Foto paska sidang di MK (28/11/2017): Dr. Catur Wahyudi, MA, (tengah dengan batik coklat) berdiri sebelah kiri Ketua Komnas Perempuan Azriana sebagai Pihak Terkait pemohon dan saksi fakta Yayat Hidayatullah (mengenakan peci hitam) berdiri sebelah kanan M. Isnur dari YLBHI yang juga Pihak Terkait pemohon
Tidak semua warga negara Indonesia bisa menikah. Pernikahan yang tercatat oleh negara bukan perkara mudah bagi kalangan Ahmadiyah. Hal tersebut mencuat dalam lanjutan sidang perkara No. 56 di Mahkamah Konstitusi (MK), Judicial Review Penafsiran Bersyarat atas UU No. 1/PNPS/1965.
Jadi, selain pelarangan ibadah di masjid dan kegiatan-kegiatan keagamaan, kerugian konstitusional lainnya yang ditanggung para jemaat Ahmadiyah adalah penolakan pencatatan nikah. Demikian mubaligh Ahmadiyah Kepulauan Riau Yayat Hidayatullah menyampaikan kesaksiannya dalam sidang Selasa siang (28/11) di MK terkait diskriminasi yang menimpa pasangan Ahmadiyah, Indra dan Siti Khadijah.
“KUA menolak untuk mencatatkan pernikahan mereka. Bahkan ketika mereka mengajukan permohonan itsbat nikah ke pengadilan agama Tanjungpinang pun ditolak,” ungkap Yayat yang berlaku sebagai Saksi Fakta di hadapan Majelis Hakim MK.
Penolakan KUA (16 April 2015) atas itsbat nikah yang diajukan Indra dan Khadijah ini didasarkan fatwa MUI dan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 3 Tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Namun begitu, diskriminasi serupa tidak hanya menimpa Indra dan Khadijah. Ribuan warga negara lainnya yang berpaham Ahmadiyah seperti di Manislor, Kuningan, juga mengalami hal yang sama.
Inilah yang dicemaskan Ketua Komnas Perempuan Azriana. Berdasarkan pemantauan lembaganya dengan menggunakan kerangka HAM dan gender serta secara khusus melakukan penggalian mendalam terhadap pengalaman perempuan Ahmadiyah tahun 2008, 2011, 2013, dan 2014, didapatkan fakta bahwa diskriminasi yang cukup banyak menimpa mereka di antaranya berupa hilangnya hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan (pencatatan pernikahan).
Karena itu, dalam kesempatan yang sama, kecemasan ini ia sampaikan di hadapan Majelis Hakim MK. Mengingat, sidang kali ini Komnas Perempuan turut menjadi Pihak Terkait dari pemohon.
“Turunan dari banyaknya jemaat Ahmadiyah yang tidak mendapatkan pencatatan pernikahan oleh negara itu berdampak pada lingkar diskriminasi dan berbagai persoalan berikutnya,” papar Nana, demikian panggilan akrabnya, ketika dimintai keterangan usai sidang.
Menurutnya, jika seorang warga negara tidak mendapatkan pencatatan pernikahan, maka akan menghadapi kerentanan lanjutan seperti tidak mempunyai akta lahir untuk anak-anak mereka serta hak administrasi kependudukan (Adminduk) lainnya, yang berakibat pada kesulitan mendapatkan hak pendidikan, kesehatan dan seterusnya. Dampak diskriminasi ini sangat berat buat perempuan.
Sementara ahli yang dihadirkan pemohon dalam sidang uji materil ini, Dr. Catur Wahyudi, MA, melalui pembuktian realitas intoleransi dan diskriminasi yang dihadapi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), menegaskan bahwa berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukannya, fatwa MUI 2005 yang kemudian dirujuk SKB 3 Menteri N0.3/2008 dengan menggunakan landasan UU No.1/PNPS/1965 menjadi pembenar atas berbagai tekanan yang terus meningkat dihadapi jemaat Ahmadiyah.
“Tekanan yang dialami JAI tak kunjung surut. Ancaman demi ancaman terus saja terjadi, dari perusakan tempat ibadah, kekerasan fisik, hingga pembunuhan,” ujar peneliti dan sosiolog dari FISIP Universitas Merdeka Malang.
Karena itu pula kehadiran Yayat Hidayatullah yang datang dari wilayah Numbing, Bintan, Kepulauan Riau, dalam persidangan ini demi menyampaikan permohonan agar MK memberikan putusan untuk merevisi dan membuat ketentuan yang lebih jelas dan adil pada pasal-pasal UU No.1/PNPS/1965.
“Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk dapat membantu kami mendapatkan kembali hak-hak konstitutional kami. Kami meyakini bahwa kebenaran akan datang pada waktunya dan semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk dan kekuatan kepada Bapak-bapak Hakim untuk menegakkan kebenaran,” harap Yayat di akhir kesaksiannya. []