Bermula dari pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024, T, salah seorang yang mengaku sebagai intel Badan Intelijen Negara (BIN), mengintimidasi ketua dan sekretaris Sekolah Perempuan di Morotai. Pada 23 Oktober 2024 T menekan sekolah perempuan dari komunitas akar rumput di Morotai, Maluku Utara, lewat upaya kontrol dan mendesak mereka untuk menyampaikan ucapan selamat atas pelantikan Prabowo sebagai presiden dengan video.
“Kami tidak merasa perlu membuat video tersebut, karena kami sudah mengakui Bapak Prabowo sebagai Presiden terpilih sesuai keputusan KPU,” ungkap Juniar yang sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perempuan dan Anak Morotai.
Cerita penolakan terhadap permintaan yang intimidatif oleh seseorang yang mengaku intel ini disampaikan Juniar kepada kalangan media nasional dan lokal dalam diskusi terbatas bertema “Kekerasan Struktural terhadap Perempuan terus Meningkat, di Manakah Peran Media?” yang digelar Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di bilangan Menteng, Jakarta pada 11 Oktober 2025.
Pemerintah Setengah Hati Hentikan Kekerasan tehadap Perempuan
Sementara itu, salah seorang anggota sekolah perempuan di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami kekerasan hingga patah tulang hidung, karena dilempar batu oleh petugas pengelola dapur Makan Bergizi Gratis (MBG). Niat baiknya bekerja membantu agar MBG tidak lagi meracuni anak-anak sekolah, seperti sebelumnya telah menimpa sekolah di NTT, tetapi dirinya justru mengalami eksploitasi, karena durasi bekerja setiap harinya sangat panjang, hanya mendapat upah 100.000 per hari. Bahkan ia pun mendapat kekerasan, baik fisik maupun verbal dan mental.
“Korban mengalami intimidasi dari pihak keamanan, sehingga tidak berani mengadu ke aparat. Karena itu kami mau pemerintah dan aparat menindak pelaku dan memberikan keadilan pada korban,” harap Koordinator Program Perkumpulan Pendidikan Penguatan Kepemimpinan Perempuan dan Masyarakat (PEKA-PM) Kupang Enny Bolu.
Penumpahan harapan Enny Bolu maupun kesaksian Juniar di atas mereka paparkan secara online kepada para peserta dari media yang terlibat diskusi terbatas secara offline. Kompas TV, CNN TV, Tempo, Pikiran Rakyat, Suara.com, IDN Times, Elshinta, KBR, dan Bogor Kita. Secara umum, media-media nasional online, TV, dan radio tersebut masing-masing mempunyai jaringan luas yang mencapai hingga ratusan media di seluruh Indonesia.
Dari provinsi yang secara politik dikuasai para tuan guru, komunitas sekolah perempuan menyesalkan pemangkasan anggaran program pencegahan dan perlindungan kekerasan terhadap perempuan oleh pemerintah.
“Tingginya angka perkawinan anak sampai kekerasan terhadap perempuan yang bahkan menyebabkan pembunuhan terhadap perempuan di NTB, seolah bisa diselesaikan pemerintah dengan bantuan sosial, dengan memberi sembako,” protes Koordinator Program Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Nusa Tenggara Barat (NTB) Lulu Fajriani karena marah dengan kondisi kekerasan terhadap Perempuan yang terus memburuk.
Lulu Fajriani yang terlibat aktif dengan komunitas akar rumput di Lombok ini tidak lelah memprotes peleburan Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak ke Dinas Sosial, karena berdampak pada minimnya anggaran Pemerintah Provinsi NTB untuk serius menjalankan program pencegahan, penanganan, dan pemulihan kekerasan terhadap perempuan. Baginya, pemerintah gagal melakukan program pengarusutamaan keadilan gender dan upaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat. Kendati sekolah perempuan di Lombok bersama aliansi perempuan dan anak menentang kebijakan ini dengan audiensi dan demonstrasi ke gubernur dan DPRD, lanjut Lulu, tetapi pemerintah daerah tetap bungkam.
