Ditulis oleh: Nur Azizah
Klenteng tertua di Bogor jadi saksi toleransi antar umat beragama yang kuat di Pulau Geulis. Pintu Vihara terbuka untuk umat Islam yang ingin mengaji di sana. KBR68H ikut mengaji dan menikmati indahnya perbedaan.

KBR68H – Suara Azan Maghrib mengiringi doa yang dipanjatkan Wiwih beberapa saat sebelum pengajian dimulai. Hujan deras di luar Vihara Pan Kho ini tak mengganggu kekhusyukan mereka yang hadir untk mengaji malam ini.
Lima orang sudah hadir. Pengajian pun dimulai dipimpin oleh laki-laki muda berpeci hitam dengan rambut sebahu. Lima laki-laki itu khusyu mengaji di atas gelaran karpet kecil, di pojok ruangan dalam vihara. Di sini tersedia juga mukena, sarung dan sajadah yang disusun rapi di lemari mungil.
Ruangan itu terletak tepat di belakang altar patung Dewa Pan Kho dan Dewi Kwan Im. Pengajian diakhiri dengan shalat Isya bersama-sama di dalam vihara.
Suryana, juga empat peserta pengajian lainnya, langsung menuju dapur, menyantap hidangan lontong isi, sambal kacang dan tempe mendoan. “Biasa begini. Setiap malam Jumatan begini apa adanya. (Tradisi seperti ini -red) sudah berjalan hampir tiga tahun. Tiap malam Jumat saja nggak boleh kosong. Biarpun ada satu orang dua orang harus (berjamaah),” terangnya.
Suryana termasuk salah satu orang pertama yang ikut pengajian Kamis malam di Vihara Pan Kho ini. Dia juga yang giat mengajak teman-temannya untuk ikut serta. “(Sempet ada tentangan juga enggak dari tetangga kanan kiri?) Enggak ada si. Kalau ada mah ngapain diitu. Kita mah yang penting kita kita aja. Dia mau gitu mau gini yang penting enggak didenger. Tu kita juga ke teman teman yang lain ngasih tahu tiap malam Jumat daripada nongkrong di jalan begitu, ya. Ya kalau di rumah udah beres baru ke sini. Misalkan ada yang kita mah ngajak ngajak kebaikan, bukannya apa apa. Itu mah mau ikutan silahkan, kalau enggka juga enggak apa apa,” katanya.
Vihara Pan Kho atau Maha Brahma berdiri pada 1704. Letaknya di permukiman padat penduduk di Pulau Geulis, Kelurahan Babakan Pasar, Bogor. Ini adalah sebuah pulau kecil di tengah Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Sebetulnya ini bukan pulau sebenarnya. Hanya nampak seperti pulau karena aliran sungai terbelah, lantas menyatu lagi.
Lebih dari separuh penduduk di sini beragama Islam, sementara sisanya keturunan etnis Tionghoa. Vihara di Pulau Geulis ini diyakini sebagai klenteng tertua di Bogor. Epul Saefullah adalah imam pengajian Kamis malam itu. “Pada ngaji di sini gimana, nih? Ini, kan, vihara? Emang kebanyakan ngomongin vihara nih, tapi kita enggak lihat gimana gimananya. Cuma kita enggak lihat ke sananya,”katanya.
Dia menambahkan, “Kita kan saling rukun, ya, ayo sama sama. Agama saya agama saya, agama situ agama situ. Tapi enggak ada saling sikut, ya. Ayo aja sama sama kalau masih jalan yang benar, jalannya Alloh, ya. Tapi kalau sedikit melenceng atau menyimpang saya angkat tangan. Emang ini dari dulu ada, Cuma kegiatan ini dihidupkan lagi. Emang ini dari dulu ada.”
