Proses panjang pemiskinan Papua di masa konflik sangat berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan perempuan. Papua sebagai wilayah yang pernah mengalami konflik bersenjata berjalan lamban dalam menumbuhkan pembangunan manusia, terlebih kaum perempuannya. Sehingga, peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak perempuan mutlak dibutuhkan dalam agenda-agenda pembangunan tanah Papua.
Koordinator Wilayah III Domberai Solidaritas Perempuan Papua (SPP) Medzke Karoswaf yang baru usai mengikuti Konferensi SPP bertema “Kebangkitan Perempuan Papua untuk Perubahan” di Port Numbay, Papua (31 Agustus sampai 3 September 2017) menandaskan pentingnya perempuan-perempuan Papua untuk mulai aktif dan partisipatif dalam proses-proses pembangunan yang tengah didorong sejak periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Kemestian akan partisipasi perempuan dalam pembangunan, bagi Medzke (28) yang sehari-hari berprofesi sebagai dokter ini, supaya kepentingan-kepentingan perempuan Papua mendapat perhatian dan pengawalan, tidak ditinggalkan. Sebab, pembangunan yang mulai giat dicanangkan pemerintahan Jokowi di Papua belum dirasakan kaum perempuan.
“Pemerintah sudah bikin banyak. Presiden sudah kasih uang banyak. Tapi kita (perempuan Papua) tidak dapat apa-apa,” ungkap perempuan yang juga aktif di Dewan Adat Byak Betew, yang November tahun lalu dibentuk di Raja Ampat.
Anak-anak Kampung Saukabu menyambut tamu Musyawarah Adat Byak Betew (18/8/2017)
Pembangunan dan Kearifan Lokal Papua
Apa pentingnya Konferensi III Solidaritas Perempuan Papua (SPP) bagi Medzke dan perempuan Papua?
Keterlibatan Medzke dalam konferensi ini sejatinya menjadi ruang bagi dia untuk mendorong aspirasi perempuan-perempuan di wilayah III yang membawahi sepuluh daerah meliputi Manokwari, Sorong, Raja Ampat, Bintuni, Teluk Cenderawasih, Wondama, Tambrauw, Sorong Selatan, Manokwari Selatan, dan Pegunungan Arfak supaya mereka tidak menjadi korban atau objek pembangunan belaka.
Konferensi SPP di Port Numbay sekaligus ajang buat Medzke dan perempuan Papua lainnya aktif berbicara soal kebenaran sebagai upaya menghadapi tantangan dunia modern dan masa depan tanah Papua agar tidak terus-menerus kepentingan dan kebutuhan mereka dipinggirkan. SPP sebagai wadah yang berbadan hukum menjadi tempat menimbang dan menyaring modernitas agar jalannya pembangunan sesuai dengan karakter maupun kearifan lokal tanah Papua.
“Modelnya harus model Papua. Karenanya, akulturasikan kearifan lokal dengan teknologi modern,” harap dokter lulusan Berea University, Seoul, Korea Selatan ini yang meyakini bahwa perempuan Papua adalah orang-orang yang cepat balajar dan sangat bisa beradaptasi, sebaliknya mereka juga tidak selalu anti dengan modernitas.
Dalam memberikan pelayanan, pemahaman dan kesadaran akan pentingnya kesehatan dan dunia medis (yang datang dari modernitas) terhadap masyarakat, Medzke yang tinggal di Waisai, Pulau Waigeo, ibukota Raja Ampat, Papua Barat, kerap melakukan kunjungan ke daerah-daerah atau pulau-pulau lainnya bersama Ketua Dewan Adat Byak Betew, yang kebetulan suaminya. Hal itu dilakukan demi menggali dan menampung langsung setiap persoalan kehidupan warga di akar rumput dan dari wilayah-wilayah terpencil. Dari sanalah ia selalu menyampaikan apa yang dilihat dan dialaminya kepada pihak pemerintah agar pembangunan yang sedang berjalan benar-benar melibatkan perempuan dan tidak pula menghapus karakter masyarakat adat Papua.
Konferensi SPP yang diikuti Medzke bertujuan merumuskan rekomendasi dan tuntutan yag diajukan kepada pemerintah (dareah dan pusat). Poin-poin yang dimunculkan dalam konferensi ini, sambung Medzke, tidak lain apa yang mereka sebut sebagai 10 hak dasar Papua. Hak dasar itu meliputi: hak bebas dari kekerasan dan penyiksaan; hak atas kemudahan dan perilaku khusus; hak atas kepastian hukum, keadilan, dan reparasi; hak atas kehidupan yang layak; hak atas lingkungan hidup; hak atas kesehatan dan pemulihan; hak atas pendidikan dan profesi; hak berpartisipasi dalam penggambilan keputusan; hak perempuan dalam adat; dan hak pembela HAM perempuan.
