Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak menggelar Workshop Jurnalis “Memberitakan Isu Keberagaman” pada 22-23 Februari di Kapuas Palace Pontianak. Workshop diikuti 25 jurnalis yang berasal Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Selaku salah satu narasumber dalam Workshop Jurnalis “Memberitakan Isu Keberagaman” pada hari pertama (22/02), Maria Hartiningsih, wartawan senior harian Kompas dan jurnalis pertama penerima penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2003, mengingatkan bahwa media massa telah menjadi kekuatan demokrasi keempat selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa bisa membentuk manusia-manusia menjadi agent of change. Tetapi media juga berpotensi kehilangan fungsinya sebagai “penjaga demokrasi” untuk mengkonstruksikan peristiwa sesuai ideologinya. Untuk itulah di hadapan 11 peserta perempuan dan 14 peserta laki-laki, dalam uraian presentasinya Maria mengajak bersama-sama agar, “Media massa mengambil peran: menolak perempuan selalu jadi korban; sebaliknya menjadikannya sebagai agent of change.”
Sebagai jurnalis yang konsisten dalam penulisannya untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan kesetaraan gender, ia menilai media massa memiliki ruang kosong yang menjadi ajang kontestasi. Disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontestasi merujuk pada arti memperebutkan dukungan rakyat, dan kini telah mengikuti “sistem pasar” seiring dengan rontoknya sistem lama oleh gerakan reformasi pada tahun 1998.
Ruang kosong ini bisa saja digarap demi kepentingan politik tertentu, yang membutuhkan ajang kontestasi dengan menggunakan media massa. Kontestasi dalam hal positif tentu mendatangkan manfaat, sebaliknya apabila kontestasi ditumbuhkan dengan memanfaatkan potensi konflik dalam keberagaman agama dan etnis, tentu sangat berbahaya. Maka, sudah semestinya media massa menjadi “penjaga demokrasi” yang cerdas menyikapi gejala-gejala pemanfaatan isu keberagaman agama dan etnis, di tengah mulai memanasnya situasi Pemilu Legislatif 9 April dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2013.
Kalimantan Barat (Kalbar) memiliki catatan panjang tentang konflik antar-etnis. Usman Kansong, Direktur Pemberitaan Media Indonesia, menyebutkan hasil penelitian akademisi Ria Hayatunnur yang menyebutkan bahwa pada masa konflik etnis lalu, satu media massa di Kalbar berpihak kepada satu etnis untuk kepentingan ekonomi. Hal seperti ini sangat disayangkan, sebab media massa semestinya sadar betul fungsinya untuk menjalankan peran dalam pendidikan multikultiralisme.
Ade Armando, Pakar Komunikasi Universitas Indonesia, juga mewanti-wanti pentingnya media massa bersikap bahwa konflik bukan komoditas untuk diperdagangkan. “Jadilah media massa yang mengambil sikap bahwa konflik sebagai kondisi yang membutuhkan intervensi media massa, untuk dicegah dan diselesaikan,” ia menegaskan.
Ade membawa para peserta mengingat peristiwa Perang Teluk yang dimulai dari pesanan pemberitaan media massa bahwa Irak layak diserang karena memiliki senjata pemusnah massal. Setelah rakyat Irak sengsara akibat invasi Amerika, media massa lantas menyatakan: “ups, ternyata isu senjata pemusnah massal adalah bohong belaka.” Peristiwa itu membuat rakyat Amerika sulit percaya lagi terhadap pemberitaan media massa terkait penegakan demokrasi luar negeri.
M. Choirul Anam dari Human Rights Working Groups (HRWG) menaruh harapannya terhadap jurnalisme dengan berita yang menyejukkan di tengah keberagaman agama dan etnis warga Indonesia. Dalam paparannya, ia beberapa kali menggarisbawahi, “Media massa tidak hanya hadir saat ada konflik, tetapi juga saat damai.” Jangan sampai media massa menjadi “kompor” di tengah kondisi damai hanya demi mencapai tujuan mendapat perhatian dari masyarakat. Sebaliknya, ia menekankan, jauh lebih efektif jika jurnalisme keberagaman selalu muncul dalam situasi damai. (*)
Dian Lestari, aktivis Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) Pontianak dan Koordinator Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Kalbar
Diadaptasi dari sumber tulisan: Editorial Tribun Pontianak, Selasa 25 Februari 2014