SERANG,- Pemberitaan media massa tentang terorisme maupun radikalisme jangan sampai memicu munculnya terorisme baru. Oleh karena itu, selain memegang teguh kode etik jurnalistik, perlu diperhatikan juga dampak baik dan buruknya bagi kepentingan masyarakat umum.
Demikian terungkap saat seminar nasional dengan tema “Radikalisme Media: Dilema Pemberitaan Terorisme dan Radikalisme” yang diselenggarakan Lingkar Studi untuk Pencerahan (Lingkaran) bekerjasama dengan BEM IAIN SMH Banten, dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) di Aula IAIN SMH Banten, Rabu (27/7) kemarin. Seminar menghadirkan empat pembicara yakni Direktur Program Pascasarjana IAIN SMH Banten, Prof Dr Fauzul Iman, MA, Sekretaris Umum MUI Kota Serang Amas Tadjuddin, mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Asraatmaja, dan Campaign Manager Sejuk Daniel Awigra.
“Peran media massa, baik cetak, elektronik, maupun online, sangat berpengaruh besar dalam mempengaruhi opini publik. Bahkan, melalui pemberitaan yang disajikan, media massa juga mampu mempengaruhi pola hidup masyarakat,” ungkap Ketua Lingkaran A. Malik Mughni, dalam sambutannya.
Pada era informasi sekarang ini informasi yang disampaikan media massa semakin cepat tersebar dan bisa diakses setiap saat. Termasuk untuk berita-berita yang sangat sensitif seperti berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, terorisme, dan radikalisme. Media massa berlomba-lomba menyajikan laporan terorisme dan radikalisme secara eksklusif dan menjadikan sebagai berita utama (headline).
Pemberitaan tentang terorisme dan radikalisme disatu sisi sebagai hal menarik karena memiliki nilai berita yang tinggi. Namun pada sisi lain, bisa membawa dampak negatif jika berita tentang terorisme dan radikalisme di-blow-up secara berlebihan tanpa memperhatikan dampak yang lain, seperti sosial, psikologis dan sebagainya.
“Pada sisi ini, kerapkali, media massa menjadi sasaran kritik karena dianggap menjadi andil bagi maraknya aksi terorisme dan radikalisme. Semakin di blow-up, maka terorisme bukan malah mereda, tetapi justru menimbulkan aksi lanjutan sebagai bentuk reaksi dari pemberitaan tersebut. Dalam konteks ini, media dianggap turut mencipatkan radikalisme itu sendiri. Karenanya, Diskusi semacam ini, perlu dilakukan oleh insan media, termasuk kalangan jurnalis di Serang,” ujarnya.
Sementara, ketua MUI Kota Serang Amas Tajudin berharap para jurnalis bisa mengidentifikasi dampak sebuah pemberitaan.
“Meskipun pemberitaan yang menyangkut terorisme maupun radikalisme sudah sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) tetapi jika berdampak jelek daripada manfaatnya, lebih baik tidak blow-up secara besar-besaran. Dalam kaidah fiqh mencegah kerusakan itu lebih baik dari mengambil kebaikan. Artinya jika mudaratnya lebih banyak, sebaiknya patut dipertimbangkan demi kemasalahatan yang lebih besar,” kata Amas Tadjudin.
Ia menyatakan berbagai aksi terorisme dan radikalisme yang diblow-up secara besar-besaran, bisa menjadi pemicu bagi aksi terorisme maupun radikalisme yang baru. Dalam konteks ini, kata dia, maka media massa bisa dipandang turut menumbuhsuburkan terorisme maupun radikalisme baru. Dengan kata lain, saat media massa memberitakan dimana-mana sehingga masyarakat berasumsi terorisme dan radikalisme juga disokong media massa.”Jika diekspose secara besar-besaran kan, masyarakat yang tidak tahu menjadi tahu. Bisa jadi dari keluarga pelaku akan makin memunculkan rasa dendam sehingga memunculkan aksi yang baru. Faktor ini yang harus pula diperhatikan,” kata Amas.
Sedangkan Fauzul Iman, menyatakan, munculnya radikalisme berasal dari faktor internal dan eksternal. Menurut dia, faktor internal itu yakni statisme dalam pemahaman teks keagamaan melahirkan penyesatan sehingga muncul gerakan sektarianisme. Sedangkan faktor eksternal antara lain karena terjadinya kelumpuhan budaya, teknologi, ekonomi.
Selain itu, informasi tentang adanya terorisme Islam yang dipandang radikal oleh dunia tidak dapat dipisahkan oleh media barat. Sejak penyerangan gedung WTC dan Pentagon di Amerika hingga peristiwa peledakan di Bali. “Media Barat, Amerika dan Australia sangat gencar menginfomaikan adanya kelompok Islam fundamentalis, Islam militant, Islam radikal, Islam ekstrim,yang telah melakukan pemboman. Padahal, Islam dan agama manapun tidak akan mentolerir tindakan kekerasan yang mengakibatkan hancurnya seluruh tatanan kehidupan.
Menurut Fauzul, keterlibatan media massa barat dalam pemberitaan terorisme Islam tidak berdiri secara sendiri. Tetapi, karena motivasi bisnis media massa, peran besar periklanan tumpuan terhadap narasumber pemerintah, serta tekanan tidak formal (flak) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada respon-respon negatif terhadap pertanyaan atau program media.
Ia