Asep yang berusia 29 tahun butuh waktu lama sebelum memutuskan bergabung dengan jemaah pengajian di vihara. “Saya juga, kan, ngaji juga punya guru. Sholat biasa ke masjid Abah. Ya saya juga tanya tanya gitu. Kalau menurut guru guru ngaji saya, si, pak Ustad Abah enggak masalah. Kita mau berdoa atau mau tawasulan dimanapun enggak masalah. Kita jangan ngelihat bentuk tempat beribadahnya mau vihara, mau apa, yang penting jangan menyimpang dari ajaran kita masing masing. Yang penting kita saling menghargai antar umat saja,” kata dia.
Kini sudah tiga tahun Asep mengaji di sini. “Enggak juga si enggak diajak. Emang tadinya itu, kan, rame ya. Banyak bukan dari daerah pulau saja. Dari yang biasa ke sini muslim juga dari Ciapus. Biasanya perkumpulan apa, ada tawasulan. Ya kita sering diajak. Pertama juga saya sendiri aneh; tapi lama kelamaan karena udah kenal, ya, saya ngikut sendiri,” katanya.
Dalam naskah kuno Babad Sunda, Pulau Geulis jadi tempat peristirahatan raja, dan terlarang untuk masyarakat umum. Kini Pulau Geulis milik semua masyarakat dengan nilai toleransi yang kental.

Kekhawatiran Warga
Sesepuh Pulau Geulis, Abraham Halim bercerita soal asal mula pengajian di vihara. “Dari dulu terbuka. Tapi, kan istilahnya orang segan untuk masuk sini. Hanya orang-orang yang akan beribadah ke situ aja. Tetapi sejak 2007 saya di situ banyak kawan kawan juga karena saya notabene tidak beribadah di situ, mungkin agak ini juga saya ngurus di situ banyak orang di sekitar juga yang masuk ke sini. Kebetulan juga banyak kawan kawan saya dari Ciomas sering ziarah ke tempat ini. Nah saya ngobrol ngobrol dengan mereka yang sering ziarah ke tempat ini. Ya bagaimana kalau saya setiap malam Jumat begini begini. Ya silahkan. Saya bicarakan dengan pengurusnya dan itu tidak jadi masalah. Warga sekitar juga banyak yang ikut,” kata dia.
Sekretaris Vihara Pan Kho Chandra Kusuma mengatakan, warga tak pernah menentang adanya pengajian di sini. “Ya mungkin berbisik bisik diantara mereka. Kok di vihara ada marawisan, kok di vihara ada yang semacam begini. Tapi kita sudah istilahnya memberikan penjelasan kepada mereka bahwa ini adalah tempat ibadah. Yang mana kita menghargai leluhur. Di sini di dalam satu rumah ada leluhur kita, orang Tionghoa, ada juga karuhun setempat. Kenapa kita tidak bersama sama. Toh dari dulu mereka sudah rukun, masa kita anak cucunya mau gontok gontokan,” jelas Chandra.
Namun warga tengah was-was. Sejak tiga tahun lalu, Pemkot Bogor berencana membenahi Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Rumah-rumah bakal ditata, jalur sanitasi diperbaiki. Pulau Geulis pun diproyeksikan menjadi kampung wisata.
Ini rencana pemerintah, jelas Kepala Sub Bidang Sarana Prasarana bidang Fisik Bappeda Kota Bogor Marse Hendra Putr, “Pertama mungkin kaitan dengan pengaturan pengelolaan sampah. Karena di kawasan Pulau Geulis kita belum mendapatkan sistem pengelolaan persampahan, artinya dalam skala kawasan dalam hal ini mungkin 3 R. Ini yang rencananya akan kita usulkan nanti. Kemudian penataan jalan lingkungannya karena di situ kita lihat jalan lingkungannya kurang tertata dengan baik. Kemudian juga nanti ke depannya nanti fungsi bangunan itu sendiri. Termasuk juga drainase dan pengolahan air limbah domestiknya artinya rumah tangga.”
Awal November lalu, sosialisasi pertama soal penataan ulang Pulau Geulis mulai digelar. Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan Kelurahan Babakan Pasar, Ahadiat Prihatna menjelaskan rencana penataan sekitar vihara,“Kemarin itu hasilnya semua sepakat itu Pulau Geulis ditata. Dan penataannya sifatnya pertama mungkin dari jalan masuk ke vihara. Seperti jembatan yang tadinya hanya cukup untuk jalan kaki, gimana caranya nanti diperlebar untuk dua motor lah.”
