
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir membuat pernyataan diskriminatif dalam cuitannya pada 23 Januari 2016 yang mengatakan, kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) dilarang masuk kampus karena dapat merusak moral bangsa, mengingat kampus adalah penjaga moral yang semestinya harus menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Pelarangan dan ancaman penindakan tegas aktivitas LGBT di dunia maya juga diusung oleh pejabat publik lain yaitu Walikota Bandung, Ridwan Kamil.
Meski sudah mengklarifikasi pernyataannya, komentar yang datang dari otoritas politik bisa menjadi peluang terjadinya ujaran kebencian (hate speech) terhadap kelompok LGBT. Pernyataan ini, menjadi semacam surat perintah untuk presekusi terhadap kelompok LGBT. Apa yang dilakukan oleh Front pembela Islam (FPI) yang ikut bersama polisi dalam operasi yustisia dengan melakukan berbagai sweeping tempat kos mencari kelompok LGBT di Bandung pada Senin (25/1) adalah salah satu contoh nyatanya.
Menurut KUHP (pasal 310-321), ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang berbentuk antara lain; penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong.
Dalam Surat Edaran Kapolri (SE/6/X/2015) tentang penanganan ujaran kebencian disebut bahwa ujaran kebencian ini bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas, termasuk orientasi seksual (poin 2 (g) no. 11). Di titik inilah, SE Kapolri ini duji. Apakah SE ini mampu berperan untuk menangkal terjadinya ujaran kebencian terhadap suatu kelompok dalam hal ini LGBT.
Polisi seharusnya mampu mengusut apa motif dari pernyataan para pejabat publik tersebut. Mengingat, ujaran kebencian bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan yaitu genosida terhadap kelompok yang menjadi sasaran ujaran kebencian.
Kelompok LGBT di Indonesia, kerap menjadi korban kekerasan dan diskriminasi. Bahkan, terdapat beberapa peraturan daerah (perda) yang mengkriminalisasi LGBT, seperti di Padang Pariaman, Padang Panjang, Sawahlunto/ Sijunjung dan Banjar.
[Daniel Awigra]