Pengaduan kekerasan struktural terhadap perempuan pada rezim Prabowo dari wilayah Morotai, NTT, dan NTB hanyalah segelintir potret pengebirian demokrasi yang sehari-hari dihidupi komunitas perempuan di akar rumput, lantaran kecenderungan pengelolaan negara yang otokratis dengan “pendekatan keamanan” yang militeristik dan arogan, dari tingkat lokal sampai nasional.
Ketiga sekolah perempuan ini hanya bagian dari 12 kota dan kabupaten yang menjadi wilayah dampingan Institut KAPAL Perempuan yang memberikan kesaksian mereka kepada kalangan media. Perwakilan sekolah-sekolah perempuan dari 12 kota dan kabupaten tersebut juga tergabung dalam diskusi terbatas ini secara online.
Menimbang Pengaruh Media
Lulu Fajriani, Enny Bolu, dan penggerak sekolah perempuan lainnya menginginkan agar diskusi dengan kalangan media untuk membangun ruang bagi perempuan melalui pemberitaan tidak hanya dilakukan secara nasional di Jakarta, tetapi juga dilakukan di masing-masing daerah seperti Kupang, Lombok, dan wilayah dampingan KAPAL Perempuan lainnya. Sebab, peran media sangat dibutuhkan agar aspirasi dan perjuangan perempuan dapat mengubah kebijakan-kebijakan yang masih diskriminatif.
Direktur Eksekutif Institut KAPAL Perempuan Budhis Utami berharap agar terbangun kerja sama antara media dengan komunitas atau sekolah-sekolah alternatif yang digerakkan perempuan akar rumput. Budhis menaruh harapan, melalui pertemuan ini ke depannya Institut KAPAL Perempuan akan melibatkan media dalam perjuangan-perjuangan komunitas perempuan di daerah-daerah dalam menghidupkan kesetaraan dan prinsip-prinsip toleransi.
Bagaimanapun, lanjut Budhis, selain tantangan-tantangan penerapan perda bernuansa syariah dan etnis yang diskriminatif terhadap perempuan dan mereka yang rentan sejak era otonomi daerah, perjuangan sekolah perempuan di tingkat lokal juga melahirkan para pemimpin perempuan dengan inisiatif-inisiatif inspiratifnya di berbagai daerah yang masyarakatnya sangat patriarkis, konservatif secara agama maupun adat, seperti Sumatera Barat dan NTB.
Untukitu, sekolah perempuan dan pemimpin perempuan dampingan Institut KAPAL Perempuan memperjuangkan nilai-nilai feminis dan prinsip pluralisme agar diterapkan dalam setiap kebijakan pemerintah. Kesadaran dan komitmen dalam advokasi memperjuangkan kedua prinsip tersebut telah dibangun oleh para pemimpin perempuan dengan mengakses ruang-ruang politik lokal dari tingkat bawah, lingkungan di kampung atau desa sampai kabupaten dan provinsi. Bahkan, menurut Budhis, Institut KAPAL Perempuan memfasilitasi sekolah-sekolah perempuan akar rumput untuk menyampaikan aspirasi mereka dalam pertemuan nasional.
“Tahun ini sekolah-sekolah perempuan dari pelosok desa dampingan KAPAL Perempuan mengikuti musyawarah nasional yang melibatkan 3.000 peserta. Ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk menyampaikan secara langsung perjuangan mereka ke para pemegang kebijakan nasional,” papar Budhis menjelaskan forum nasional yang digelar KAPAL Perempuan sebagai ruang untuk menyampaikan masukan-masukan dari perempuan akar rumput untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Berkaca pada pentingnya agenda-agenda politik dan berbagai cerita baik sekolah perempuan di banyak daerah, Institut KAPAL Perempuan berpandangan bahwa kuatnya pengaruh media dalam mengawal kepentingan publik sangat dibutuhkan untuk mengangkat suara-suara dan partisipasi perempuan komunitas akar rumput dalam mengkonsolidasikan demokrasi yang berkeadilan gender. KAPAL Perempuan akan mendesain teknis kerja sama komunitas dan sekolah perempuan dengan kalangan media, agar kekutan perjuangan perempuan lebih mendapat perhatian dari media sehingga memberi tekanan dan pengaruh yang kuat terhadap pemerintah.
