Dalam beberapa pemilu dan pemilukada tidak sedikit temuan yang mengindikasikan terjadinya politisasi isu SARA oleh partai atau calon tertentu. Sebab itu diperlukan sebuah upaya untuk menghindari kejadian serupa pada pemilu legislatif dan presiden beberapa bulan ke depan. Untuk mendorong terciptanya pemilu yang bebas dari diskriminasi dan sikap intoleran, maka para aktivis gabungan dari berbagai organisasi kemanusiaan membentuk Gerakan Kebhinekaan untuk Pemilu yang Berkualitas.
Kamis (23/01) beberapa dari mereka melakukan audiensi di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyampaikan rekomendasi demi terciptanya pemilu yang berkualitas. Ahmad Suaedy dari The Wahid Institute mengungkapkan bahwa masyarakat kini tengah menghadapi situasi di mana toleransi antar agama dan sekte serta aliran kepercayaan semakin memudar. Selain itu, di beberapa daerah, kecenderungan untuk menjadikan isu agama sebagai mainan politik juga marak terjadi. Berbagai tindakan yang diskriminatif dilekatkan terhadap kalangan minoritas agama, seperti Syiah dan Ahmadiyah. Koordinator Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace (AWCentre-Universitas Indonesia) ini juga melihat semakin meningkatnya kecenderungan untuk menyiarkan hate speech atau ujaran kebencian oleh kalangan tertentu. Ia mengungkapkan kekhawatirannya jika pasal blasphemy atau penodaan agama akan dimanfaatkan oleh kalangan politisi intoleran untuk menyerang lawan politik yang besebarangan pandangan dengan mereka. Karena itu, KPU didesak untuk membuat mekanisme pencegahan serta sanksi yang jelas bagi para peserta pemilu yang melakukan tindakan-tindakan sebagaimana disebutkan di atas, selama masa kampanye.
Sementara Veri Junaidi dari Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) menjelaskan bahwa gerakan ini berupaya untuk mendorong munculnya para pemimpin yang pro terhadap toleransi. Ia berharap, melalui gerakan ini, ketentuan soal SARA yang sudah ada dalam peraturan pemilu bisa dioptimalkan. “Selama ini peristiwa-peristiwa di seputar pemilu yang berkaitan dengan isu tersebut masih belum mendapat perhatian yang cukup serius,” imbuh Veri. Karena itu ia berharap agar KPU bisa memperluas perannya untuk menyelenggarakan pemilu yang damai dan toleran.
Siti Aminah dari The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) mengungkapkan harapannya agar peran KPU di masyarakat bisa lebih meluas, bukan sekadar mensosialisasikan pentingnya partisipasi warga dalam pemilu, tetapi juga bisa melindungi kelompok minoritas dari berbagai kemungkinan buruk yang muncul disebabkan perilaku hate speech oleh kalangan politik tertentu. “Maka, anti-hate speech menjadi indikator keberhasilan pemilu kali ini,” demikian ia menaruh harapannya kepada KPU.
Dari KPU, Arif Budiman, secara terbuka mengungkapkan keheranannya melihat beberapa partai di daerah-daerah tertentu yang masih memanfaatkan isu agama sebagai alat kampanye mereka. Menurutnya, di daerah yang mayoritas penduduknya well educated isu tersebut tidak berlaku. Bahkan jika melihat pilkada Jakarta, serangan melalui isu tersebut hanya akan menjatuhkan mereka yang menjadi penggagasnya.
Arif mengakui bahwa semangat yang dibawa oleh gerakan ini cukup penting dalam rangka terselenggaranya pemilu yang berkualitas. Ia menjelaskan bahwa KPU sendiri sudah memiliki aturan yang jelas dalam melarang penggunaan isu SARA pada setiap kampanye. Tetapi kesulitannya ada pada penjabaran isu SARA sendiri yang selama ini masih bisa membuat para peserta pemilu berkelit. Selain itu, otoritas KPU dalam hal ini hanya sebatas memberikan sanksi secara administratif, dengan berbagai tahapannya, bukan pidana. Jadi, bagi para peserta pemilu yang melanggar ketentuan tersebut, sanksi paling berat yang bisa dikenakan adalah menghentikan kampanye mereka.
Sigit Pamungkas dari KPU mengusulkan agar semangat pemilu yang berkualitas bisa disosialisasikan kepada seluruh unsur yang terlibat dalam pemilu, apakah itu para peserta pemilu dan juga masyarakat. Karena itu, Arif dan Sigit menambahkan bahwa KPU akan membantu mensosialisasikan berbagai rekomendasi dalam audiensi ini terhadap partai-partai peserta pemilu. Sedangkan sosialisasi ke masyarakat akan dilakukan oleh Relawan Demokrasi yang berada di bawah KPU yang anggotanya mencapai lebih dari 20 orang di setiap daerah, di masing-masing kabupaten atau kota. (Evi/SEJUK)