Rabu, Juli 2, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

INDONESIA TANPA FPI

by Redaksi
13/02/2012
in Uncategorized
Reading Time: 3min read
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Evi Rahmawati*

Adalah kabar baik ketika Sabtu 11 Februari lalu masyarakat adat suku Dayak menegaskan sikapnya menolak kehadiran FPI di Bandar Udara Cilik Riwut, Palangkaraya. Mengapa kabar baik? Ini tidak berarti pihak-pihak yang selama ini dibuat gerah oleh satu kelompok kecil yang kerap melakukan tindakan anarkis dalam aksi-aksinya hendak merayakan sedikit kemenangan para pejuang pluralisme. Juga bukan berarti kita melanggar kebebasan suatu kelompok masyarakat dalam berserikat. Tetapi, ini berdasar pada kebutuhan mutlak manusia: kebebasan dari tekanan.

Memang benar, adalah hak setiap individu untuk berekspresi dan berserikat, termasuk individu yang terwadahi dalam FPI. Namun tengok kembali aksi-aksi melawan hukum yang dilakukan FPI (rangkaian ancaman serta tindak kekerasan terhadap gereja dan jemaatnya, Ahmadiyah, Komunitas Lia Eden, pers, orientasi seksual yang berbeda, tempat-tempat hiburan, warung makan kecil di bulan Ramadlan, Tragedi Monas, perusakan gedung Kementerian Dalam Negeri, dll.) Bukankah melanggar hak asasi warga negara lainnya manakala mereka terus melakukan kekerasan keji dalam setiap aksinya? Apalagi seraya tangan mereka menghunus senjata tajam, pekik Allahu Akbar dimanipulasi sebagai perisai untuk menyatakan bahwa kekerasan yang mereka lakukan atas persetujuan Tuhan. Ironis, bukan?

Karenanya, aksi penolakan yang dilakukan masyarakat adat Dayak di Palangkaraya pun menginspirasi warga negara lainnya untuk melakukan keberanian serupa dalam menanggapi arogansi FPI atau milisi sipil lainnya yang gemar melakukan tindakan kekerasan atas nama apapun.

Di Jakarta, Minggu sore, 12 Februari 2012, puluhan individu dari berbagai latar belakang yang terinspirasi aksi masyarakat Dayak di Palangkaraya mengadakan pertemuan yang mendiskusikan pentingnya menyatukan semangat dalam menolak eksistensi FPI sebagai entitas masyarakat yang secara sistematis kerap melakukan kekerasan dalam aksi-aksinya. Berawal dari sebaran undangan melalui twitter, Tunggal Pawestri, salah seorang aktivis yang memiliki inisiatif mengadakan pertemuan tersebut, tidak menduga kalau banyak yang datang dalam acara yang digelar di Bakoel Koffie, Cikini. Beberapa nama seperti George Junus Aditjondro, Marco Kusumawijaya, M. Guntur Romli, Mariana Amirudin, dan aktivis lainnya ikut memenuhi ruangan. Begitupun salah seorang dokter dari perwakilan masyarakat adat Dayak yang tinggal di Jakarta dan seorang mahasiswa yang mengaku telah begitu muak dengan aksi-aksi kekerasan FPI, hadir dalam diskusi itu. Ini menjadi bukti, betapa masyarakat Jakarta, bukan hanya aktivis kemanusiaan semata melainkan dari berbagai unsur masyarakat, cukup terganggu dengan kehadiran FPI di Indonesia. Pada kesempatan yang dibangun dalam suasana yang karib tersebut, seorang peserta menyatakan bahwa banyak alasan mengapa FPI pantas ditolak. Di samping aksi-aksi kekerasannya, alasan yang lebih fundamental adalah karena FPI memperlihatkan penolakannya terhadap perbedaan melalui aksi-aksi mereka yang ditujukan terhadap kalangan minoritas. Pantaskah selalu ingin menang sendiri dengan memamerkan kekerasan di tengah-tengah masyarakat kita yang begitu majemuk? Alasan lain, sudah saatnya media mengabarkan pada masyarakat luas bahwa tidak sedikit kelompok masyarakat yang jengah dengan kehadiran FPI yang memanipulasi jubah putih dan sorbannya itu menjadi simbol mereka.

Mengenai simbol, menurut penuturan peserta lainnya, yakni seorang perempuan yang dibesarkan di daerah Petamburan (dekat markas FPI), merasa perlu sekali sosialisasi terus-menerus perihal bahaya premanisme FPI. Artinya, masyarakat kita yang masih begitu khidmat mematuhi simbol-simbol, jangan sampai tertipu oleh pakaian yang dikenakan FPI. Sebagaimana telah dimafhumi, di Indonesia jubah dan sorban putih merupakan simbol kesalehan, identik dengan Islam. Jadilah simbol tersebut dimanfaatkan FPI untuk menyembunyikan wajah aslinya. Sehingga, lanjutnya, sedemikian brutal kelompok ini melakukan kekerasan dan pengrusakan, namun masyarakat kerap diam bahkan ironisnya ada yang menyetujui tindakan FPI yang selalu mengatasnamakan agama itu.

Pada titik inilah tantangan terbesar adalah penyadaran terhadap masyarakat perihal wajah asli FPI yang tiada lain hanyalah titisan Ares Sang Dewa peperangan.

Lalu, dokter Tata, perwakilan masyarakat adat Dayak, tampak antusias menjelaskan mengapa keberanian mengemuka dari masyarakatnya. Di Palangkaraya, aksi yang patut dicontoh tersebut tidak akan terjadi tanpa dukungan dari semua elemen masyarakat, termasuk pemerintahan setempat. Berkat kerjasama yang solid antara masyarakat dan elemen pemerintahan, yang sama-sama sadar akan bahaya pengaruh anarkisme FPI, aksi tersebut kemudian mencuat. Karena itu, kesadaran dan solidaritas antarelemen masyarakat itulah yang perlu dicontoh masyarakat Jakarta khususnya, dan masyarakat di berbagai daerah pada umumnya. Menurutnya, sebenarnya penolakan FPI juga telah disuarakan di daerah Kalimantan lainnya.

Sementara, sambil mengutip sebuah hasil riset yang menyatakan bahwa di tahun 2015 mendatang Indonesia akan didominasi oleh kalangan muda, Marco Kusumawijaya merasa yakin perlu mengorganisir para pemuda untuk terlibat dalam aksi penolakan FPI ini. Pemuda adalah tonggak bangsa yang sudah semestinya menjadi garda depan dalam menyuarakan kebebasan dan keharmonisan Indonesia yang kerap diaduk-aduk FPI. Yang cukup menggembirakan para peserta, pada kesempatan itu dihadiri banyak kalangan pemuda yang bersemangat menyimak bahkan berpartisipasi di dalamnya. Pelbagai alasan di atas dan pertimbangan lainnya yang muncul dalam pertemuan itu, lantas pada sekitar pukul 17.00 WIB disepakati kelahiran

Previous Post

Masalah GKI Yasmin Jadi Catatan Dunia

Next Post

Unjuk Rasa Anti FPI Berlangsung Damai

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post

Unjuk Rasa Anti FPI Berlangsung Damai

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In