Oleh: Faqih Mansyur Hidayat

“Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan menanyakan agamamu..” (Gus Dur)
Kutipan itu mengawali perbincangan ihwal keberagaman dan toleransi yang disampaikan Aloysus Budi Purnomo atau sering disapa Romo Budi. Baginya, Gus Dur adalah begawan seluruh umat beragama di Indonesia.
Alunan saksofon bernada Syi’ir Tanpo Waton atau Syi’ir Gus Dur ia suguhkan di hadapan peserta Workshop Pers Mahasiswa oleh SEJUK saat mengunjungi kompleks gereja Katolik Santo Athanasius Agung, Karangpanas Semarang, (3/2/2019). Hampir satu menit Romo Budi berhasil mematungkan peserta yang mayoritas beragama Islam. Seorang romo melantunkan ajaran hidup orang Islam.
Menurut Romo Budi, Syi’ir Gus Dur adalah falsafah keislaman nusantara yang dapat diterapkan di semua agama. Kalimat-kalimat yang disyi’irkan juga merupakan khasanah nusantara yang adiluhung.
“Gus Dur itu sosok yang istimewa, karena beliau mampu mengejawentahkan Islam rahmatan lil ‘alamin dan hakikat cinta di tengah-tengah begitu banyaknya perbedaan di Indonesia. Beliau adalah wujud pluralisme yang sesungguhnya,” ungkapnya sewaktu mengenang kedekatannya dengan Gus Dur.
Terkait pluralisme Gus Dur di Semarang, ia menceritakan pengalamannya saat bertugas di komplek Pecinan Semarang tahun 2012-2015. Saat itu ia bersama etnis Tionghoa setempat memasang sinci (semacam batu nisan: red) bertuliskan KH. Abdurrahman Wahid di altar kelenteng Rasa Dharma dan berdampingan dengan dewa-dewa sebagai wujud penghormatan dan kecintaan terhadap Gus Dur yang telah memberi hak beragama kepada etnis tersebut.
Bahkan, lanjut Romo Budi, saking cintanya kepada Gus Dur, pengurus kelenteng dan masyarakat setempat menyediakan sate kambing di dekat sinci. Alasannya, etnis Tionghoa memiliki kebiasaan menyuguhkan makanan kesukaan para dewa mereka seperti bakpao, lumpia atau babi panggang.
Warisan keberagaman
Romo melanjutkan, 49 hari setelah wafatnya Gus Dur, ia didampingi Alissa Wahid, putri bungsu Gus Dur dan sejumlah tokoh-tokoh lintas agama untuk membacakan deklarasi “Mewarisi Semangat Gus Dur” di Taman Budaya Raden Saleh Semarang. Untuk itulah, hingga saat ini ia masih bersemangat dengan komitmen untuk melanjutkan pemikiran Gus Dur dalam menjaga keberagaman di Indonesia.
Kepada umat Katolik di Semarang, Romo Budi selalu mengajarkan toleransi dan pemikiran-pemikiran Gus Dur yang menyatukan. Hal itu dikarenakan sosok seperti Gus Dur sangatlah langka. Tidak sembarangan orang mampu mencapai maqom (tingkatan: red) seperti itu.
“Seperti Romo Mangun yang menjadi tokoh besar di kalangan kami, butuh satu juta orang untuk menggantikan Gus Dur dengan segala kehebatannya,” tuturnya.
Sama halnya dengan Romo Budi, Sadhana (52), salah satu masyarakat etnis Tionghoa di kawasan pecinan Semarang, menganggap bahwa Gus Dur adalah mahaguru dari bangsa Indonesia. Seperti yang diketahui bersama, di kalangan mereka, Gus Dur adalah “bapak” mereka yang diberi predikat sebagai bapak Tionghoa Indonesia.
Melihat kondisi bangsa saat ini, Sadhana mengaku sangat merindukan kehadiran Gus Dur. Sebab baginya sepanjang perjalanan bangsa yang ia lalui, baru akhir-akhir ini ia merasakan kegentingan keberagaman Indonesia. Ia berandai-andai jika Gus Dur masih hidup, pasti tidak akan ada kondisi bangsa yang seburuk ini.
“Seperti berita yang terbaru, ada pernyataan di Bogor yang menyebutkan pelarangan mengucapkan selamat hari raya Imlek kepada etnis Tionghoa. Ini kan sangat aneh, keberagaman dan toleransi yang diperjuangkan oleh Gus Dur malah diporakporandakan,” katanya usai sembahyang di Kelenteng Ling Hok Bio.
Hal itu dibenarkan oleh Bedjo Santosa (54), sekertaris pengurus Kelenteng Ling Hok Bio. Bagi Bedjo, Gus Dur adalah tokoh idaman kedua setelah Ir. Soekarno. Sebab, Gus Dur adalah pemimpin yang mampu memberikan satu warna utama di antara warna-warna perbedaan di Indonesia. Yaitu warna pluralisme.
“Saya itu sudah mengidolakan Gus Dur jauh sebelum menjadi presiden. Meskipun beliau orang Islam, tapi saya sangat mengagumi pemikiran-pemikirannya yang mapu menyatukan perbedaan-perbedaan di Indonesia,” ujarnya saat kami temui di Kelenteng Ling Hok Bio.
Bedjo menambahkan, Gus Dur adalah insan yang mendapat keistimewaan dari Tuhan yang mampu mengetahui banyak hal yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Bahkan, Gus Dur mampu melampaui jauh pemikiran orang-orang tentang masa yang akan datang.
Atas dasar cinta, lanjut Bedjo, Gus Dur mampu menuangkan pemikiran-pemikiran tentang kemanusiaan dan keberagaman. Ia telah membuktikan pemikirannya itu di Semarang. Saat etnis Tonghoa tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan agamanya, Gus Dur hadir sebagai pembuka pintu kebebasan beragama bagi etnis Tionghoa.
Ia juga mengaku sangat merindukan sosok Gus Dur hadir di tengah-tengah mereka. Untuk mengobati rindunya itu, Bedjo senantiasa merawat warisan Gus Dur dengan beragam cara. Dari hal yang paling sederhana, seperti saling serawung (berinteraksi: red) dengan agama-agama lain yang ada di Semarang seperti Islam dan Katolik. Sebab, baginya, atas pondasi cinta dari Gus Dur, menjaga toleransi antarumat beragama adalah laku paling mudah dan sederhana, namun bermakna sempurna.[]
*Faqih Mansyur Hidayat adalah Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Paradigma IAIN Kudus. Peserta workshop pers mahasiswa SEJUK di Semarang, 1-4 Februari 2019.