Rahma Verolyn Sintya Alaidrus atau yang akrab disapa Ipeh berpendapat bahwa jurnalisme konstruktif adalah ‘semacam berita humas’ karena hanya menampilkan sisi positif dari suatu peristiwa. Pernyataan dari reporter Beranda Maluku tersebut juga di amini oleh sebagian besar peserta Training Constructive Journalism: Membangun Jurnalisme sebagai Ruang Aman bagi Masyarakat Adat dan Perubahan Iklim yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon atas dukungan dari International Media Support (IMS) pada 24-26 Oktober 2024 dan diikuti oleh 13 jurnalis asal Maluku serta 2 jurnalis dari luar Maluku.
Maklum, genre jurnalisme konstruktif memang belum banyak dikenal di media Indonesia, namun media-media besar internasional sudah mulai mengadopsi jurnalisme konstruktif untuk pemberitaannya, misalnya The New York Times, BBC News, VOA, Reuters, dan lain sebagainya. Di Indonesia, Tempo dan Narasi menjadi dua media yang tercatat mengimplementasikan jurnalisme investigatif dan irisannya dengan jurnalisme konstruktif dalam pemberitaannya.
Selama tiga hari mengikuti training, pernyataan peserta soal jurnalisme konstruktif sebagai berita ‘humas’ atau ‘berita positif’ perlahan dipatahkan oleh fasilitator yang secara interaktif membersamai para peserta, Henrik Grunnet (IMS Advisor) dan Bagja Hidayat (Redaktur Eksekutif TEMPO). Henrik menjelaskan, kehadiran jurnalisme konstruktif justru untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap media yang berbasis fakta, pengetahuan, dan keterlibatan masyarakat.
Jadi apa itu jurnalisme konstruktif dan apa tujuannya?
Dalam presentasinya, Henrik menjelaskan bahwa orang lebih cepat bereaksi pada berita yang dikemas dengan buruk, negatif, sensasional, dramatis, dan penuh dengan masalah seolah-olah sudah tidak ada harapan lagi di dalamnya. Dampaknya menurut data dari Reuters Institute Digital News Report 2022, ada 43% Mengatakan bahwa terlalu banyak politik dan COVID-19, 36% mengatakan bahwa Berita memiliki efek negatif pada suasana hati, 29% mengatakan lelah oleh jumlah berita, dan 29% mengatakan bahwa berita tidak dapat dipercaya atau bias. Apabila masyarakat mulai menghindari media sebagai informasi maka kesadaran akan menurun, mengalami konsekuensi secara sosial dan ekonomi, hingga demokrasi yang terancam.
Jurnalisme konstruktif kemudian hadir sebagai cara baru untuk menyampaikan informasi. Memiliki tujuan untuk tetap kritis terhadap persoalan namun lebih objektif dan berimbang. Ciri khas lain dari jurnalisme konstruktif adalah tenang dalam menyampaikan informasi tanpa mengedepankan skandal dan kemarahan. Genre berita ini ‘bertugas’ untuk menjembatani bukan membentuk polarisasi.
Henrik kemudian menjelaskan ada tiga ciri khas dalam jurnalisme konstruktif. Pertama fokus pada solusi, jadi tidak hanya mengekspos masalah, tetapi juga mencari solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah di awal. Kedua adanya nuansa, berusaha memperoleh versi kebenaran terbaik yang dapat diperoleh dengan melihat dunia dari berbagai perspektif yang berbeda. Ketiga pelibatan kelompok yang rentan dan terpinggirkan (ruang demokratis), maka dalam sebuah berita tidak boleh ada satu pun yang dilibatkan dalam berita tapi tidak diwawancara, karena akhirnya akan menghasilkan asumsi dan berujung polarisasi.
Aqwam Fiazni Hanifan, reporter dari Narasi turut berbagi salah satu beritanya yang dikemas dengan jurnalisme konstruktif, yakni tentang pencurian ikan di laut yang dilakukan oleh nelayan Filipina. Narasi memproduksi berita tersebut dengan data dan fakta yang sangat mumpuni, menawarkan solusi, mewawancarai berbagai pihak terkait, menciptakan nuansa di mana masyarakat diajak untuk turut serta dalam diskusi. Berita ini membawa perubahan di mana Indonesia membuka keran ekspor ke Filipina sehingga mereka dapat ikan tanpa mencuri dan Indonesia mendapat keuntungan dari kerja sama tersebut.
Selama training, peserta juga banyak sharing dengan Bagja Hidayat selaku praktisi yang lebih dulu mempraktikan jurnalisme konstruktif di Tempo. Bagja banyak berbagi terkait pembuatan Term of Reference sebelum proses peliputan, pemilihan narasumber, hingga produksi berita.
“Di sini saya belajar banyak, salah satunya tentang nuansa yang mampu memberi publik untuk menilai, itu yang paling penting yang saya pelajari. Wartawan kerja untuk publik, tapi bagaimana membuat publik cerdas menilai tidak semua bisa,” ujar Ipeh.
Merespon pentingnya media terlibat dalam pencegahan pemanasan global, Ipeh juga merasa bertanggung jawab untuk mengajak medianya dan para koleganya kalangan jurnalis di Maluku agar memotret dampak nyata perubahan iklim terhadap perempuan.
“Illegal logging, penggusuran hutan mangrove di Teluk Ambon untuk pembangunan, pendangkalan permukaan laut yang mengakibatkan rob, berakibat pada perempuan yang tidak bisa mengonsumsi air, karena bahaya bagi perempuan yang menyusui, menstruasi, dan melahirkan,” kata Ipeh.
