Rabu, Juli 2, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Dari Gafatar ke Ahmadiyah: Dampak Berita terhadap Pengusiran Warga

by Redaksi
03/02/2016
in Uncategorized
Reading Time: 3min read
Dari Gafatar ke Ahmadiyah: Dampak Berita terhadap Pengusiran Warga
Share on FacebookShare on Twitter

Ahmadiyah BangkaMedia massa ramai-ramai mengemas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dengan label sesat dan tuduhan menggunakan metode perekrutan dengan cuci otak kepada para pengikutnya. Pemberitaan semacam itu mulai gencar 10 Januari 2016, terutama setelah ditemukannya dr Rica yang sejak 30 Desember 2015 dinyatakan hilang. Setiap orang hilang segera diberitakan karena bergabung dengan Gafatar.

Tanpa sedikitpun ruang klarifikasi dari pihak (pengurus) mantan Gafatar, kelatahan media tersebut berakibat pada tragedi kemanusiaan. Pemberitaan sepihak menyulut amarah massa yang berujung pada pengusiran dan pembakaran rumah-rumah warga mantan Gafatar, yang di dalamnya juga terdapat ana-anak dan kaum perempuan, dari dua desa di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (18/1/2016). Pengusiran pun merembet ke daerah Kalimantan lainnya disertai gelombang penolakan masyarakat untuk menerima warga mantan Gafatar.

Belum selesai dampak dari pengusiran tersebut, cara-cara media mengobarkan kebencian dan amarah massa kembali terulang. Giliran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kabupaten Bangka yang menjadi sasaran.

Salah satu media lokal yang tergabung dengan jaringan media nasional ternama paling keras memberitakan polemik Ahmadiyah di Srimenanti, Sungailiat, Bangka. Pada permulaan polemik, sebuah lembaga penyiaran milik pemerintah juga berkali-kali mewartakan. Penggunaan diksi yang menghakimi dan pemilihan narasumber-narasumber yang provokatif kental mewarnai pemberitaan dari kedua media dengan sangat tendensius: pengusiran Ahmadiyah dari Bangka. Serupa kasus Gafatar, pemberitaan-pemberitaan di media ini tidak pernah memberi ruang bagi Ahmadiyah menyuarakan hak-haknya.

Media Kontrol Kelaliman Negara

Apabila mengacu pada rumusan jurnalisme Bill Kovach dan Tom Resentiel, pemberitaan terhadap Gafatar dan Ahmadiyah Bangka tidak lain bentuk pengingkaran pada dua dasar jurnalistik. Pertama, pengabdian jurnalis kepada warga, bukan pada penguasa yang merampas hak-hak sipil. Kedua, fungsi kontrol atas penguasa yang dzalim, diskriminatif.

Bagaimanapun, hak setiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan dijamin Konstitusi (Pasal 29 ayat 1 & Pasal 28E ayat 2). Jaminan yang sama termaktub dalam instrumen HAM Pasal 18 ayat 1 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), karena Indonesia telah meratifikasinya dan sebagai negara anggota PBB pemerintah berkewajiban mematuhi.

Demikianpun kebebasan warga memilih tempat tinggal beserta hak-hak pribadi dan propertinya, tanpa dicampuri atau diganggu secara semena-mena atau tidak sah, harus dijamin dan dilindungi negara beserta aparatnya. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 serta Pasal 12 dan 17 ICCPR.

Alih-alih hanya mengutip dan melegitimasi kebijakan aparat pemerintah yang inkonstitusional dan melanggar HAM, jurnalis mesti lantang menyuarakan tuntutan pada negara agar tidak satu pun hak-hak dan kebebasan warga dirampas.

Ada satu kali laporan, dari seluruh warta tentang Ahmadiyah yang dibuat media lokal di atas, tampak beda. Media tersebut berkabar dengan mengutip Ketua GP Ansor Bangka (31/1/2016). Di situ sebagai pilar keempat demokrasi media ini mencoba menghidupkan daya kritisnya dengan mengambil peran mengawal keadilan dan melawan kelaliman penguasa atas hak-hak setiap warga negara yang patuh terhadap hukum, sama sekali bukan pelaku kriminal atau penggelap uang rakyat. Pemberitaan dengan nada kritis inilah yang perlu terus dikembangkan.

Kritisisme Media dan Peran Lembaga Payung Pers

Untuk itulah pakar komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando memberi penekanan pada pentingnya kritisisme jurnalis dan media dalam memberitakan konflik, terkhusus dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal tersebut ia sampaikan pada diskusi media yang digelar SEJUK (25/2016) ihwal kasus Gafatar di mana Ade menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan. Menurutnya, hal itu bisa terjadi lantaran hilangnya kritisisme media.

Verifikasi dan memberikan ruang yang lebih luang bagi suara korban dan minoritas dalam konflik atau kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi atas nama agama harus menjadi prinsip jurnalistik yang tidak boleh diabaikan demi menciptakan solusi konstruktif untuk mencapai perdamaian.

Ikhtiar ini diajukan Johan Galtung lewat gagasan peace journalism untuk mendorong media massa bertanggung jawab membangun dunia menjadi lebih harmonis dan damai.

Namun demikian, tuntutan mengembangkan jurnalisme damai terhadap insan pers di Indonesia perlu melibatkan publik. Maka dari itu, apabila mendapati pemberitaan yang berpotensi mencabut hak-hak beragama dan berkeyakinan warga, publik harus aktif melaporkannya sekaligus mengingatkan kepada Dewan Pers (DP) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sebab, mereka bertanggung jawab mengawasi setiap pemberitaan yang tidak sensitif terkait isu keagamaan yang hari-hari ini dampaknya sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat yang makin kehilangan rasa aman dan nyaman.

Sehingga, kedua lembaga payung pers ini harus benar-benar tegas memberikan sanksi terhadap media-media yang memprovokasi mengobarkan kebencian sehingga menggerakkan massa bertindak intoleran bahkan dengan kekerasan, sebagaimana menimpa warga mantan Gafatar.

Dengan keterlibatan media, lembaga payung pers, dan publik dalam menghidupkan jurnalisme damai yang menghargai keragaman agama dan keyakinan, semoga tragedi kemanusiaan yang menimpa warga mantan Gafatar tidak terulang di Bangka. Kritisisme media sangat dibutuhkan menggugat keputusan pengusiran jemaat Ahmadiyah di Srimenanti oleh Bupati Bangka dan jajarannya yang dijatuhkan pada tanggal 5 Februari 2016.

Mari bersama-sama mencegah terulangnya pengusiran warga, apa pun agama dan keyakinan mereka. (Thowik SEJUK)

Sumber: http://portalkbr.com/02-2016/dari_gafatar_ke_ahmadiyah__dampak_berita_terhadap_pengusiran_warga/78529.html

Tags: Headline
Previous Post

Implikasi Ujaran Kebencian Pejabat Publik pada LGBT

Next Post

5 Tahun Pasca Peristiwa Cikeusik

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
#JanganUsirAhmadiyah

5 Tahun Pasca Peristiwa Cikeusik

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In