Kekerasan seksual di gereja selama ini bebannya ditimpakan semua pada korban. Hierarki dan sistem patriarki dalam gereja yang kuat membuat pengungkapan kasus kekerasan seksual membentur banyak rintangan.
Menurut salah satu tim #NamaBaikGereja sekaligus reporter Tirto.id Aulia Adam, gereja sebagai institusi agama mempunyai kekuasaan sangat besar sehingga anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual sulit sekali mendapat keadilan. Selain itu, definisi pelecehan dan kekerasan seksual maupun isntrumen hukum yang ada di Indonesia tidak mewadahi tuntutan mereka.
“Pertama, anak-anak bingung, sehingga kekerasan seksual yang dialaminya tidak sampai ke orang tuanya. Kedua, ketika melapor, instrumen hukum tidak mewadahi apa yang dialaminya,” papar Adam dalam Webinar #NamaBaikGereja & Bagaimana Media Menyajikan Kekerasan Seksual yang diadakan oleh SEJUK bekerja sama dengan Internews pada Kamis, (24/9).
Bahkan, dalam investigasi bersama The Jakarta Post dan Tirto.id pada #NamaBaikGereja, Adam menjumpai orang tua yang berpandangan bahwa yang dialami anaknya adalah bentuk kasih sayang romo ke jemaat.
Situasi inilah yang mengharuskan media hadir untuk menghormati kepentingan dan hak-hak korban. Sehingga, media menjadi safe space bagi para korban pelecehan dan kekerasan seksual.
“Kalau korban mau bicara, hormati. Bahkan ketika korban mau mendeskripsikan kekerasan seksual yang dialaminya, di mana ia menganggap itu adalah hal penting, maka hormati,” ujar Aulia Adam dalam webinar #NamaBaikGereja dan Bagaimana Media Menyajikan Kekerasan Seksual yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Internews, Kamis (24/9).
Sayangnya, lanjut Adam, pemberitaan kekerasan seksual menonjolkan judul-judul bombastis, pemilihan kata yang seksis dan patriarkis.
Hal tersebut diamini editor Tempo.co Martha Warta Silaban yang ikut menyunting pemberitaan-pemberitaan tentang kekerasan seksual di salah satu gereja Katolik di Depok. Menurutnya sangat sedikit media di Indonesia yang memberikan perhatian dalam membongkar kasus-kasus kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual hanya diberitakan saja, tidak investigasi,” tutur Martha seraya mengajak para jurnalis agar tidak menjadikan korban semakin rentan dan diposisikan dalam situasi lebih bahaya karena pemberitaan yang tidak melindungi privasi lantaran menuliskan nama, alamat dan keterangan lainnya yang terkait dengan korban.
Baginya, nama pelaku yang harusnya disebut dalam pemberitaan, sementara identitas korban disembunyikan dan disamarkan. Hal tersebut, sambung Martha, adalah ketentuan yang harus dipatuhi jurnalis, yang tertuang dalam Pasal 5 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan sesuai Kode Etik Jurnalistik.
Menanggapi kerja-kerja jurnalistik mengungkap praktik kekerasan seksual dalam gereja, Ketua Presidium DPP Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Justina Rostiawati sangat mengapresiasinya. Ia sama sekali tidak menampik laporan-laporan The Jakarta Post dan Tirto.id, sebaliknya Justina berharap dari investigasi #NamaBaikGereja menjadi langkah konstruktif untuk bersama mendorong gereja lebih terbuka membangun sistem pengaduan yang melindungi para korban.

“Hierarki gereja membuat perjuangan berlapis-lapis bagi korban. Jika ada yang mengadukan menuntut keadilan, juga akan berlapis-lapis perjuangan korban,” tuturnya.
Maka, lanjut Justina, gereja harus berubah. Pelaku tidak dibiarkan saja. Gereja harus melindungi korban dan siap menangani kasus-kasus secara adil. Sebab, hal tersebut sejalan dengan instruksi Paus Faransiskus agar gereja Katolik mengambil langkah-langkah memroses para pelaku dan memenuhi keadilan korban. Paus akhir tahun lalu (Desember 2019) mencabut “asas kerahasiaan” yang selama ini menjadi tembok tebal untuk mengungkap kasus pelecehan seksual anak oleh pastor dan pejabat gereja.
“Keuskupan sudah mengambil langkah-langkah untuk mewujudkan membentuk tim untuk (para korban) mengadu,” kata Justina ihwal uskup-uskup yang mulai merespon instruksi Paus Fransiskus tetapi masih membutuhkan usaha bersama supaya gereja-gereja ikut berubah.
Sementara Woro Wahyuningtyas dari Paritas Institute mengungkapkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual di gereja biasanya terjadi dalam ruang-ruang yang lebih privat, seperti saat konseling pastoral. Sebagai jemaat di salah satu gereja Kristen, Woro merasa miris dengan pelaku-pelaku kekerasan seksual yang karena dekat dengan struktur yang lebih tinggi di gereja, seperti resort atau pengurus sinode, mereka tidak bisa dijerat hukum, bahkan malah mendapat promosi jabatan. Sementara, posisi korban kian tersudut.
“Polanya pun sama, dikarenakan relasi kuasa yang sangat besar, ujung-ujungnya jemaat korban yang menjadi pihak bersalah, kemudian dirugikan,” ungkapnya.
Menurutnya, demi menjaga nama baik gereja, korban dibungkam dengan jenis penyelesaian masing-masing. “Ada yang diberi fasilitas, dianggap sudah selesai, didamaikan secara paksa. Korban yang tidak kuat akhirnya keluar, pindah gereja,” cerita Woro yang sempat menjadi Direktur Eksekutif Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK).
Pun, saat korban atau penyintas menyampaikan kekerasan seksual yang dialami, para jemaat atau pihak gereja tidak akan mudah percaya, karena bagi mereka pelaku yang biasanya adalah pastor atau pendeta tidak mungkin berbuat dosa.
“Mereka berpikir bahwa perempuan atau korbannya yang menggoda,” ujar Woro yang pernah dilecehkan oleh pendeta tetapi belum siap mengungkap dan melapor karena belum percaya pada gereja sebagai support system bagi para korban.
Chrisant Raisha dari Hollaback! Jakarta dan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) juga menyampaikan bahwa dari penelitian yang pernah dilakukan terkait kekerasan seksual di ruang publik hampir 64% dari 62 ribuan total koresponden perempuan di 34 provinsi, menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual di ruang publik.
“Mulai dari menerima catcalling hingga disentuh tanpa konsen dan yang melibatkan kekerasan fisik lain,” jelasnya.
Karena itu Raisha menghimbau masyarakat atau dalam konteks ini adalah jemaat gereja dapat memulai perbincangan terkait kekerasan seksual di gereja dengan mengajukannya pada pengurus gereja. “Namun, kalau pihak gereja tidak memfasilitasi, dapat ikut atau membuat diskusi sendiri dengan melibatkan komunitas atau organisasi yang concern di isu ini.”
Menurut Raisha penting bagi tiap individu untuk terus mengedukasi diri sendiri terkait isu kekerasan seksual dan mulai ikut bergerak menyuarakan isu ini di gereja atau tempat-tempat terdekat masing-masing individu. “Jadi jangan hanya diam saja tidak ikut berpartisipasi,” tambahnya.[]
Lihat tayangan lengkapnya di: