Pada Pemilu 2009 dan pilkada sudah muncul kasus ujaran kebencian.
VIVAnews – Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Kebhinekaan untuk Pemilu Berkualitas menemui komisoner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Rabu 12 Februari 2014. Mereka meminta KPI ikut mencegah segala aksi berbau kebencian jelang Pemilu 2014 khususnya saat masa kampanye.
Gerakan ini terdiri dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), antara lain, The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Wahid Institute, PGI, KWI, Maarif Institute, Pusat Hukum Konstitusi Universitas Airlangga, Pusat HAM dan Demokrasi FH Universitas Brawijaya, Perludem, Sejuk, Aman Indonesia, Yayasan Tifa, Elsam, Komnas Perempuan.
“Kami menekankan tentang pencegahan kebencian agar tidak dijadikan isu pemilu terutama kampanye pileg dan pilpres. Pada Pemilu 2009 dan pilkada sudah muncul kasus ujaran kebencian terutama di DKI Jakarta kemarin,” kata Direktur Eksekutif ILRC, Uli Parulian Sihombing.
Uli mengatakan pihaknya ingin bersinergi dengan KPI dalam memantau kasus-kasus pelanggaran baik di stasiun televisi dan radio. Apabila menemukan, mereka akan segera melaporkan ke KPI.
“Kami bisa bersinergi melakukan pencegahan di daerah-daerah. Kami mengharapkan KPI melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan jika ada tv, radio menggunakan ujaran kebencian dalam kampanye,” katanya.
Uli menambahkan bahwa pihaknya sejauh ini sudah menjalin kerjasama dengan KPU dan Bawaslu. Bahkan KPU sudah meminta mereka membuatkan poster berisi tindakan preventif.
“KPU bersedia menyebarluaskan. Sedangkan, Bawslu juga memberikan masukan jika ada kasus ujaran kebencian agar dilaporkan,” katanya lagi.
Aktivis Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Budi mengatakan gerakan mereka didasari fakta semakin meningkatnya kasus-kasus intoleransi di berbagai pilkada. Budi mencatat tak sedikit ujaran kebencian yang dilontarkan salah seorang calon ketika dia menjual program terhadap kelompok minoritas.
“Ini terjadi di daerah. Apakah KPI punya tangan? Di pusat mungkin lebih mudah dipantau. Padahal, tv atau radio lokal yang dekat dengan pertarungan di lapangan,” katanya.
Budi meminta KPI dan aktivis-aktivis di daerah untuk memikirkan strateginya agar tv dan radio lokal terpantau sehingga tidak turut menyebarkan isu kebencian. Dia juga mendorong KPI menjalankan wewenangnya secara tegas.
“Wewenang KPI menghukum stasiun tv, atau radio yang menayangkan program berita menyimpang. KPI punya power agar memberikan teguran atau sanksi. Sebab, kita tahu tv memiliki pengaruh begitu luas. Bukan cuma pemilunya yang cacat, tapi masyarakat kita terpecah,” jelasnya.
Jawaban KPI
Wakil Ketua KPI, Idy Muzayyad, memastikan bahwa lembaganya pada prinsipnya sepakat dengan gerakan para aktivis tersebut. Idy mengajak mereka untuk bersama-sama mengantisipasi secara dini pemanfaatan isu-isu agama, berkeyakinan secara tidak proporsional.
“Ada atau tidak ada pemilu kita tetap melakukan pengawasan. Termasuk tidak membolehkan ujaran kebencian masuk ke ruang publik, tv. pemilu dan kampanye berpotensi terjadi ujaran kebencian, hasutan, kekerasan, penghinaan, ajaran, suku, antar, intra agama semakin tinggi,” katanya.
Meskipun demikian, Idy menegaskan bahwa dari sisi normatif, UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu sudah melarang materi kampanye yang memuat penghinaan, penghasutan, provokasi dan kekerasan.
Oleh karena itu, semua pihak termasuk KPI tidak bisa tidak harus bersinergi dengan seluruh elemen masyarakat sipil termasuk para aktivis yang tergabung dalam gerakan kebinekaan tersebut.
“Kami butuh informasi, input, agar kita bisa berbuat,” katanya.
Kata Idy, pola kerja KPI ada dua. Pertama, pengawasan secara mandiri dan kedua menerima pengaduan masyarakat. Isu kebencian katanya, sangat bergantung pada peserta pemilu baik parpol dan para caleg.
Dalam konteks penyiaran, dia mengakui ada faktor lembaga penyiaran seperti pemberitaan atau iklan. Namun, dia meminta seluruh stasiun tv dan radio dalam kegiatannya berpihak pada isu anti kebencian.
“Soal iklan, peserta pemilu melakukan kampanye. Lembaga penyiaran agar selektif. Ada unsur penghinaan ditolak saja, suruh memperbaiki. Kalau perlu ada contoh, ‘Ini muatan yang menyejukkan’. Lembaga penyiaran harus berani menolak. Jangan cuma karena duit,” cetusnya.
Idy meminta seluruh elemen masyarakat untuk mengepung bersama-sama. Sebab, KPI sendiri tidak menjangkau peserta pemilu.
“Kita aspek lembaga penyiaran, itu hanya tv dan radio. Sinergi ini penting. Kalau kami tegas dalam penyiaran, harus ada penegasan terhadap peserta pemilu. Kerjasama ini juga jangan berhenti dalam konteks pemilu. Tapi di luar pemilu juga,” tambahnya.
Setelah menemui komisioner KPI, para aktivis tersebut akan berkunjung ke kantor Dewan Pers di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, siang ini. Mereka menuntut Dewan Pers untuk mengawasi media massa agar memuat dan atau menyiarkan kampanye pemilu yang menghormati perbedaan agama dan keyakinan di masyarakat sesuai ketentuan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 6 huruf b dan Kode Etik Jurnalistik. (adi)
Sumber: http://politik.news.viva.co.id/news/read/480834-jepret-pemilu–janji-monyet–tidak-kkn