Diskusi antar-iman yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) cabang Flinders, PPIA cabang South Australia, dan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU ANZ) yang menghadirkan narasumber KH. M. Luqman Hakim Ph.D (Islam), pendeta Ellia Maggang (Kristen) dan romo Amatus Budiharto (Katholik) tidak hanya membahas upaya damai di tengah perbedaan iman, juga mengangkat pentingnya agama dalam mewujudkan keadilan kalangan disabilitas.
Pada diskusi antar-iman yang diadakan di Flinders University Adelaide, Australia, Kamis sore (2/4/2015) ini, pembahasan ihwal tuntutan agar agama memberi keadilan terhadap penyandang disabilitas menyeruak ketika aktivis dan akademisi disabilitas Jaka Anom Ahmad Yusuf Tanukusuma menyinggung banyaknya pemuka agama yang cenderung memandang disabilitas sebagai kalangan yang patut mendapat diskriminasi.
Selain paparan dari berbagai pengalaman Jaka sebagai penyandang tuna netra, fakta diskriminasi terhadap perempuan disabilitas juga dibeberkan aktivis dari Komnas Perempuan, Siti Maesaroh. Aktivis perempuan yang tengah menempuh master bidang studi disabilitas (Flinders University) ini menguraikan bahwa masih diberlakukannya UU Perkawinan 1974 yang didasarkan pada nilai-nilai agama memberikan peluang diskriminasi lantaran dalam salah satu pasalnya seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya yang “cacat” atau sakit fisik yang tidak bisa disembuhkan.
Merespon persoalan-persoalan di atas kyai Luqman menegaskan: Islam tidak mengenal dosa turunan. Jadi kalangan disabilitas tidak lain sesama manusia yang harus dihormati.
“Kalau ada pandangan keagamaan yang menganggap disabilitas sebagai penanggung dosa, kutukan, pandangan semacam itu sudah bercampur legenda atau mitos-mitos. Bukan dari ajaran Allah,” urai sang kyai yang juga seniman kaligrafi.
Anjuran untuk menghormati kalangan disabilitas dijelaskan sang kyai yang merupakan pengampu majalah Cahaya Sufi dan Sufinews.com melalui kisah Nabi Muhammad yang ditegur Allah karena mengacuhkan dan memalingkan wajahnya dari Abdullah bin Ummu Maktum, penyandang tuna netra, yang hendak mendapatkan pengajaran Islam dari Nabi. Teguran Allah ini termaktub dalam al-Quran surat Abasa ayat 1-16.
Sedangkan romo Budi menjadikan isu disabilitas sebagai tantangan sejarah umat di mana iman tidak terlepas dari konteks sosial. Menurut hematnya, disabilitas sebagai kutukan Tuhan adalah pandangan yang hidup dalam sejarah umat di masa lalu.
Maka, bagi orang-orang Katholik sekarang ini tidak bisa lagi berlindung dalam Perjanjian Lama yang masih punya tendensi menyingkirkan disabilitas.
Sebaliknya, ia pun mengacu pada spirit yang lebih substansial dengan menegaskan, “Yesus datang untuk menyapa orang-orang yang dipinggirkan, disingkirkan.”
Sementara itu, pendeta Ellia Maggang yang tengah menempuh master bidang teologi di Flinders University mentransformasikan Trinitas sebagai perbedaan yang bersatu dalam relasi kasih. Dari sana, ia mengimani prinsip Yesus: melalui penyandang disabilitas kemuliaan Tuhan terpancar.
Ketua PCI NU Adelaide Tufel Musyadad mewakili panitia diskusi antar-iman kali ini menuturkan bahwa kehadiran kyai Luqman Hakim di Adelaide merupakan rangkaian dari safari sufi sang kyai yang dilakukan dengan berbagai diskusi, mengaji, dan bedah buku, yang sebelumnya diadakan di Melbourne dan Canberra.
Ia juga menyampaikan tujuan dari safari kyai Luqman dan kegiatan-kegiatan yang akan digelar selanjutnya sejalan dengan semangat PCI NU ANZ untuk membumikan Islam di Australia.
“Tidak bermaksud memaksa orang Australia masuk Islam, tetapi lebih untuk menghidupkan Islam agar ramah terhadap perbedaan,” Tufel memungkasi. (Thowik SEJUK)