Masyarakat adat merupakan salah satu kelompok rentan yang belum menjadi perhatian serius negara. Bagaimana tidak, berbagai kekerasan dan diskriminasi kerap dialami masyarakat adat, sedangkan upaya dari negara cenderung lambat. Hal ini juga dialami oleh masyarakat adat dari pedalaman maluku, mereka masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan, baik secara komunitas maupun hak ulayat. Hingga kini Undang-undang Masyarakat Adat juga tidak kunjung disahkan.
Patty Nahatue dari masyarakat adat Naulu menceritakan beberapa ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat. Misalnya dampak masuknya perusahaan ke dalam wilayah adat menyebabkan terjadinya penggundulan hutan, hal tersebut mengganggu masyarakat adat yang menganut agama lokal untuk melakukan ritual adat di hutan. Perusahaan yang telah melakukan penggundulan hutan juga tidak mereboisasi kerusakan, dibiarkan begitu saja. Negara tidak memberi syarat apapun terhadap perusahaan yang masuk ke wilayah adat bahkan cenderung mendukung. Masyarakat adat Naulu mendiami Pulau Seram bagian selatan.
Perwakilan perempuan dari masyarakat adat Naulu, Aharena Matoke, menjelaskan, secara administratif, masyarakat masih mendapatkan diskriminasi, khususnya dalam hal dokumen kependudukan. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan, masyarakat adat harus memilih agama yang kala itu diakui oleh negara. Masyarakat adat Naulu kemudian ditulis sebagai agama Hindu di tanda kependudukannya. Hal tersebut juga memengaruhi terhadap pencatatan perkawinan mereka yang harus dilakukan sesuai ajaran Hindu, padahal mereka memiliki ajaran agama sendiri dan adat pernikahan sendiri. Setelah diberlakukannya putusan MK, masyarakat adat Naulu dapat melaksanakan pernikahan sesuai adat mereka dan mencantumkan ‘Penghayat Kepercayaan’ di kartu tanda penduduknya.
Namun masalah tidak berhenti di sana, anak-anak masyarakat adat Naulu harus memilih mata pelajaran agama yang tersedia saja untuk melengkapi nilai. Patty menjelaskan, ini membuat banyak anak minder dengan identitas mereka. Nilai anak-anak juga cenderung rendah dalam mata pelajaran agama karena mereka terpaksa belajar agama yang berubah-ubah dan tidak mereka yakini dalam kehidupan sehari-hari. Ia berharap negara menyediakan guru agama bagi penghayat kepercayaan masyarakat adat Naulu.
Media melanggengkan stigma terhadap masyarakat adat
Diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan terhadap masyarakat adat Naulu tidak hanya dilakukan oleh perusahaan dan negara. Tapi juga dilakukan oleh media dengan melakukan pemberitaan yang melanggengkan stigma terhadap masyarakat adat. Patty menyayangkan masih beredarnya berita-berita tentang suku Naulu yang kanibal dan kerap memenggal kepala manusia, pemberitaan tersebut bahkan tidak melalui konfirmasi kepada masyarakat Naulu itu sendiri.
Pemberitaan lainnya yang beredar adalah tentang remaja perempuan diasingkan ketika mengalami menstruasi pertama, tradisi itu bernama pinamou. Menurut Rena, pemberitaan itu mengakibatkan tradisi pinamou dianggap melakukan kekerasan terhadap perempuan. Padahal bagi mereka, tradisi tersebut adalah upaya agar remaja perempuan memulai kemandiriannya. Akibat dari pemberitaan yang bias, suku Naulu dianggap aneh oleh masyarakat umum yang memengaruhi kehidupan mereka saat berinteraksi dengan warga di luar komunitas adat.
Pemberitaan tentang konflik masyarakat adat dan negara memang sudah banyak dilakukan namun belum merata, karena keterbatasan media untuk menjangkau wilayah adat maupun masyarakat adat itu sendiri yang membatasi masuknya media ke wilayah adat akibat dari ketidaktahuan pentingnya media dalam upaya advokasi.
Mengupayakan ruang aman masyarakat adat di media
Untuk menjawab persoalan tersebut Serikat Jurnalis Keberagaman (SEJUK) didukung oleh International Media Support (IMS) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ambon, Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, dan Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions (ICIR) mengelar Focus Group Discussion “Media dan Masyarakat Adat: Konsolidasi Membangun Ruang Aman di Ruang Digital bagi Perempuan Adat” pada 22 Oktober 2024 di Kampus IAKN Ambon.
Kepala Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada Samsul Maarif menjelaskan bahwa mereka memiliki program yang menghimpun penghayat kepercayaan, dan memiliki program pendidik kepercayaan. Ada 25 lembaga negara di bawah koordinator pusat pemberdayaan dan kebudayaan manusia yang menangani persoalan penghayat kepercayaan.
Sayangnya informasi tersebut tidak seluruhnya sampai ke publik terutama masyarakat adat. Maka dari itu, media memiliki peran yang krusial untuk membuka akses informasi tersebut. “kami di media juga memiliki beberapa komunitas jurnalis yang dapat mempermudah mama-mama dan bapak-bapak untuk mengakses, kolaborasi menjadi kunci yang penting, harapannya dari pertemuan ini ICIR bisa melihat peluang kerja sama dan apa yang harus ditindak lanjuti,” kata Tantowi Anwari dari SEJUK.
“Kami meminta kemudahan akses informasi, kami juga meminta batasan tanah adat kami dipedulikan dan diperhatikan oleh pemerintah setempat. Kami juga meminta media lokal dan nasional bisa mengakses pemberitaan di negeri kami, tetapi media pun harus mengetahui batasan dalam meliput terutama meliput terkait adat istiadat,” ujar Welem S Niwele dari masyarakat adat Nuniali.