Sepulang dari konferensi, bersama Ketua Dewan Adat Byak Betew Raja Ampat Mananwir Paul Finsen Mayor, pada 6 September 2017 Medzke terlibat dalam pembuatan MoU antara Dinas Pendidikan Raja Ampat bidang Kebudayaan untuk pemberdayaan, pelestarian dan kerjasama menjaga dan mengembangkan budaya lokal. Salah satu yang disepakati adalah Bahasa Byak Betew masuk dalam kurikulum muatan lokal pendidikan di Raja Ampat.
Tiga hari berikutnya, 9 September, Medzke bersama Ketua Dewan Adat Byak Betew menerima rombongan Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Sylvana Apitulay yang ikut dalam rombongan itu menyatakan bahwa pertemuan tersebut bagian dari tugas KSP memonitoring kebijakan program pembangunan nasional yang dicanangkan Presiden Joko Widodo di wilayah Raja Ampat dan Papua secara umum.
Dokter Medzke (kiri) saat memandu snorkling di Melissa Garden, Pianemo, Raja Ampat (20/8/2017)
Mengobati Trauma akibat Konflik
Arah pembangunan di Papua yang diharapkan SPP mengandaikan pengembangan kesejahteraan hidup perempuan, mama-mama Papua. Namun begitu, upaya-upaya SPP mengajak kaum perempuan memandang masa depan tanah Papua harus diiringi tanggung jawab pemerintah pusat (Jakarta) agar lebih sensitif pada trauma masa lalu.
“Jadi tidak sulit membangun orang Papua. Hanya butuh saling pengertian dan komunikasi. Mungkin kadang-kadang kita miskomunikasi, karena ada luka-luka yang lalu,” kata Medzke sambil menegaskan pentingnya komunikasi dan dialog jujur, terbuka dan setara yang harus ditempuh Papua-Jakarta.
Desakan pola dialog Papua-Jakarta semacam itu dilontarkannya ketika ia tengah melakukan kunjungan di Kampung Saukabu dalam rangka Musyawarah Adat Byak Betew (19/8) untuk menyusun tuntutan dan rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah daerah dan pusat untuk mengembangkan potensi wisata Kepulauan Paam, Raja Ampat.
Perempuan Byak yang gemar menyelam dan akrab dengan lautan Raja Ampat ini sangat menaruh harapan agar proses komunikasi antara Papua dan Jakarta melibatkan kaum perempuan. Menurutnya, trauma yang ditanggung kaum perempuan Papua akibat konflik sangat luar biasa. Sehingga, dialog Papua-Jakarta hanya akan berhasil jika ada keterlibatan perempuan di dalamnya. Dari sanalah perempuan Papua bisa menatap masa depannya dengan tegak tanpa terus-menerus dibebani trauma masa lalu.
Dalam kesempatan lain, tuntutan Medzke ini mendapatkan penguatan dari Ketua Gugus Kerja Papua Komnas Perempuan Saur Tumiur Situmorang. Berdasarkan dua laporan pemantauan Komnas Perempuan “Stop Sudah” dan “Anyam Noken Kehidupan”, ketika dihubungi Sejuk.org (9/9) Saur menggambarkan betapa perempuan-perempuan Papua menanggung trauma dari pelanggaran HAM dan kekerasan berlapis yang dialami selama konflik (1963-2009). Karena itu pula, upaya dialog Papua-Jakarta harus selalu melibatkan perempuan.
“Perempuan Papua korban kekerasan mengalami trauma berkepanjangan. Saat konflik, mereka mendapat kekerasan dari negara baik secara fisik maupun psikis oleh aparat, kekerasan seksual, diskriminasi dalam penyediaan layanan Adminduk, kesehatan, pendidikan dan akses pekerjaan, stigma OPM (organisasi Papua Merdeka), dan seterusnya,” papar Saur.
Sebab itulah Saur menambahkan, dalam proses dialog, Jakarta harus memprioritaskan upaya-upaya pemulihan bagi perempuan korban melalui penyediaan layanan trauma healing, kesehatan, rehabilitasi sosial dan nama baik perempuan korban kekerasan seksual oleh aparat keamanan, juga rehabilitasi komunitas yang selama ini distigma negara sebagai kelompok separatis atau OPM, memberikan pengakuan status kewarganegaraan seperti akta kelahiran, kartu keluarga, KTP agar mendapatkan jaminan sosial dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, rumah layak, lingkungan yang sehat, dan sebagainya.
“Maka, pemerintah harus mengimplementasikan Perdasus No. 1 tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM,” tegas Saur terkait tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak perempuan.
Untuk itu, Komnas Perempuan merekomendasikan pemerintah agar lebih berkomitmen lagi menggerakkan program pemberdayaan ekonomi perempuan: menyediakan pasar bagi mama-mama, memberikan akses modal, akses ekonomi, serta pengembangan kapasitas perempuan sesuai dengan kebutuhan dan potensi sumberdaya yang mereka miliki. Negara juga harus didorong memfasilitasi perempuan untuk berorganisasi dan berjaringan dalam rangka pengembangan kapasitas serta berpartisipasi di ruang-ruang publik. [Thowik SEJUK]