Kini semakin benderang, gender dan seksualitas di Indonesia tak lepas dari kekang kekuasaan.
Polemik dikeluarkannya mahasiswa yang mengidentifikasi diri sebagai gender netral oleh Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Dr. Muh. Hasrul, dari kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), berujung pada penerbitan Surat Edaran (SE) Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) tentang Pencegahan Penyebarluasan Paham, Pemikiran dan Sikap Prilaku yang Mendukung LGBT di Lingkungan Kampus, Sekolah dan Madrasah, pada 22 Agustus 2022.
Padahal, jika saja mau jujur untuk mengenal “bissu” yang netral gender, andai juga bisa rendah hati belajar menerima betapa bissu sudah ada dalam praktik adat dan kebudayaan Bugis kuno hingga hari ini, seharusnya kita tak perlu mencemooh dan menuduh diskursus keberagaman gender dan seksualitas atau sexual orientations, gender identities, gender expressions and sex characteristics (SOGIESC) “membebek” Barat.
Ketahuilah, di sekitar abad ke-13 sampai 15 tercatat realitas bissu, yang hingga sekarang masih eksis di Bone dan Pangkep, dalam epos sureq I La Galigo. Maka, tuduhan lesbian, gay, biseksual, transgender, queer (LGBTQ) di Indonesia dipengaruhi Barat semata fitnah yang menyembunyikan fakta bahwa dalam budaya Bugis ada 5 gender, termasuk calabai, calalai, dan bissu yang mengakar jauh sebelum Islam dan Kristen berkembang, apalagi Barat yang baru belakangan menjajah.
Mitologi Si Dua Jambar tentang transgender yang dimuliakan etnis Batak menunjukkan memori masyarakat adat tentang transgender, gender dan seksualitas yang beragam, sudah lama hidup di tanah air.
Belum lagi tari gandrung Banyuwangi, lengger Banyumas, seudati Aceh, warok dan gemblak pada reog Ponorogo, masri Makassar, dan sebagainya yang kerap melibatkan penari homoseksual maupun transgender. Tidak satu pun dari seluruh seni dan tradisi di atas yang dipengaruhi Barat.
“Seni pertunjukan kadang melibatkan pemeran yang menjalankan perilaku homoseksual, seperti pada tari seudati di Aceh, yang diiringi puisi religius dengan tema homoerotisme,” ungkap Dede Oetomo dalam “Seksualitas dalam Pengaturan Negara” (Prisma 7, Juli 1991).
Pada tulisan tersebut aktivis gay pendiri GAYa NUSANTARA memaparkan praktik atau tradisi dan kesenian yang terhampar di nusantara banyak yang melibatkan warga berorientasi homoseksual.
Menghormati keberagaman gender dan seksualitas atau mendorong prinsip SOGIESC bukan meniru Barat. Sekali lagi ini soal kejujuran yang hilang karena intervensi kekuasaan.
Keberagaman gender dan seksualitas sudah ada sejak manusia beranak-pinak di bumi. Tak usah kaget, di Timur Tengah, bukan Barat, melainkan di masa khilafah ada khalifah-khalifah (lelaki) yang mencintai transgender. Fakta tersebut diuraikan dalam “Mengenai Khalifah yang Gay” oleh Dr. KH. Nadirsyah Hosen (nadirhosen.net, 2019).
Gus Nadir, sapaan akrabnya, mengungkap bahwa Khalifah al-Watsiq bin al-Mu’tashim Billah mencintai budak lelakinya, Khalifah al-Amin bin Harun ar-Rasyid mempunyai hubungan istimewa dengan kasim (pria yang dikebiri) istana, dan Khalifah al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang menjalankan praktik homoseksual. Ketiganya disebut sebagai gay oleh Gus Nadir.
Tentu, boleh bersemangat menyampaikan argumen dan gagasan menentang gender netral ataupun bersikap fobia homoseksual dan transgender, juga anti-queer, tetapi kalau untuk mencemooh dan merendahkan yang berbeda pandangan hanya akan mematikan diskusi, dan yang hadir kemudian caci-maki!
SE Pemprov Sulsel sebagaimana disebutkan di atas bernuansa diskriminatif bagi eksistensi dan ekspresi warga maupun komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di dunia Pendidikan wilayah Sulsel. Semangat dan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia yang ke-77 tercemari sikap, perilaku, dan kebijakan yang tidak inklusif. Institusi pendidikan dan lembaga pemerintahan mengabaikan keputusan otoritas kesehatan yang kredibel seperti WHO, Pedoman Pengelolaan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan RI maupun basis riset dan ilmu pengetahuan dan medis lainnya.
Sangat jelas, PPDGJ III menegaskan lesbian, gay, dan biseksual masuk dalam klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual. LGBT bukan penyimpangan.
Yuk, hargai fakta keberagaman gender dan seksualitas di sekitar kita! Jika tak bisa berempati, cukup dengan tidak merendahkan, sebaliknya sama-sama memberi ruang yang setara agar tak satu pun hak warga yang ditindas karena pilihan, pandangan, identitas, maupun ekspresi yang berbeda.[]