Diskriminasi atas nama agama di banyak wilayah di Indonesia adalah hal lumrah, normal. Ini fakta yang sangat ironis. Mari tengok praktik-praktik diskriminasi di dunia pendidikan di Aceh, Sumatera Barat (Sumbar), Riau, Maluku, dan Kalimantan Timur.
Negara yang tidak hadir untuk berkomitmen mengakhiri praktik diskriminasi terhadap umat Kristen, Katolik, dan agama minoritas lainnya di Aceh Singkil, misalnya, sampai menemui titik jenuh di kalangan yang selama ini berjuang untuk mendapatkan hak-haknya. Setelah berpuluh tahun diskriminasi pendidikan agama di Aceh Singkil, sempat muncul polemik menjelang Paskah 2016 pada era Menteri Pendidikan Anies Baswedan, ketika SEJUK mengangkatnya, kemudian mendapat reaksi dari pemerintah pusat dan kini menjadi ‘normal’ lagi.
“Sudah jenuh! Protes pun tak berubah, sendirian pula. Sampai hari ini di Aceh Singkil tidak satu pun sekolah yang menyediakan Pendidikan Agama Kristen dan gurunya, meskipun di beberapa sekolah ada yang muridnya mayoritas Kristen,” keluh Boas Tumangger, Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas), baru-baru ini (3/12).
Sebelumnya, salah seorang ibu beragama Kristen, Dita, menjelang Paskah 2016 dengan mata membasah dan menahan amarah ia mencurahkan situasi pendidikan agama di sekolah-sekolah Aceh Singkil kepada SEJUK.
“Dari SD sampai SMA semua peserta didik yang beragama Kristen diwajibkan ikut pelajaran agama Islam,” ungkap Dita.
Semua peserta didik Kristen, lanjut Dita, mendapat perlakuan berbeda dengan siswa muslim setiap pembagian rapot. Kendati banyak siswa-siswi Kristen belajar keras dan nilai-nilai harian Pendidikan Agama Islam jika dirata-rata bisa mencapai di atas tujuh, tetapi oleh pihak sekolah di rapot tak pernah diberi nilai lebih dari angka 6.
“Bagaimana bisa anak-anak Kristen dapat ranking kalau sekolah-sekolah di Aceh Singkil menerapkan aturan seperti ini?” protes Dita.
Akibatnya, tak sedikit warga Aceh Singkil lainnya yang beragama Kristen dan Katolik melanjutkan jenjang SMA ke Sidikalang, Sumatera Utara, agar mendapat pelajaran agama Kristen dan tidak dibebani 5 pelajaran yang bukan kebutuhan mereka. Hal tersebut disampaikan Kevin Padang, jemaat Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).
“Sakit hati jika teringat masa-masa sekolah di Aceh Singkil. Saya terpaksa mengikuti 5 pelajaran yang tidak terkait dengan kebutuhan saya dan kawan-kawan saya yang beragama Kristen,” kenang Kevin.
Lima pelajaran itu, menurut Kevin, adalah Pendidikan Agama Islam, al-Quran dan al-Hadits, Akhlaq dan Budi Pekerti (versi Muslim), Baca dan Tulis Arab Melayu, dan Bahasa Aceh (sementara Aceh Singkil itu terdiri dari mayoritas dengan suku Pakpak dan Singkil, yang masing-masing bahasanya berbeda dengan bahasa Aceh).
Tak terkecuali siswa-siswi Kristen di Sumatera Barat (Sumbar). Pada 5-8 November 2024 Pelita Padang dan PBHI Sumbar menghimpun data kebebasan beragama atau berkepercayaan di Pesisir Selatan.
“Kami mendapatkan fakta bahwa selain siswi Kristen di sekolah-sekolah di Kabupaten Pesisir Selatan dipaksa mengenakan jilbab, siswa-siswi pun harus mengikuti Pendidikan Agama & Budi Pekerti dengan baca dan tulis Al-Quran serta praktik salat dengan tata cara dan bacaannya yang benar agar bisa naik kelas dan lulus sekolah,” papar Ketua Pelita Padang Angelique Maria Cuaca.
Fakta serupa dialami para peserta didik Kristen dan penghayat kepercayaan di Riau.
“Anak-anak kami banyak yang tidak mendapatkan Pendidikan Agama Kristen bahkan dipaksa mengikuti pelajaran agama Islam. Ini sangat kami sesalkan,” ujar perempuan pemeluk Kristen yang tergabung dalam Asosiasi Pendeta Indonesia (API) di Riau dan tidak mau disebut namanya.
Diskriminasi berbasis agama di dunia pendidikan Riau juga sudah berlangsung sangat lama.
“Terutama sejak pascareformasi sampai hari ini, penguatan identitas Riau sebagai Islam masuk ke dunia pendidikan. Normalisasi pemaksaan pelajaran agama Islam ke siswa-siswi non-muslim dialami para penghayat seperti Talang Mamak dan suku Anak Rawa,” jelas Muhamad Ansar dari Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Sultan Syarif Kasim Riau yang sedang meneliti dan mendampingi penghayat kepercayaan leluhur suku Anak Rawa di Siak.
Nasib komunitas-komunitas penghayat di Maluku juga sama. Salah satunya Masyarakat adat Naulu, yang kolom agama di KTP-nya tertulis Hindu, padahal mereka pemeluk agama leluhur, bukan Hindu.
“Di sekolah anak-anak kami hanya diberikan pilihan pelajaran agama Islam atau Kristen,” ungkap Aharena Matoke, perempuan adat Naulu, saat Konferensi Pers di IAKN Ambon yang digelar SEJUK dengan panitia konferensi ICIR 6 (23 Oktober 2024).
Bahkan di provinsi yang menjadi Ibu Kota Nusantara tidak luput praktik diskriminasi serupa.
“Dalam dunia pendidikan, diskriminasi terhadap siswa dari kelompok agama minoritas masih banyak terjadi terkait pelajaran agama yang sering tidak tersedia atau diharuskan mengajar di luar jam sekolah. Bahkan, jika ada pembelajaran pendidikan agama Krirsten, misalnya, tidak diberi ruangan yang layak,” ungkap Hendra Kusuma, pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) yang aktif dalam gerakan lintas iman di Kaltim.
Karena itu, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru Muhammad Mukhlisin sangat mencemaskan fakta-fakta pendidikan yang diskriminatif, jauh dari semangat memerdekakan, dan melanggar konstitusi. Sebab, memaksa para peserta didik mengikuti pendidikan pelajaran agama lain jelas melanggar kebebasan beragama.
“Tindakan memaksa siswa non-muslim untuk mengikuti pelajaran agama Islam jelas melanggar Pasal 28E UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama. Setiap individu berhak memilih dan memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing tanpa adanya paksaan,” tegas Mukhlisin.
Praktik pemaksaan itu, lanjut Mukhlisin, melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyatakan, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”
Karena itu, Yayasan Cahaya Guru mendorong para stakeholder pendidikan memberikan hak pendidikan agama kepada setiap murid, sekolah dapat bekerjasama dengan komunitas agama atau masyarakat di sekitar sekolah.
SEJUK sebagai bagian dari Gugus Tugas Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan (Task Force KBB) berharap kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Abdul Mu’ti untuk menghentikan praktik-praktik tidak adil di dunia Pendidikan di Indonesia.[]