Senin, Juli 28, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Pers Kampus

Kami Ingin Pulang

by Redaksi
11/08/2013
in Pers Kampus
Reading Time: 4min read
Kami Ingin Pulang
Share on FacebookShare on Twitter

“Orang-orang mungkin mengira kami kerasan di sini, tapi sebenarnya tidak. Kami ingin pulang ke rumah kami yang dulu, walaupun sekarang sudah tidak ada. Kami menginginkan kedamaian, bukan kekerasan. Kami tahu agama Islam tidak mengajarkan kekerasan tapi kedamaian,” ujar Tohir.

anak-anak syiahSiang itu, Jum’at (06/07), sekitar pukul 14.00 WIB, dengan senyum mengembang beberapa warga Syiah berdatangan satu demi satu menjabat tangan kami, peserta workshop Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), yang sudah berada di depan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Puspa Agro, Sidoarjo, JawaTimur. “Silahkan duduk, mari!” Salah satu dari warga Syiah dengan ramah mempersilakan kami duduk di ruangan terbuka, setelah beberapa dari mereka membersihkan lantai Rusunawa paling bawah.

Selain bersilaturahmi dan menyampaikan simpati atas musibah yang ditanggung warga Syiah Sampang, kunjungan kami juga bermaksud untuk mendokumentasikan situasi yang tengah merekahadapi di pengungsian. Gedung Rusunawa pengungsian ini bertingkat lima dengan cat hijau, lantai keramik putih. Kami bertemu dengan Tohir, warga Islam Syiah yang berasal dari Desa Karang Gayam, Sampang, Madura di lantai dua.

Masih segar dalam ingatan Tohir bagaimana tempat tinggalnya dan rumah-rumah milik warga Syiah lainnya hangus dibakar saat mereka diserang. Ia juga kehilangan pekerjaan sebagai petani setelah Bupati Sampang merelokasi warga Syiah dari GOR ke Rusunawa Sidoarjo pada 20 Juni 2013. “Saya itu petani. Saya ingin bercocok tanam seperti dulu,” ungkap Tohir.

Puncak kekerasan terjadi ketika massa Sunni membakar pondok Nangkernang milik warga Syiah pada 29 Desember 2011. Kerusuhan kembali meletus saat ribuan massa membakar 37 rumah warga Syiah pada 26 Agustus 2012. Satu warga Syiah juga meninggal dan enam orang luka-luka. Masyarakat Islam Sunni yang tidak menerima faham Islam Syiah merupakan salah satu penyebab konflik tersebut meletus.

Saat ditemui, Tohir sedang bersama istrinya, Rimah. Mereka berdiri di depan pintu kamarnya. Beberapa orang yang lewat di depan kami selalu membungkukan punggungnya disertai senyuman. Entah itu masih remaja, anak kecil,sampai yang lebih tua dari kami. Konflik sesama saudara di Sampang tersebut membuat Hasyim, kakak kandung Tohir, meninggal.

Tohir berharap bisa segera kembali ke kampung halamannya dengan damai. “Orang-orang mungkin mengira kami kerasan, tapi sebenarnya tidak. Kami ingin pulang ke rumah kami yang dulu walaupun sudah tidak ada sekarang. Kami menginginkan  kedamaian, bukan kekerasan. Kami tahu Agama Islam tidak mengajarkan kekerasan tapi kedamaian,” ujarTohir.

Di sela-sela pembicaraan kami, seorang anak kecil duduk menangis sambil menyandarkan tubuhnya di tembok. “Itu anak saya. Saya tidak tega melihatnya meminta jajan. Anak saya dua belas, sekarang tinggal sepuluh. Yang dua meninggal,” cerita Tohir lirih dengan tatapan mengambang.

Tidak lama kemudian, Hizbullah anak laki-laki Tohir, juga ikut dalam pembicaraan kami. Saat ini, Hizbullah tidak bisa lagi belajar sekolah di SMA Pamekasan. Teman-temannya yang tidak sefaham dengan Syiah memusuhinya. “Di sini ngasih tahu belajar ngaji, main bola,” Hizbullah menjelaskan aktivitasnya dari siang sampai malam selama di pengungsian.

Tohir selalu mengingatkan kepada anak-anaknya agar tidak menyimpan dendam pada masyarakat Madura yang memusuhinya. Permasalahan tersebut baginya merupakan ujian dari Tuhan untuk bersabar. “Agama Islam tidak mengajarkan sesame manusia melakukan kekerasan. Apalagi memaksa mengikuti ajaran agama dengan kekerasan,” demikian Tohir meyakini.

“Saya tidak marah. Saya tidak dendam. Semoga Allah memberikan kesabaran kepada kami dan keluarga. Kita adalah sesame muslim. Mengapa harus saling menyerang dan melakukan kekerasan?”

Tohir menggantungkan harapannya kepada pemerintah, “Saya hanya orang kecil yang harus tunduk pada pemerintah. Semoga pemerintah bisa cepat-cepat menyelesaikan masalah ini dan memulangkan kami ke desa kami. Kami ingin hidup kembali dengan masyarakat secara damai.”

Di Rusunawa, kami juga melihat seorang ibu terlihat sedang menggendong anaknya yang masih berumur 8 bulan. Fitri melahirkan bayi tersebut saat berada di GOR Sampang. Pada mulanya, Fitri mau saja tinggal di GOR karena pemerintah ingin mengamankan Warga Syiah.

