JEMAAT Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Kota Bogor belum bisa beribadah di gerejanya. Padahal Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta memenangkan GKI Yasmin dalam sengketa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang berbuntut penyegelan Gereja.
Tak cukup itu, Mahkamah Agung (MA) melalui keputusan Nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010 juga telah menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Pemerintah Kota Bogor terkait izin mendirikan bangunan (IMB) GKI Yasmin. Namun Wali Kota Bogor justru meresponsnya dengan menerbitkan SK Nomor 645.45-137 tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin pada 11 Maret 2011. Pemkot beralasan, ada pemalsuan tanda tangan oleh Ketua RT setempat dalam pengajuan IMB.
Sebagai penguat MA dan PTUN, Ombudsman RI pun mengeluarkan rekomendasi dengan nomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada 8 Juli 2011 tentang pencabutan keputusan Wali Kota Bogor tentang IMB GKI Yasmin. “Namun tak ada satu pun kekuatan negara yang mampu mengeksekusi amar putusan hukum tersebut,” ujar Juru Bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging.
Senasib dengan rekan seagamanya di Bogor adalah Jamaah Gereja HKBP Philadelpia di Ciketing Bekasi. Lebih dari itu, sengketa pembangunan Gereja HKBP Philadelpia Ciketing berbuntut dakwaan tindak pidana ringan (Tipiring) terhadap Pendeta Palti Panjaitan. Awalnya, tuduhan yang disangkakan pada pria berjenggot tersebut adalah pelanggaran tindak pidana Pasal 335 dan 352 KUHP (penganiayaan ringan dan perbuatan tidak menyenangkan) terhadap Abdul Azis, pada malam Natal, 24 Desember 2012 di Desa Jejalenjaya, Kecamatan Tambun Utara. “Namun lantaran tak cukup bukti, berkas dakwaan saya dikembalikan oleh jaksa kepada penyidik,” ujarnya.
Pelanggaran hak kebebasan beragama tak cuma soal rumah ibadat. Kantor catatan sipil tak mampu mengeluarkan akta pernikahan pemeluk agama Bahai lantaran agama tersebut tak diakui Negara. “Dalam akta lahir anak-anak kami, tertulis ‘anak lahir di luar nikah’. Padahal kami sudah menikah secara sah menurut agama,” ujar Sheila Soraya. Saat meninggal, demikian perempuan berdarah India itu menuturkan, penguburan saudara seagamanya kerap dipersulit lantaran adanya stigma bahwa agama tersebut merupakan aliran sempalan agama tertentu yang sesat.
Keluh kesah tersebut terlontar dalam acara curah pendapat kelompok minoritas yang digelar oleh Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian, di Jakarta, Sabtu petang (28/12) lalu. Namun sejatinya tak semuanya mengeluh. Syarifuddin, juru bicara Ahlul Bait Indonesia (ABI) bersyukur, kini umat muslim penganut Syiah di Sampang Madura secara perlahan dapat kembali pulang ke kampung halaman. Akibat konflik yang meletus pada akhir 2011 dan pertengahan 2012, ratusan penganut Syiah terusir dari tanah kelahirannya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang.
“Perkembangan proses rekonsiliasi cukup menggembirakan. Kedua belah pihak yang bertikai (warga muslim sunni dan syi’i) sebagian sudah menandatangani piagam damai. Mereka bertekad memutus rantai dendam. Muslim syi’i tak mau lagi menyinggung hal-hal sensitif terkait agama seperti menghina sahabat Nabi,” ucap Syarif. ABI adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang menaungi penganut Syiah di Indonesia.
Adalah Koordinator Utama Jaringan Gusdurian, Alissa Qathrunnada Wahid yang menghadirkan para “korban” pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Putri sulung Presiden RI keempat KH. Abdurrahman Wahid ini ingin memberi kesempatan bicara kepada semua orang yang hak-hak kewarganegaraannya terenggut. “Kami ingin meneruskan cita-cita Gus Dur yang getol membela kelompok minoritas. Meski sebenarnya bukan minoritas atau mayoritas yang beliau bela, melainkan keadilan. Sebab siapa pun haram untuk ditindas,” kata Alissa.
Perlawanan terhadap penindasan, dalam hemat Alissa, adalah ajaran asasi seluruh agama. Karenanya siapa pun yang melanggengkan ketidakadilan, tak peduli mayoritas atau minoritas, harus dilawan. Jaringan Gusdurian, ungkapnya, berusaha memfasilitasi pertemuan antara korban-korban ketidakadilan dengan kelompok-kelompok sipil yang melakukan pembelaan untuk bertukar pikiran dan wacana. Dalam beberapa kesempatan, alumni Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta itu mengakui, harus melobi langsung pejabat-pejabat yang berwenang untuk tegas menegakkan amanat konstitusi negara Republik Indonesia.
Di sisi lain, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Nur Khoiron, menyebut, saat ini publik mesti berhadapan dengan situasi di mana lembaga-lembaga negara tak mengerti kewajibannya, demikian pun dengan aparatnya. Pria itu melihat, dalam sejumlah kasus penyegelan rumah ibadat dan bentrokan kelompok keagamaan, aparat kepolisian yang berjaga tampak gamang menjalankan tugasnya, sehingga tak mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat.
Pada saat bersamaan, Khoiron melanjutkan, pemerintah daerah, provinsi, dan pusat tak kuasa membendung desakan kelompok-kelompok keagamaan intoleran. “Karenanya kami butuh sumbangsih pemikiran untuk terus mengawal penegakan HAM di negeri ini. Tenaga kami terbatas namun semangat kami sangat luas,” ujar mantan Direktur Eksekutif Desantara Institute itu.
Syafiq | Wisnu
Sumber: http://kabar3.com/blog/2013/12/negara-abai-kebebasan-beragama-terenggut#.UsT9r9IW2es