Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan tidak mengizinkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk menggelar Jalsah Salanah (temu nasional tahunan) di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat, pada 6-8 Desember 2024. Pernyataan resmi tersebut disampaikan Penjabat Bupati Kuningan Agus Toyib setelah menggelar rapat koordinasi dengan Forkopimda yang melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat penentang Jalsah Salanah (4/12).
Kelompok penentang pertemuan tahunan JAI ini adalah Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan yang terdiri dari FPI, Persada 212, Ormas Pagar Akidah (Gardah), dan beberapa kelompok kecil yang berafiliasi dengan mereka. Ironisnta, bukan melindungi hak-hak dan kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan ekspresi damai para jemaat yang sejatinya dijamin oleh konstitusi, Forkopimda Kabupaten Kuningan justru merespons dan memenuhi tuntutan kelompok penentang dengan melarang Jalsah Salanah 2024 di Manislor, Kuningan.
Tindakan Pemkab Kuningan melarang Jalsah Salanah jelas melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan.
Padahal, Jalsah Salanah Ahmadiyah adalah bentuk kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Terhadap pelarangan Jalsah Salanah 2024, Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengecam keras Forkopimda Kabupaten Kuningan. Menurut Halili, pelarangan tersebut merupakan ekspresi terbuka pelanggaran atas konstitusi negara.
“Pelarangan Jalsah Salanah jemaat Ahmadiyah oleh Pemkab Kuningan adalah bentuk ketundukan yang nyata terhadap tekanan kelompok intoleran. Sikap pemerintah ini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya pelanggaran atas hak beragama bagi JAI, khususnya di Jawa Barat,” ungkap Halili berbasis pada hasil riset SETARA Institute tentang Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan sejak tahun 2007.
“SETARA Institute mendesak pemerintah pusat, khususnya melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama, untuk mengoreksi sikap Pemkab Kuningan terkait pelarangan kegiatan Jalsah Salanah 2024. SETARA Institute juga mendorong Kepolisian RI melalui aparat kepolisian setempat untuk memobilisasi sumber daya aparat dalam rangka memberikan jaminan keamanan dalam penyelenggaraan Jalsah Salanah 2024 di Kuningan, baik sebelum, selama, dan setelah penyelenggaraan kegiatan Jalsah Salanah,” tegas Halili.
Karena itu, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) mengajak setiap warga negara yang baik, pengamal prinsip Bhinneka Tunggal Ika, mari bersama-sama menuntut Menteri Agama Nasaruddin Umar yang dikenal sangat progresif dalam memajukan toleransi dan dialog lintas iman untuk mengupayakan dan memastikan agar agenda Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menggelar Jalsah Salanah 2024 di Manislor, Kuningan, Jawa Barat, tetap berjalan dengan penuh khidmat dan perdamaian yang bermartabat.
Yang lebih mendasar lagi, Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Nasaruddin Umar harus serius memfasilitasi hak dan kebebasan bergama atau berkeyakinan dan berkepercayaan setiap orang, tanpa mengecualikan mereka yang dari kalangan rentan dan marginal. Maka, SEJUK juga mendesak Menteri Agama Nasaruddin Umar bertanggung jawab untuk memimpin pencabutan SKB Tahun 2008 tentang Ahmadiyah yang diskriminatif dan menjadi dasar bagi pemerintah-pemerintah daerah berlaku tidak adil serta memprovokasi warga untuk bertindak intoleran terhadap jemaat Ahmadiyah.
Saatnya Nasaruddin Umar bertindak nyata menghentikan praktik-praktik diskriminasi yang melukai dan menginjak hak-hak beragama atau berkeyakinan warga maupun kelompok marginal di Indonesia.[]
***
Keterangan Cover: bangunan masjid milik Ahmadiyah di Desa Manis Kidul, tetangga Desa Manislor, Kuningan, yang diserang dan dibakar oleh kelompok intoleran.