Fellowship Peliputan Keberagaman, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK): Shinta Maharani, TEMPO
Dentang lonceng Gereja Katolik Santo Paulus Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, bersahutan. Bunyi ini menjadi penanda hendak dimulainya ibadah malam Natal, Rabu, 24 Desember lalu. Umat Katolik berbondong menuju gereja di tengah guyuran hujan. Hanya 150 meter dari Gereja Katolik Santo Paulus berdiri Gereja Kristen Indonesia.
Gereja ini menempati gedung tua di selatan Alun-alun Wonosobo. Jemaat Kristen juga memadati gereja. Ibadah malam Natal juga berlangsung di Gereja Kristen Jawa di Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Setjonegoro. Gereja mungil ini juga dipenuhi oleh jemaatnya. Hal yang sama terjadi di Gereja Bethel Indonesia.
Di Wonosobo setidaknya ada 20 gereja. Wonosobo punya 750 ribu penduduk, sebagian besar beragama Islam. Setidaknya, 8.000 penduduk Wonosobo memeluk Kristen. Umat Katolik dan jemaat Kristen nyaman menjalankan ibadah Natal karena mendapat dukungan dari sejumlah tokoh agama. Satu di antaranya adalah pemuda Nahdlatul Ulama yang aktif menggagas berbagai forum tempat berkumpul berbagai kelompok dengan keyakinan yang berbeda.
Ia adalah Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama atau FKUB Wonosobo, Haqqi El-Anshary. Ia aktif mengkampanyekan nilai pluralisme. “Kami punya tanggung jawab menjaga kerukunan di kota kecil ini,” kata Haqqi. Ketika Natal tiba, Haqqi tak canggung mengucapkan selamat Natal kepada pendeta dan romo yang juga anggota FKUB. Ia juga mengunjungi semua gereja sehari setelah ibadah Natal.
Upaya merawat kerukunan di Wonosobo juga dilakukan oleh Bupati Wonosobo Kholiq Arif . Ia mempertemukan pemuka agama dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Tao, dan kelompok penghayat kepercayaan Aboge. Dia sering mengundang mereka berdialog di pendopo Wonosobo.
Kholiq menyatakan semua orang perlu menghormati kebebasan menganut agama dan kepercayaan. Ia bahkan sedang menyiapkan peraturan daerah yang mengatur kehidupan beragama di Wonosobo. Perda ini setidaknya mengatur 18 poin bidang yang mendukung bagaimana kerukunan umat beragama dijalankan. Menurut Kholiq, perda itu penting sebagai perangkat untuk menjamin hak asasi manusia. “Ini sebagai jembatan agar masyarakat hidup damai berdampingan,” kata dia.
SHINTA MAHARANI
Sumber: Koran Tempo, Jumat, 27 Desember 2013, halaman 14
Berita terkait: