukan membuat aturan yang dapat menjamin menjamin perlindungan bagi kelompok-kelompok rentan. Padahal, sambung Gege, sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel dan Makassar di pertengahan 2022 juga membuat komunitas LGBTIQ merasa terancam kemerdekaannya untuk berekspresi.
“Bukan hanya MUI Sulsel menentang keras kami menggelar kegiatan tahun lalu, MUI Makassar bahkan mau membangun klinik untuk merehabilitasi LGBT” ujar Gege.
Sebelumnya, Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman pada Maret 2022 diduga melarang Bissu, tokoh spiritual dan gender kelima Bugis, terlibat prosesi membersihkan benda pusaka kerajaan di Hari Jadi Bone ke-692.
“Entah kepentingan politik apa, padahal Pak Gubernur orang Bone asli juga, dia (keturunan) raja (Bone), masa tidak tahu sejarah (pencucian benda pusaka)?” protes transpuan yang akrab disapa Umi Hj. Ida dari Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan.
Kebijakan yang Mengasihani Disabilitas
Sementara kunjungan peserta workshop ke Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sulsel tidak hanya menyadari fakta tentang disabilitas netra sulit mengakses fasilitas publik, tetapi juga membongkar pemahaman baru para peserta betapa perspektif penyelenggara pendidikan negeri, bahkan setingkat universitas, masih charity-based model, yang mengasihani dan diskriminatif, bukan rights-based approach.
Hal ini disampaikan Fitri Astri dari pers mahasiswa Graffity IAIN Palopo yang menceritakan perjumpaannya dengan Yoga, teman netra, yang mengungkap bahwa Universitas Negeri Makassar menyediakan kelas khusus atau pendidikan luar biasa adalah bentuk kebijakan yang membeda-bedakan disabilitas dengan peserta didik non-disabilitas, tidak inklusif.
“Kelas khusus di kampus atau pendidikan luar biasa adalah bentuk diskriminasi karena membatasi dan menghalangi disabilitas untuk mendapatkan jurusan yang diimpikan atau sesuai potensi masing-masing individu disabilitas,” terang perempuan yang akrab disapa Pity.
Sedangkan para peserta workshop yang berkunjung ke masjid Ahmadiyah Makassar mendapatkan pengalaman, pemahaman, dan klarifikasi tentang Islam Ahmadiyah langsung dari mubaligh (pimpinan agama) dan para jemaatnya. Tuduhan-tuduhan sesat yang beredar di masyarakat terbantahkan.
“Kesesatan Ahmadiyah tertanam dari berita-berita di media yang saya tonton sejak kecil. Ternyata setelah saya datang langsung, syahadat, Al-Quran, rukun iman, rukun Islam, nabi dan sebagainya, semua sama dengan Islam (mainstream),” ungkap Ahkamul Ihkam Mada memberi kesaksian.
Dinamika Mahasiswa Menggumuli Keberagaman
Tidaklah mengejutkan mendapati pandangan dan sikap para peserta workshop yang mampu menangkap dengan jernih dampak dari stigma dan praktik-praktik diskriminasi, yang membatasi dan merampas hak-hak kelompok minoritas, ketika berjumpa dengan komunitas Ahmadiyah, Baha’i, disabilitas netra, transgender maupun queer dan pendamping orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Hal tersebut buah dari diskusi dan bergumul tentang pondasi dasar kebebasan beragama atau berkeyakinan, hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, sampai sexual orientation, gender and identity expression, and sex characteristic (SOGIESC), yang secara intensif dan interaktif selama dua hari bersama pakar, sebelum para peserta melakukan kunjungan.
Narasumber-narasumber pelatihan kali ini: Saidiman Ahmad, Program Manager Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Daniel Awigra, Executive Director Human Rights Working Group (HRWG), Sri Agustine, Direktur Ardhanary Institute dan advokat publik, Shinta Maharani, jurnalis Tempo, trainer SEJUK, dan AJI Indonesia.
Yuni Pulungan (Program Manager SEJUK) dan Tantowi Anwari (Advocacy Manager SEJUK) berlaku sebagai fasilitator training yang bekerja sama dengan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Makassar dan Penerbitan Kampus (PK) Identitas Universitas Hasanuddin.
Selain mendapatkan perspektif, dalam training dan story grant yang didukung oleh USAID Indonesia dan Internews, para peserta dibekali dengan prinsip-prinsip dan etik jurnalisme keberagaman, skill menulis feature dan memproduksi video serta konten media sosial yang menyuarakan hak-hak kelompok minoritas. Selama proses training, para peserta langsung mempraktikkan keterampilan jurnalisme keberagaman dengan pendampingan Ahmad Junaidi, Direktur SEJUK, Fadiyah Alaidrus, editor Newnaratif.com, Goen Goenawan, ex-jurnalis SCTV dan sekarang mendampingi beberapa TV lokal dan CokroTV, dan Nurul Bahrul Ulum, Kupipedia.id, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Beasiswa Liputan
Dalam kegiatan ini para peserta training mempresentasikan masing-masing rancangan peliputan keberagaman kepada para mentor. Dari proses pitching seluruh rancangan feature isu keberagaman, para mentor story grant memilih 10 proposal yang masing-masing berhak mendapat Rp3.000.000.
Berikut adalah proposal-proposal feature keberagaman yang mendapat story grant:
1. Akses dan Kesetaraan pada Minoritas Gender di Lembaga-lembaga Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) – Muh. Amar Masyhudul Haq, PK Identitas Unhas
2. Bagaimana Mahasiswa Papua Menghadapi Stigma Negatif? – Ahkamul Ihkam Mada, LPMH Unhas
3. Bab Kesucian: Kebebasan Berkeyakinan Kembali Terancam di Sulawesi Selatan – Nur Mutmainah, PK Identitas Unhas
4. Bissu, Suara yang Terabaikan – Nurul Hidayah, LPM Corong Unismuh
5. Guru Agama Kristen di Sekolah-sekolah Negeri Makassar – Oktafialni Rumengan, PK Identitas Unhas
6. Jemaat Ahmadiyah di Makassar, Perjuangan Hidup dan Persekusi di Rumah Sendiri – A. Nur Ainun, LPM Profesi Universitas Negeri Makassar
7. Kampus Unhas ‘Masih’ Tidak Ramah Disabilitas – Abd. Sulaeman, UKPM Catatan Kaki Unhas
8. Pemakaman Masyarakat Tolotang di Enrekang – Heni Handayani, UKM LIMA Washilah UIN Alauddin Makassar
9. Pengungsi Anak dan Pendidikan Formal di Makassar – A. Nur Ismi, LPM Estetika FBS Universitas Negeri Makassar
10. Penyintas Kusta di Makassar: Menghapus Stigma, Melawan Diskriminasi – Muh. Amin, LPM Kareba Universitas Islam Makassar
Selamat buat 10 jurnalis kampus yang terpilih memperoleh story grant. Alur story grant lebih lanjut akan diinformasikan oleh SEJUK langsung kepada 10 peraih story grant. SEJUK akan senang sekali jika proposal yang belum beruntuung mendapat story grant tetap dilanjutkan menjadi liputan keberagaman yang kami tayangkan di Sejuk.org []