“Kami kan punya tempat tinggal juga di sana, katanya demi keamanan ya terpaksa juga kami akhirnya mengikuti kemauan pemerintah”

Meski demikian, Fitri merasa terusir dari kampung halamannya sendiri. Saat pemerintah menempatkannya di GOR, beberapa kali bantuan kebutuhan logistic dan air sempat mampet. Untungnya, masyarakat Madura yang tidak menempati GOR ada yang mau membantu kebutuhan tersebut. “Makan sempat diputus, air juga sempat diputus. Untungnya,teman-teman yang di luar itu bantuin kami. Jadi kami tetap bertahan.”

Menurut Fitri, selama warga Syiah direlokasi, tidak ada pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Warga Syiah hanya bergantung kebutuhan hidup dan kesehatannya pada pemerintah. “Untuk saat ini kalau Cuma makan sama air lancar. Nggak tahu kebelakangnya nanti,” Fitri menyesalkan nasibnya.

Fitri sangat merindukan kesibukan sehari-hari yang sebelumnya ia dan warga Syiah lainnya lakukan di desanya, yang mayoritas bekerja sebagai petani. Ia tidak mau bergantung terus kepada pemerintah dan terus berharap bisa segera pulang ke kampung halamannya. “Pengangguran di sini. Kita kan orang desa, biasa bertani di kampung. Kami di sini terpaksa.”

Bagi mereka, apa yang mereka yakini tidak lantas menjadi alasan menjadi warganegara Indonesia yang menanggung penderitaan yang sangat kejam: diusir dari kampung halaman.

“Apalagi, Undang-Undang Dasar di Indonesia sudah menjamin kebebasan beragama. Setiap warga negara wajib mendapat perlindungan dari negara,” Muktiono, pakar hukum dari Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) Universitas Brawijaya Malang, menegaskan ketika menyampaikan materi HAM dan Kebebasan Beragama sebelum para peserta berkunjung ke Rusunawa. Ia juga menggarisbawahi, yang melakukan pelanggaran HAM adalah pemerintah sebagai pemegang kewajiban. Konflik horizontal antarmasyarakat yang menimpa warga Syiah Sampang merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk membuat hubungan keduanya kembali harmonis. “Sebab, pemerintah punya wewenang mengatur warganegara sesuai kontrak agung, konstitusi, UUD 1945,” imbuhnya.

Muktiono mencoba menjelaskan, ada sebuah persamaan moral universal dari sesame manusia, sesame warganegara Indonesia. Warga Syiah tidak mungkin dipaksa, dengan cara kekerasan sekali pun, agar mau memahami faham Sunni. Demikian pun, warga Sunni tidak boleh dipaksa memahami dan menganut Syiah. Sebaliknya, di antara warga Negara harus menghormati keyakinan atau faham yang berbeda. “Itu merupakan kewajiban moral antar-sesama pemegang hak,” tegasnya.

Di pihak lain, Fannan, Bupati Sampang, mengaku tidak tinggal diamdan masih mencari langkah pemecahan yang dapat diterima oleh kedua kelompok. Selama ini upaya yang ditawarkan belum mendapatkan tanggapan positif baik dari pengungsi Syiah maupun warga Desa Karang Gayamdan Desa Bluuran, Sampang (Kompas.com, 3/6/2013). Fannan juga berdalih, “Penanganan Syiah dan anti-Syiah di Sampang bukan hanya tugas Pemerintah Kabupaten Sampang, tetapi tugas semua pihak” (Kompas.com, 3/6/2013).

Namun begitu, Fitri, Tohir, dan warga Syiah lainnya di pengungsian merasa menjadi korban atas pengabaian pemerintah terhadap hak-hak mereka sebagai warganegara untuk hidup secara aman di daerah yang dikehendakinya dan untuk memperoleh penghidupan atau pekerjaan yang layak.

 

Tim Penulis: Aris Setiawan (LPM Universitas Bengkulu), Laily Fauziyah (LPM Alpha Universitas Jember), Miftahul Arifin (LPM Idea IAIN Semarang), Moh. Ulil Albab (LPM Ideas Universitas Jember), dan Siti Fatimahtuzzahro (LPM Kosa Kata IAIN Cirebon).

Kredit Gambar: Aris Setiawan (LPM Universitas Bengkulu)

Previous Post

Merajut Harmoni dalam Puasa

Next Post

Warga Syiah Minta Dipulangkan

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Kolaborasi Kunci Jurnalis Kampus Jawa Barat Memperkuat Kebebasan Beragama dan Toleransi

Kolaborasi Kunci Jurnalis Kampus Jawa Barat Memperkuat Kebebasan Beragama dan Toleransi

20/06/2024
Menangkal Politisasi Identitas Kelompok Minoritas Menjelang Pemilu 2024

Undangan Workshop & Beasiswa untuk Jurnalis Kampus Jawa Barat: Bangun Ruang Aman Keberagaman di Media

15/04/2024
Undangan Training & Story Grant: Pemilu Serentak 2024 & Tantangan Menerapkan Jurnalisme Keberagaman di Kalangan Pers Mahasiswa Banten

Undangan Training & Story Grant: Pemilu Serentak 2024 & Tantangan Menerapkan Jurnalisme Keberagaman di Kalangan Pers Mahasiswa Banten

19/12/2023
Perjumpaan Memperkuat Penerimaan Keberagaman di Kalangan Muda

Perjumpaan Memperkuat Penerimaan Keberagaman di Kalangan Muda

29/03/2023
Next Post
Warga Syiah Minta Dipulangkan

Warga Syiah Minta Dipulangkan

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di Ranah Minang Gereja Dilarang Didirikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cara Menumbuhkan Sikap Toleransi Antarumat Beragama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In