
Sidang kasus dugaan penodaan agama dan makar eks petinggi Gafatar memasuki babak baru. Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan kepada eks petinggi Gafatar, yaitu Mahful Muis (eks Ketua Umum Gafatar), Abdussalam (alias Ahmad Mushaddeq), dan Andry Cahya pada sidang ke-22, Rabu sore (8/2/2017) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
“Kami JPU menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 1, Mahful Muis, dan terdakwa 2, Abdussalam, dengan pidana penjara masing-masing selama 12 tahun. Untuk terdakwa 3, Andry Cahya, dengan pidana penjara selama 10 tahun. Dengan dikurangi selama masa penahanan terdakwa, untuk itu kami meminta terdakwa tetap ditahan,” seru Ketua JPU, Abdul Rauf.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dikomandoi Abdul Rauf menyatakan ketiga terdakwa bersalah berdasarkan kesaksian sejumlah saksi fakta dan saksi ahli. Meski begitu, terdapat beberapa keterangan saksi yang tidak hadir dalam persidangan yang kemudian JPU hanya sempat membacakan BAP saksi-saksi tersebut, seperti dr. Rica. Sementara, para terdakwa menyatakan keberatan atas kesaksian tersebut di muka persidangan.
Fakta persidangan lainnya yang dikemukakan JPU antara lain adanya organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara (NKTN) dengan struktur yang jelas. Pengurus atau aparat dari kedua organisasi tersebut menjadikan Millah Abraham sebagai keyakinannya, karena menganggap ajaran Nabi Ibrahim adalah ajaran yang hanif (atau murni).
Terdakwa 1, Mahful Muis, terbukti pernah menjabat sebagai Ketua Umum Gafatar dan Wakil Presiden NKTN. Sementara terdakwa 2, Abdussalam atau yang lebih dikenal Ahmad Mushaddeq, merupakan guru spiritual bagi kedua organisasi tersebut. Sedangkan terdakwa 3, Andry Cahya, membenarkan bahwa dirinya pernah menjadi Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi DPP Gafatar dan Presiden NKTN.
Atas dasar fakta tersebut, JPU menganggap unsur-unsur pidana telah terpenuhi. “Praktis, NKTN tampak bermaksud menggulingkan pemerintahan,” ujar salah satu anggota JPU, Dicko, ketika membacakan tuntutan.
Meski tidak berada dalam struktur organisasi NKTN, Abdussalam dinilai ikut mendukung berdirinya NKTN yang memiliki program Kedaulatan Pangan. Sebab, Abdussalam kerap memberikan wejangan kepada eks Gafatar dan NKTN.
Ketiga terdakwa dianggap bersalah oleh JPU, karena turut serta melakukan maupun menyuruh melakukan tindakan pidana. Tindak pidana tersebut berupa penodaan agama yang tercantum dalam Pasal 156A KUHP jo. Pasal 55 ayat 1 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP dan permufakatan jahat yang tercantum dalam Pasal 110 ayat 1 KUHP jo. Pasal 107 ayat 2 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Peradilan Sesat
Pada akhir persidangan, ketiga terdakwa mendapat kesempatan oleh Majelis Hakim untuk memberikan tanggapan. Andry Cahya yang dituntut 10 tahun penjara menyuarakan ketidakpuasan terhadap tuntutan JPU ini.
“Tuntutan itu kan seharusnya dibuat berdasarkan fakta-fakta persidangan. Sedangkan yang saya dengar, tuntutan berdasarkan BAP, bukan fakta-fakta persidangan. Lalu untuk apa kita sudah berbulan-bulan menjalani persidangan?” ujar Andry yang sangat menyesalkan putusan karena mengabaikan proses dan fakta-fakta persidangan yang dimulai sejak awal November 2016.
Usai mendengar tanggapan terdakwa, Ketua Majelis Hakim kemudian meminta ketiga terdakwa untuk menyampaikan pembelaannya pada sidang Pembacaan Pledoi minggu depan. Rencananya sidang tersebut akan digelar Kamis, 16 Februari 2017, di PN Jakarta Timur.
Sementara itu salah satu Penasihat Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Pratiwi Febry pun menyampaikan kekecewaannya terhadap tuntutan JPU. Usai persidangan ia mengatakan, “Inilah wajah peradilan sesat di Indonesia. Seluruh fakta persidangan dibelokkan JPU. Mereka tidak memasukkan fakta secara keseluruhan.”
Jadi, bagi perempuan yang akrab disapa Tiwi ini tuntutan JPU merupakan bentuk pembohongan fakta persidangan.
“Terbukti, dakwaan (dibacakan awal November 2016 lalu-red) dan tuntutan sama. Itu artinya JPU tidak memperhatikan fakta-fakta yang ditemui selama persidangan. Para terdakwa sudah menjadi korban peradilan sesat dan kriminalisasi. Padahal mereka tidak melanggar sedikit pun hukum-hukum positif,” pungkasnya.
Perempuan berkacamata ini berharap media dan masyarakat dapat mengawal persidangan kasus ini sampai tuntas. Ia berjanji dalam sidang Pembacaan Pledoi minggu depan akan mengemukakan fakta-fakta yang sebenarnya sudah terkuak dalam persidangan.[]
***Kontributor Sejuk.org Ilana Aninditya