Namun Vihara Pan Kho terletak dekat sungai. Warga khawatir vihara bakal ikut kena gusur.
Ini dibantah Marse. Vihara akan tetap berdiri. “Itu tetap. Kan itu tadi saya bilang kita tidak punya pemikiran untuk mengubah itu tapi hanya menata. Pemkot tidak berfikir akan merubuhkan itu terus menggantikannya, tidak. Kita hanya menata kawasan tersebut menjadi kawasan yang ramah lingkungan,” tegas Marse.
Kehadiran Vihara dan kerukunan antar umat beragama justru bakal menjadi sesuatu yang ditonjolkan dari Pulau Geulis sebagai tempat wisata, kata Prihatna.“Terus mengenai sanitasinya juga kalau bisa diperbaiki. Nanti ke depannya mau dibuat. Apa sih yang menjadi ciri khas Pulau Geulis ini? Nah mungkin nanti ke depannya akan ada wisata religi disandingkan dengan wisata kuliner. Sehingga dicapailah satu motto Bersih, Sauyunan, Indah. Pulau Geulis Berseri kalau nda salah.”
Prihatna mengakui, banyak warga yang menolak program penataan wilayah ini lantaran takut digusur. “Kalau direlokasi mereka tidak mau. Apalagi sebelumnya beberapa tahun lalu ada wacana rusunawa, tetapi warga menolak. Malah akhirnya diputuskanlah ini udah warga maunya penataan tapi mauny di talud aja sekelilingnya,” kata dia.
Warga seperti Suryana mengaku terus berdoa supaya tak digusur. Sekretaris Vihara Pan Kho Chandra mengatakan punya satu syarat soal penataan Pulau Geulis. “Yang penting jangan merusak tatanan yang sudah ada dan jangan mengobok obok masyarakat yang sudah ada. Mereka tinggal di sini sudah lama. Mereka tinggal di sini sudah lama. Mau dirapihkan monggo, mau ditambahkan tempat wisata silahkan. Kita kerjasama. Tapi kalau seandainya tatananya dirubah. Semua yang sudah ada diacak acak. Warganya nggak mau,” tegasnya.
Kekuatan toleransi antar umat adalah kecantikan milik Pulau Geulis. Ini tak boleh digusur, kata sesepuh Pulau Geulis Abraham Halim. “Sekarang nama pulau ini Pulau Geulis. Pulau Geulis ini Pulau cantik. Kalau dilihat di sini sudah tidak cantik lagi Pulaunya sudah padat, penghijauannya kurang. Tetapi geulis di sini cantik dengan masyarakatnya yag walaupun dengan berbagai macam agama tetapi hidup rukun berdampingan tidka ada singgungan tentang agama. Dan lebih unik lagi di vihara Pan Kho ini mungkin kalau Anda memperingati maulidan atau buka bersama biasanya di masjid atau di musola. Tetapi di klenteng ini setiap maulidan, di sini memperingati dengan warga sekitar dan tokoh agama yang ada di situ,”tegasnya.
Asep mengaku bangga jadi warga Pulau Geulis. “Beberapa teman saya yang saya ajak ke sini heran juga, terpukau. Cengak gitu. Kok bisa gitu satu tempat ibaratnya vihara tapi bisa menampung beberapa umat beragama tapi bisa rukun. Mereka juga acungi jempol juga gitu. Belum pernah saya belum pernah dengar di daerah manapun. Patut dibanggakan juga. Makanya saya sebagai warga pulau juga mungkin dengan sedikit banyaknya itu ikut menjaga budayanya yang ada. Kalau bisa sih diteruskan kepada cucu cucu anak kita, jangan sampai hilang budayanya,” katanya.
Editor: Citra Prastuti
Sumber: http://www.portalkbr.com/berita/saga/3044405_4216.html