Jurnalis diajak untuk terlibat dalam mengangkat isu masyarakat adat
Training Constuctive Journalism di Ambon menjadi bagian dari agenda The 6th International Conference on Indigenous Religion (ICIR 6) 2024. Koordinator ICIR 6 Dr. Samsul Maarif yang dihadirkan dalam training berharap agar media melalui karya-karya jurnalistiknya terlibat aktif dalam mengangkat persoalan masyarakat adat.
Kemendesakan ini ia majukan mengingat aturan-aturan nasional seperti KUHP baru yang akan berlaku pada Januari 2026 menunjukkan ketidakberpihakan negara terhadap masyarakat adat. Pada pasal “Living Law” KUHP baru, ungkap pria yang akrab disapa Anchu, negara tidak mempunyai rasa hormat terhadap martabat masyarakat adat.
“Negara bukan tidak bisa, tetapi tidak mau memberikan pengakuan yang setara yang memartabatkan masyarakat adat,” ujar Anchu yang menggawangi Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Begitupun persoalan turunan akibat perampasan lahan masyarakat adat yang ikut mempercepat pemanasan global atau perubahan iklim harus mulai banyak dilaporkan media. Isu tersebut berulang diangkat dalam konferensi internasional maupun diskusi terbatas bersama kalangan masyarakat adat dari Maluku, Talaud, dan Mentawai dalam rangkaian ICIR 6.
Karena itu, penting membangun kerja sama interseksionalitas dari berbagai kalangan, seperti akademisi, media, stakeholders, dengan masyarakat adat agar terjadi perubahan kebijakan yang tidak hanya menguntungkan penguasa dan kelompok dominan.
Lewat pendekatan mobilisasi legal, Anchu mengajak kerja sama akademisi dengan media untuk lebih dekat dan melakukan engagement dengan masyarakat adat dan para penganut agama leluhur sebagai subjek bermartabat.
Maka, lanjut Anchu, mengawal kebijakan pemerintah dan terlibat dalam proses demokrasi keseharian yang hidup di kalangan masyarakat adat menjadi kemestian agar lembaga adat beserta tanah mereka menjadi subjek hukum yang berkeadilan dan selaras dengan hak asasi manusia (HAM). Ia pun mengevaluasi kalangan akademisi yang sebelumnya melakukan kesalahan yang kemudian belajar dan mengakui dosa atas pendekatan ‘ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan’ karena menjadikan masyarakat sekadar objek.
Anchu kemudian mengajak agar para jurnalis dan media-media arus utama, agar ketika meliput lebih dekat lagi dalam memberi perhatian dan terlibat dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat.
Kekeliruan para akademisi ketika melakukan penelitian tentang masyarakat adat ataupun agama-agama leluhur yang kian tergusur dengan menggunakan pakem ‘ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan’, tegas Anchu, agar tidak dilakukan juga oleh kalangan media: ‘jurnalisme untuk jurnalisme’.
“Media tidak mempraktikkan ‘jurnalisme untuk jurnalisme,’ tetapi lebih dekat dan terlibat dengan masyarakat adat beserta isu, tantangan, dan aspirasi-aspirasinya,” harap Anchu.
Bagaimana jurnalisme konstruktif dapat menjadi ruang aman bagi masyarakat adat di Maluku?
Maluku merupakan salah satu wilayah yang kaya dengan keberagaman dari masyarakat adat, sayangnya mereka adalah komunitas rentang yang termarginalkan oleh publik, media, bahkan negara. Terutama ketika berkaitan dengan pengambilalihan lahan yang sangat memengaruhi ruang hidup masyarakat adat. Tidak hanya mata pencaharian, praktik peribadatan mereka juga terganggu akibat deforestasi hutan. Jurnalisme konstruktif kemudian hadir menawarkan media menjadi ruang aman bagi masyarakat adat dengan peliputan berita yang berimbang, berbasis data, memberikan solusi, dan menghadirkan keterwakilan masyarakat adat itu sendiri untuk bersuara di media.
Peserta training kemudian berkomitmen untuk mulai menciptakan ruang aman bagi masyarakat adat, khususnya di wilayah Maluku. Menjadikan mereka sebagai subjek berita dalam jurnalisme konstruktif agar pemberitaan terhadap masyarakat adat tidak lagi sebatas rumor yang akan menambah stigma kepada masyarakat adat.
Demi turut mendorong terciptanya engagement media dengan masyarakat adat, Eva Danayanti sebagai Program Country Manager Indonesia di IMS menegaskan bahwa lembaganya sangat terbuka terhadap media-media yang tertarik dan hendak bekerja sama menerapkan jurnalisme konstruktif untuk mengangkat isu-isu masyarakat adat. Eva bahkan menyampaikan bahwa IMS menyediakan dana terbatas bagi media-media yang mau melakukan kolaborasi liputan tentang masyarakat adat, terlebih isu-isu perempuan adat.
“IMS terbuka dan memberi kesempatan bagi media-media yang akan berkolaborasi meliput masyarakat adat dengan pendekatan jurnalisme konstruktif. Kolaborasi ini dilakukan bersama TEMPO dan liputannya juga akan dinaikkan bersama. Kami menyediakan empat program beasiswa liputan kolaborasi yang masing-masing dananya 8 juta,” terang Eva. [Ist]