Oleh Saidiman Ahmad
Kemunculan organisasi-organisasi Islam radikal pada awal era Reformasi cukup mengejutkan, terutama karena mereka tumbuh bersama dengan dimulainya proses demokratisasi itu sendiri. Gerakan-gerakan ini akhirnya menjadi gerakan pendompleng demokrasi yang sesungguhnya memiliki agenda menghancurkan demokrasi. Mereka mengorganisir massa dengan kerangka anti demokrasi dan acapkali melanggar tabu-tabu demokrasi melalui gerakan pemaksaan pemikiran dan ideologi.
Gerakan Sosial Islam
Ada sejumlah penjelasan kenapa radikalisme muncul pada masyarakat Muslim justru ketika masyarakat itu mulai membuka kran demokrasi. Salah satu faktor terpenting munculnya radikalisme justru adalah demokrasi itu sendiri (Quintan Wiktorowicz). Di masa kekuasaan otoriter, gerakan Islam radikal tidak bisa muncul karena direpresi oleh penguasa. Struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang diberikan oleh demokrasi menyebabkan gerakan radikal begitu marak di semua negara Muslim.
Namun begitu, struktur kesempatan politik saja belum tentu menyebabkan radikalisme muncul. Dibutuhkan unsur pengorganisasian agar gerakan ini benar-benar aktual. Para ilmuan gerakan sosial menyebutnya struktur mobilisasi (mobilising structure).
Tetapi semua itu mesti didukung oleh framing. Di sini sentimen ideologi dan ketidakpuasan publik dieksploitasi agar masyarakat atau sekelompok masyarakat mau melakukan gerakan. Para propagandis gerakan Islam radikal biasanya mengandaikan musuh-musuh Islam yang mesti diperangi. Pada mulanya, gerakan Islam radikal di Indonesia langsung ingin berhadapan dengan kelompok yang mereka anggap musuh. Ketika tentara Uni Soviet merangsek hendak menduduki Afganistan, mereka memobilisir relawan untuk terjun langsung ke gurun-gurun Afganistan bertempur melawan tentara Soviet.
Saat ini, framing yang digunakan para propagandis Islam radikal sedikit berubah. Mereka tidak lagi bernafsu untuk langsung berhadapan dengan musuh-musuh yang secara geografis jauh. Kini mereka mengandaikan musuh-musuh dekat yang terkait dengan musuh-musuh jauh itu. Rezim-rezim demokratis mereka sebut sebagai musuh dekat yang juga mesti diperangi. Musuh yang mereka andaikan, yaitu Amerika Serikat dan Yahudi, diyakini ada di sekitar mereka. Mereka tak perlu datang ke Israel atau Amerika Serikat untuk melawan musuh-musuh itu, tetapi cukup dengan melakukan serangan terhadap simbol-simbolnya di tanah air. Salah satu simbol musuh itu adalah berdiri tegaknya rezim demokrasi.
Tak heran bila belakangan gerakan terorisme di Indonesia mulai menjadikan simbol-simbol negara sebagai target serangan. Sesungguhnya hal ini sudah bisa diduga. Gerakan radikal secara umum memang menghendaki perubahan sistem. Sebagian mereka ingin mendirikan negara dengan sistem Islam. Tapi sebagian lainnya bahkan menginginkan bubarnya negara dan diganti dengan imperium atau kekaisaran global.
Dengan adanya framing, mobilisasi, dan struktur kesempatan politik, gerakan radikal dimungkinkan untuk tumbuh. Jacques Bertrand menyatakan bahwa transisi sangat rentan bagi kerusuhan karena pada masa ini muncul kembali perdebatan tentang bentuk negara. Pedebatan itulah yang kemudian memungkinkan terjadinya mobilisasi massa. Pada tingkat yang ekstrim, mobilisasi massa itu bisa muncul dalam bentuk kerusuhan dan tindak kekerasan. Radikalisme juga buah dari debat ideologis tentang bentuk negara pada masa transisi demokrasi.
Tahun 1990-an adalah masa Indonesia yang sedang berubah. Saat itu menguat upaya mengganti rezim demokrasi Pancasila ke demokrasi liberal. Pada saat yang sama, kekuatan Islam politik mulai muncul dan mendesakkan ideologi politik Islamismenya. Kekuasaan Soeharto, sebagai simbol demokrasi Pancasila, bahkan diturunkan oleh kekuatan pro-perubahan. Di saat-saat seperti itulah terjadi gejolak besar, termasuk munculnya konflik yang bernuansa SARA. Dari tahun 1990-an, tercatat tidak kurang dari 30 kasus yang bernuansa SARA, sebagiannya masih berlanjut sampai sekarang. Tanggal 10 Oktober 1996, Situbondo bergolak.
Pergolakan yang sama terjadi di Tasikmalaya, 26 Desember 1996. Karawang juga mengalami hal serupa pada tahun 1997. 13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan massal di Jakarta, peristiwa itu kemudian dikenal sebagai