Oleh :Vevi Alfi Maghfiroh
Beberapa waktu lalu, ada salah satu konten yang tiba-tiba muncul di FYP akun saya. Kurang lebih kalimat yang tertulis di sana merupakan respon si pemilik akun dari pertanyaan, ‘Mengapa kamu menikah muda?,’ dengan latar belakang foto pernikahannya ia menulis, ‘Saya kasihan dan takut seperti mbak-mbak yang muncul di ViTi yang usianya 30-an tapi belum menikah….’
Membaca konten tersebut, entah bagaimana saya harus meresponnya, karena saya juga salah satu perempuan lajang di usia 29 tahun, dan belum punya pengalaman menjalin relasi romantis dengan siapa pun sebelumnya.
Memang belakangan ini, saya cukup sering menjumpai berbagai tren konten di platform TikTok, dari mulai konten yang meromantisasi single era, life after divorce, parenting pengasuhan anak, generasi sandwich, lika-liku ibu bekerja, kehidupan mahasiswa, drama berkarir, dan masih banyak lainnya.
Di satu sisi gampang sekali orang saling membanding-bandingkan satu sama lain hingga beradu nasib. Tapi di sisi lain juga menjadi support system dan penguat jika konten yang dibuat tersebut persis dengan yang kita alami.
Seperti konten ‘Single Era’ ini membuat saya semakin mensyukuri dan terus menjalani hari demi hari sebaik mungkin, karena nyatanya banyak orang lain yang juga sedang berjuang sebagaimana status kehidupan saya kini.
Lika-liku Penerimaan Diri
‘Tak ada pelaut tangguh yang lahir dari lautan yang tenang, zheyengg….’ Mantra ini cukup menggambarkan betapa proses penerimaan pada sebuah takdir dan jalan hidup yang tidak sesuai ekspektasi kita itu tidak mudah. Butuh beberapa tahun untuk meyakinkan diri saya bahwa menjadi single di usia matang itu tidak apa-apa.
Perasaan gagal karena tidak bisa menikah sebelum usia 25 tahun ini juga tidak lahir secara tiba-tiba. Sejak kecil tanpa disadari kita khususnya anak perempuan selalu didoktrin untuk menikah segera agar tidak menjadi perawan tua.
Selain itu, doktrin ajaran agama bahwa menikah itu menyempurnakan ibadah dan menjadikan separuh jiwa itu utuh, seakan-akan melanggengkan stigma lajang sebagai seseorang yang tidak sempurna dan tidak bahagia hidupnya, sehingga perlu dikasihani dan menjadi perbincangan orang lain.
Kondisi dan situasi ini akan sangat terasa jika hidup dan tinggal di desa. Di mana Pendidikan tinggi menjadi sebuah pencapaian yang mewah, apalagi kesempatan untuk bertumbuh, berkarya, dan mendapatkan pekerjaan juga tidak mudah.
Keadaan tersebut menjadikan para orang tua lebih mendorong anak-anak mereka untuk segera bekerja sebelum atau pasca SMA. Dan jika itu anak perempuan, mereka memintanya untuk segera menikah agar nafkah tidak lagi ditanggung keluarga.
Faktor ekonomi dan sosio-kultural ini tak jarang semakin menghimpit para perempuan, yang masih ingin berkarya dan mendapatkan kehidupan yang mapan sebelum menikah, meskipun sudah di usia matang dan mencapai kepala tiga.
Dan itu lah yang saya alami sebagai perempuan lajang yang tinggal di Indramayu, daerah pesisir yang tak sedikit juga mendapatkan berbagai stigma, seperti julukan RCTI (Rangda Cilik Turunan Indramayu), sebuah anekdot yang menggambarkan banyaknya janda muda akibat fenomena perkawinan anak yang masih marak, dan angka perceraiannya juga banyak.
Di situasi ini, terkadang saya merasa menjadi sosok yang ‘dianggap aneh’ karena belum juga segera menikah. Faktanya sudah tidak ada lagi teman sebaya yang masih lajang, semuanya sudah menempuh kehidupan berkeluarga. Hingga beberapa tahun lalu, saat menjelang usia 25 tahun, saya mengalami quarter life crisis.
Bangkit dan Bertumbuh Setelah Quarter Life Crisis
Saya tak pernah menyangka akan berada pada krisis identitas di masa itu, bukan karena persoalan pencapaian dan prestasi hidup, tapi justru karena status lajang. Di momen itu, saya sedang menyelesaikan tugas akhir studi strata dua untuk mendapatkan gelar magister hukum.
Bahkan karir dan pekerjaan saya kala itu juga berjalan lancar. Tapi krisis tersebut menjadi penyebab saya tidak memiliki gairah untuk menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Apalagi di momen pandemi covid-19, di mana semua orang juga mengalami berbagai kondisi dan situasi yang sulit dan mencekam.
Namun di tengah berbagai krisis dan kesulitan yang dialami, janji Tuhan dalam Surat Al-Insyirah Ayat 5-6, ‘Fa Inna Ma’a al-‘Usri yusraa, Inna Ma’a al-‘Usri Yusraa….’ itu pasti. Yakni sesungguhnya di setiap kesulitan itu ada kemudahan.
Lalu perlahan jalan takdir mempertemukan saya dengan Mubadalah.id, Yayasan Fahmina, dan Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), tempat di mana saya kini belajar, bekerja, dan mengabdikan diri.
Perlahan berbagai kesempatan baik menjumpai saya seiring dengan proses penerimaan diri terhadap hal-hal di luar ekspektasi. Bahkan apa yang saya dapatkan kini, jauh lebih dari bayangan saya sebelumnya. Dari proses belajar dan berkomunitas, jiwa saya semakin utuh, tidak lagi terngiang-ngiang doktrin kesempurnaan hanya ada dalam pernikahan.
Menjadi Muslimah yang Utuh, Dengan atau Tanpa Pasangan
Proses belajar dan penerimaan diri membuat saya semakin yakin telah hidup sebagai muslimah yang utuh, baik dengan maupun tanpa pasangan. Mindset ini berhasil membuat saya tidak hanya berdaya untuk diri sendiri, tetapi juga saling memberdayakan dan menjadi ruang aman bagi orang lain.
Melalui Mubadalah.id, saya bersama tim mengupayakan narasi yang adil gender dan toleran untuk sesama. Dan melalui Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu, saya bersama rekan juga mengusahakan ruang aman dan pendampingan bagi para korban kekerasan berbasis gender di Indramayu. Karena Tuhan tidak melihat warna kulit dan status KTP-mu, melainkan pada ketakwaan hamba-Nya. Mari menjadi muslimah yang berdaya.
*Penulis merupakan Pemenangg #Ngober Bangga Menjadi Diri Sendiri