Kolaborasi Media dengan Sekolah Perempuan
Direktur Eksekutif SEJUK, Neneng Mila Nurhamidah, dalam sambutan FGD media ini menyampaikan bahwa peran media tidak berhenti pada peliputan semata, tetapi juga membangun kesadaran publik dan mendorong perubahan sosial.
“Media punya peran strategis untuk menyoroti kekerasan struktural terhadap perempuan, bukan sekadar memberitakan kasus, tetapi mengungkap akar persoalan dan mendorong tanggung jawab negara,” ujarnya.
Ia juga menegaskan pentingnya jurnalisme berperspektif korban dan berkeadilan gender dalam konteks demokrasi yang tengah melemah.
Menanggapi seluruh situasi yang dihadapi komunitas dan pemimpin perempuan di tingkat lokal, para jurnalis dari berbagai media membagikan tantangan mereka dalam meliput isu-isu sensitif tentang kekerasan terhadap perempuan. Lia dari IDN Times menekankan perlunya koordinasi dan komunikasi yang lebih erat antara media dengan komunitas dan jaringan gerakan perempuan untuk mengangkat kasus-kasus kekerasan perempuan yang sensitif dan kerap luput dari sorotan publik. Karena itulah, Widya dari KBR mendorong kolaborasi media dengan komunitas akar rumput agar media dapat menjadi corong suara kelompok rentan.
Dinda dari Tempo mengungkapkan sulitnya mengakses informasi lapangan karena ketatnya kontrol dan intervensi negara.
“Kami selalu merasa penting berkolaborasi dengan komunitas dan sekolah perempuan agar akses media pada sumber data, fakta, dan bagaimana merumuskan pemberitaan isu hak-hak perempuan menjadi lebih mudah, kuat, dan menarik,” kata Dinda.
Sementara Asep dari Suara.com menegaskan kebutuhan saling memahami antara media dan organisasi masyarakat sipil atau NGO yang bergerak memperjuangkan hak-hak dan aspirasi perempuan agar terjadi kerja sama yang saling menguntungkan. Bagaimanapun, lanjut Asep, media adalah industri.
“Lalu teman-teman NGO bertanya, di mana peran media atas situasi atau persoalan-persoalan yang sedang dihadapi publik? Sementara, media (banyak) sudah mati, karena revenue digitalnya sudah tidak bisa menghidupi lagi,” protes Asep merefleksikan kondisi industri media yang sulit saat ini serta upaya menjaga relasi media dengan komunitas dan gerakan masyarakat sipil.
Rekomendasi
Asep pun menyarankan agar mulai membangun bentuk relasi yang saling memahami kebutuhan masing-masing di kalangan komunitas dan NGO dengan yang sedang dihadapi media agar terumuskan program atau kegiatan kolaborasi yang saling menghidupi, menguntungkan satu sama lain. Sebab, komunitas dan NGO pun perlu mengetahui landscape media.
Di satu sisi, media sedang dituntut kreatif agar tetap bertahan, di antaranya dengan lebih dekat dan tahu audiensnya masing-masing. Pada sisi lainnya, gerakan masyarakat sipil, termasuk sekolah-sekolah perempuan membutuhkan media agar hak-hak dan aspirasinya disuarakan lebih kuat untuk mengubah kebijakan publik dan aturan yang diskriminatif, menyingkirkan perempuan.
“Ayo kita ketemu membahas Diversity Day dan International Women’s Day (IWD), misalnya, sebagai langkah untuk nantinya membangun kerja sama jangka panjang,” ajak Asep. Di penghujung proses FGD, terdapat poin-poin yang terefleksi untuk dirumuskan bersama. Pertama, membuat pertemuan rutin antara media dengan komunitas atau NGO sebagai ruang untuk saling membangun kerja sama. Kedua, menggelar diskusi tentang tantangan dan potensi landscape media dan di wilayah mana media menjadi kekuatan untuk menyuarakan perjuangan perempuan. Ketiga, kebutuhan perjumpaan media dengan komunitas dilakukan di daerah-daerah, tidak hanya di Jakarta. Keempat, merealisasikan kerja sama media dengan gerakan perempuan dalam momentum-momentum yang relevan bagi perjuangan perempuan, seperti IWD






