Kamis, Juli 10, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Mami Yulie, Sinar Lilin Bagi Kaum Waria

by Redaksi
23/11/2013
in Uncategorized
Reading Time: 2min read
Mami Yulie, Sinar Lilin Bagi Kaum Waria
Share on FacebookShare on Twitter

 

Mami Yulie, Sinar Lilin Bagi Kaum Waria

TEMPO.CO, Jakarta – Yulianus Rettoblaut adalah nama asli waria yang disapa akrab Mami Yulie, 52 tahun. Dari menjajakan diri di pinggir jalan, ia kini bermetamorfosis menjadi ketua Forum Komunikasi Waria se Indonesia, konsultan hukum, dan aktivis hak asasi manusia.

Dalam perbincangan di kantor Tempo pada Selasa 19 November 2013 lalu, Mami Yuli, begitu dia biasa disapa, mengisahkan kalau pada pada 2007 lalu ia mengikuti seleksi calon anggota Komnas HAM. Sempat lolos seleksi awal, lulusan fakultas hukum Universitas At Tahiriyah, Jakarta, ini gagal di tingkat fit and proper test di DPR.

Menurut Yulie, waria dianggap belum saatnya menjadi pejabat publik. Dorongan ingin memperjuangkan kaum waria membuat Yulie yang asal suku pedalaman Asmat, Papua, ini masuk fakultas hukum Universitas Islam At Tahiriyah di Bukit Duri, Kampung Melayu. Ia lulus dengan predikat cum laude dan wisuda pada 31 Juli 2010.

Tema skripsi yang dibuat Yulie, tentang hak kerja kelompok minoritas dan Perda DKI Jakarta. “Saya tidak pintar, tapi saya banyak bertanya pada saat kuliah dan rajin beli buku. Saya duduk paling depan,” kata Yulie kepada Tempo.

Yulie kelahiran 30 April 1961. Dia  anak ketujuh dari sebelas bersaudara pasangan Petrus Rettoblaut dan Paskalina Hurulean. Ia menamatkan SMA di kabupaten Merauke dan merantau ke Jakarta pada tahun 1978. Ia kuliah di universitas swasta sampai semester IV jurusan ekonomi.

Ia mulai ketemu teman waria di kampus yang lalu mengajaknya ke Taman Lawang. “Saya lihat waria di sana seperti bidadari, dandan sangat cantik,” katanya. Kuliah Yulie berantakan dan untuk memenuhi tuntutan hidup, ia mulai menjajakan diri menjadi pekerja seks komersial.

Di Taman Lawang ia jadi tahu kalau waria cantik ada di bagian bawah, dekat Menteng. Sedangkan yang tidak cantik di sekitar jalanan dekat rel.”Saya dapat uang dari pelanggan sekitar Rp 700 – Rp 1000 rupiah. Karena saya tidak cantik maka saya tidak laku,” kata Yulie yang suka memakai anting besar ini.

Ia malah diajak menjadi tukang cuci handuk sewa pondokan untuk para pelanggan waria. “Saya mulai berpikir pindah dari Taman Lawang,” kata dia yang memiliki rambut panjang diluruskan (rebonding) ini.

Dari Taman Lawang, Yulie mangkal di taman Prapanca, Jakarta Selatan. Tapi karena ia jarang laku karena tidak cantik dan memiliki postur tubuh besar, ia diminta menjadi tukang pukul atau keamanan di sana bila ada waria yang diperlakukan tidak baik dan dilecehkan. Ia pernah dikeroyok 34 orang karena membela waria.

Yulie mulai membuka salon kecil-kecilan dari uang menjadi tukang pukul.”Sudah bisa kos rumah seharga Rp 35 ribu dari hasil jadi preman dapat Rp 17 ribu per bulan,” katanya. (Baca : Ada Waria Idol di Pantura Jawa Tengah)

Pada 1996, Yulie mendapat pencerahan. Ia memilih aktif dalam kegiatan gereja di Cilandak. ‘Saya ingin memberi nilai pada kehidupan saya dan kata Romo yang menasehati, saya harus jadi lilin bagi teman waria lainnya,” kata Yulie yang membuka rumah singgah bagi para waria lansia untuk mandiri mencari uang dengan cara berjualan.

Yulie juga mengambil sertifikasi pengacara di Peradi demi  membela hak-hak kaum waria. Konstruksi sosial masyarakat melihat kaum waria selalu identik dengan dunia pelacuran dan prostitusi. Dan Yulie ingin mengubah itu dengan caranya.

EVIETA FADJAR

 

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/11/23/205531797/Mami-Yulie-Sinar-Lilin-Bagi-Kaum-Waria

Tags: Headline
Previous Post

Naiknya Ancaman dan Kekerasan Terhadap Muslim Syiah Indonesia

Next Post

Buka Ruang Dialog Korban Pelanggaran HAM

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Buka Ruang Dialog Korban Pelanggaran HAM

Buka Ruang Dialog Korban Pelanggaran HAM

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperjuangkan Akses yang Setara untuk Perempuan Disabilitas lewat Anggaran yang Inklusif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tersingkir dari Keluarga, Tempat Kerja, hingga Pemakamannya: Nasib Transpuan di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pendidikan Multikultur Kalbar: Siswa Toleran Beda Budaya [1]

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In