Sejumlah kasus tindak kekerasan di Indonesia dalam skala masif terjadi dengan pola yang mirip.

Wartawan Senior Sinar Harapan, Aristides Katoppo (kanan) menerima kunjungan perwakilan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) di kantor Sinar Harapan, Jakarta, Rabu (20/11).
JAKARTA – Rantai kekerasan di Indonesia hanya bisa dihentikan jika negara punya niat baik untuk mengakui dan menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu.
Hal ini dikatakan perwakilan dari Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) saat berkunjung ke kantor redaksi Sinar Harapan, Rabu (20/11). Hadir dalam kunjungan tersebut perwakilan KKPK Putu Oka Sukanta, Dodi Yuniar, dan Zico Mulia.
Dodi mengisahkan, dari sejumlah focus group discussion (FGD) yang mereka gelar, terungkap bahwa hampir seluruh tindak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia–dari peristiwa 1965, Penentuan Pendapat Rakyat di Papua tahun 1969, hingga peristiwa penculikan tahun 1998–dilakukan dengan pola yang mirip, mulai dari institusi yang melakukannya, metode penghilangannya, wilayah pembuangan, hingga istilah yang dipakai.
“Misalnya, untuk penghilangan dipakai istilah ‘dibon’, juga untuk kawasan di luar Jawa dipakai istilah ‘disekolahkan di Jakarta’,” ungkap Dodi.
Ia juga menyebut bahwa tempat pembuangan atau kerja paksa bagi para “pesakitan” Pepera sama dengan mereka yang ditangkap sebagai “pesakitan” peristiwa 1965.
Untuk itu, upaya melihat kekerasan pelanggaran HAM masa lalu perlu dilakukan. Tujuannya, selain untuk memberi ruang bagi korban untuk bicara, memberikan pendidikan bagi publik agar bangsa ini bisa menyelesaikan masa lalunya guna memutus rantai kekerasan.
Salah satu upaya yang dilakukan KKPK adalah menggelar serangkaian dengar kesaksian korban pelanggaran HAM untuk memahami pola kekerasan yang telah terbentuk selama ini. Kegiatan akan berlangsung pada 25-29 November 2013 di Gedung Teater Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Letakan Kebenaran
Koordinator KKPK, Kamala Chandrakirana mengungkapkan, kesaksian dari orang yang menjadi korban pelanggaran HAM penting untuk meletakkan kebenaran di atas sejarah hitam bangsa. “Bagaimanapun kami merasa penting perlu menggelar acara kesaksian dari orang yang mengalami pelanggaran HAM langsung,” ujarnya.
Kegiatan ini diharapkannya dapat mendorong pemerintah meningkatkan kepekaannya menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM yang semakin tergerus. “Agenda besarnya mendorong pemerintah untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM besar,” katanya.
Kegiatan ini juga diharapkan dapat berdampak pada masyarakat untuk bisa semakin meningkatkan kepedulian, peka dan peduli terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM.
Kamala menjelaskan, kegiatan ini akan mengangkat lima tema pelanggaran HAM paling krusial, yakni kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam operasi militer, kekerasan dalam ideologi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, kekerasan berbasis sumber daya alam, dan kekerasan terhadap pembela HAM.
Melalui kegiatan ini kesaksian akan dibeberkan korban yang mengalami kekesaran terhitung dari tahun 1965-2005.
Selain melibatkan para korban, Kamala memastikan kegiatan ini akan menghadirkan pula sejumlah tokoh dan pemimpin lembaga negara akan dihadirkan, seperti Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, Ketua MPR, Komnas Perempuan, serta Sinta Nuriyah (Istri Gus Dur).
Putri Kanesia perwakilan KKPKP dari Kontras menjelaskan, sejak Desember 2012, anggota-anggota KKPK telah mengorganisasi dengar kesaksian di Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Hasilnya, ada 23 orang korban, dua saksi ahli, dan tiga tanggapan dari institusi pemerintah yang telah memberi kesaksian tentang kekerasan sistematis yang terjadi selama empat dekade, dari tahun 1965-2005.
“Pada Oktober 2013, dengar kesaksian pun telah dilakukan di Takengon, NAD. Dengar kesaksian rencananya, akan digelar pula di Papua. Pada saat yang sama, KKPK telah mengumpulkan data-data pelanggaran hak asasi manusia dalam database yang dikelola bersama. Sampai sekarang, tercatat hampir 900 peristiwa kekerasan telah terkumpul dan lebih dari 3.000 orang yang telah menjadi korban pada periode yang sama,” tutur Putri. (Fransisca Ria Susanti)